1. Latar Belakang Lahirnya Revolusi Prancis
Revolusi Prancis adalah masa dalam sejarah Prancis yang berlangsung antara tahun 1789 dan 1799, ketika para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Prancis, yang saat itu diperintah oleh Raja Louis XVI (1754-1793).
Revolusi ini berdampak terhadap perubahan dari beberapa bidang seperti sistem pemerintahan, sosial, dan politik. Peristiwa ini telah mengakibatkan jatuhnya sistem pemerintahan monarki absolut, dan membentuk suatu kekuasaan yang memiliki badan legislatif, mengubah sistem hukum, serta memperbarui berbagai institusi sosial seperti pemerintahan lokal, kesamaan di depan hukum, dan sebagainya. Meski berlangsung di Prancis, slogan revolusi ini yaitu liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan) telah menginspirasi banyak negara lain di Eropa, Asia, serta Afrika. Revolusi Prancis juga dianggap sebagai dasar dari pembangunan peradaban Barat modern.
a. Faktor umum
Revolusi Prancis merupakan puncak dari ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat terhadap sistem dan praktik monarki absolut di Prancis terutama pada masa pemerintahan Raja Louis XVI (1754-1793). Absolutisme ini menyebabkan penderitaan rakyat, serta mengoyak-ngoyak rasa keadilan dan kebebasan rakyat.
Pada masa pemerintahan Louis XVI inilah, pemerintahan raja dengan kekuasaan-kekuasaan absolut benar ditetapkan. Monarki absolut memiliki ciri-ciri di antaranya, bahwa kekuasaan raja tidak dibatasi oleh adanya undang-undang, kepastian hukum, dewan legislatif.
Louis XVI sangat dikenal dengan raja yang dalim. Dia mampu bersenang-senang di atas penderitaan rakyat yang tercekik oleh bermacam-macam pungutan pajak dan digunakan untuk kepentingan pribadinya. Semboyan dalam pemerintahannya yang terkenal adalah L'etat c'est mou atau negara adalah saya. Hal ini menunjukkan sifat arogansi seorang raja, yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung rakyat.
Pemetintahan absolut mendorong raja dengan mudah menyelewengkan dan menyalahgunakan kekuasaannya.
Apa yang dilakukan oleh raja Louis XVI dengan kehidupan mewah di istananya mempengaruhi penguasa (bangsawan) lain untuk mengikuti jejaknya dan melupakan parahnya kehidupan ekonomi rakyatnya. Kondisi inilah yang sebenarnya mendorong rakyat Prancis bergerak untuk melawan raja dan sekaligus menumbangkan sistem pemerintahan monarki absolut yang ada.
b. Faktor-faktor khusus
1. Faktor ekonomi
Pada waktu Louis XVI naik takhta, sebenarnya telah terjadi krisis ekonomi dan keuangan dalam negeri. Kelaparan dan gizi buruk di lapisan terbawah masyarakat menjadi pemandangan yang umum. Penyebabnya adalah gagal panen selama beberapa tahun serta wabah penyakit yang menimpa ternak-ternak petani, yang diikuti kenaikan harga bahan-bahan makanan pokok. Kondisi panen ini memburuk antara tahun 1788-1789 yang menyebabkan pengangguran pun muncul di mana-mana.
Pada tingkat pemerintahan, negara terlilit oleh hutang akibat salah urus keuangan dan biaya perang yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya (terutama perang tujuh tahun dengan Inggris). Selain memakan biaya yang besar, perang ini juga membuat Prancis kehilangan banyak wilayah koloninya di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Prancis. Meski angkatan perang Prancis berhasil pulih dengan berhasil membantu Amerika mengalahkan Inggris dalam Perang Revolusi Amerika, biaya yang dikeluarkan untuk perang tersebut hanya membuat beban ekonomi Prancis bertambah besar. Rakyatlah yang kemudian harus menanggung semua kerugian negara tersebut dalam bentuk pungutan pajak yang diterapkan dengan tidak adil.
Pada Mei 1776, Menteri Keuangan Turgot dicopot dari jabatannya setelah dianggap gagal melakukan reformasi keuangan. Tahun berikutnya Jacques Necker, seorang bankir dari Jenewa (Swiss), diangkat menjadi Menteri Keuangan yang baru. Necker menyadari sistem pajak yang sangat regresif membuat masyarakat kelas bawah menanggung beban terlalu besar. Dia menegaskan bahwa salah satu cara membebaskan negara dari krisis adalah mengurangi aturan keringanan pajak bagi kaum bangsawan dan klerus (rohaniwan), serta meminjam lebih banyak uang untuk mengatasi kekurangan fiskal dalam negeri. Kelak usulan Necker yang dianggap lebih berpihak kepada rakyat ini ditolak, dan dia sendiri pun dipecat.
C. A. de Calonne yang menggantikan Necker mengusulkan aturan pajak yang baru, diantaranya pajak tanah. Pajak ini akan dikenakan secara berimbang, juga kepada kaum bangsawan dan dan rohaniwan. Untuk memuluskan rencana ini, Calonne memprakarsai apa yang disebut "Majelis Kaum Terkemuka" (the Assembly of Notables) pada 1787. Usulan pajak baru itu tidak ditolak kaum bangsawan dan rohaniwan menghendaki agar setiap reformasi pajak harus terlebih dahulu disetujui oleh lembaga yang betul-betul representatif, yaitu Estates-General atau Etats-Généraux yang memiliki 3 golongan, yaitu bangsawan, rohaniwan, dan rakyat.
Raja yang melihat bahwa Calonne akan menjadi masalah baginya memecatnya dan menggantikannya dengan É. C. de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse. Brienne mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, sementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di parlemen, Brienne mulai menyerang dengan mencoba membubarkan parlemen, dan bersikeras mengumpulkan pajak baru dari kaum bangsawan dan klerus. Golongan Bangsawa dan Klerus menyerang balik, dengan mengumpulkan kekuatan dalam suatu pertemuan besar di provinsi Dauphiné. Kedua golongan ini menolak dengan alasan yang sama seperti sebelumnya yakni menolak setiap aturan pajak baru tanpa persetujuan Estates-General.
Pemerintah menanggapinya dengan mengirimkan pasukan untuk mencegah gerkaan itu. Pemerintah akhrinya berkompromi dengan menyelenggarakan apa yang disebut "Majelis Vizille" pada 21 Juli 1788 (diadakan di desa Vizille). Pertemuan yang dihadiri perwakilan kaum bangsawan, rohaniwan, dan kaum borjuis (kelas menengah) ini menghasilkan tiga resolusi, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor ekonomi
Pada waktu Louis XVI naik takhta, sebenarnya telah terjadi krisis ekonomi dan keuangan dalam negeri. Kelaparan dan gizi buruk di lapisan terbawah masyarakat menjadi pemandangan yang umum. Penyebabnya adalah gagal panen selama beberapa tahun serta wabah penyakit yang menimpa ternak-ternak petani, yang diikuti kenaikan harga bahan-bahan makanan pokok. Kondisi panen ini memburuk antara tahun 1788-1789 yang menyebabkan pengangguran pun muncul di mana-mana.
Pada tingkat pemerintahan, negara terlilit oleh hutang akibat salah urus keuangan dan biaya perang yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya (terutama perang tujuh tahun dengan Inggris). Selain memakan biaya yang besar, perang ini juga membuat Prancis kehilangan banyak wilayah koloninya di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Prancis. Meski angkatan perang Prancis berhasil pulih dengan berhasil membantu Amerika mengalahkan Inggris dalam Perang Revolusi Amerika, biaya yang dikeluarkan untuk perang tersebut hanya membuat beban ekonomi Prancis bertambah besar. Rakyatlah yang kemudian harus menanggung semua kerugian negara tersebut dalam bentuk pungutan pajak yang diterapkan dengan tidak adil.
Pada Mei 1776, Menteri Keuangan Turgot dicopot dari jabatannya setelah dianggap gagal melakukan reformasi keuangan. Tahun berikutnya Jacques Necker, seorang bankir dari Jenewa (Swiss), diangkat menjadi Menteri Keuangan yang baru. Necker menyadari sistem pajak yang sangat regresif membuat masyarakat kelas bawah menanggung beban terlalu besar. Dia menegaskan bahwa salah satu cara membebaskan negara dari krisis adalah mengurangi aturan keringanan pajak bagi kaum bangsawan dan klerus (rohaniwan), serta meminjam lebih banyak uang untuk mengatasi kekurangan fiskal dalam negeri. Kelak usulan Necker yang dianggap lebih berpihak kepada rakyat ini ditolak, dan dia sendiri pun dipecat.
C. A. de Calonne yang menggantikan Necker mengusulkan aturan pajak yang baru, diantaranya pajak tanah. Pajak ini akan dikenakan secara berimbang, juga kepada kaum bangsawan dan dan rohaniwan. Untuk memuluskan rencana ini, Calonne memprakarsai apa yang disebut "Majelis Kaum Terkemuka" (the Assembly of Notables) pada 1787. Usulan pajak baru itu tidak ditolak kaum bangsawan dan rohaniwan menghendaki agar setiap reformasi pajak harus terlebih dahulu disetujui oleh lembaga yang betul-betul representatif, yaitu Estates-General atau Etats-Généraux yang memiliki 3 golongan, yaitu bangsawan, rohaniwan, dan rakyat.
Raja yang melihat bahwa Calonne akan menjadi masalah baginya memecatnya dan menggantikannya dengan É. C. de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse. Brienne mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, sementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di parlemen, Brienne mulai menyerang dengan mencoba membubarkan parlemen, dan bersikeras mengumpulkan pajak baru dari kaum bangsawan dan klerus. Golongan Bangsawa dan Klerus menyerang balik, dengan mengumpulkan kekuatan dalam suatu pertemuan besar di provinsi Dauphiné. Kedua golongan ini menolak dengan alasan yang sama seperti sebelumnya yakni menolak setiap aturan pajak baru tanpa persetujuan Estates-General.
Pemerintah menanggapinya dengan mengirimkan pasukan untuk mencegah gerkaan itu. Pemerintah akhrinya berkompromi dengan menyelenggarakan apa yang disebut "Majelis Vizille" pada 21 Juli 1788 (diadakan di desa Vizille). Pertemuan yang dihadiri perwakilan kaum bangsawan, rohaniwan, dan kaum borjuis (kelas menengah) ini menghasilkan tiga resolusi, yaitu sebagai berikut.
- Segera diadakannya States-General.
- Menolak membayar pajak tanpa persetujuan Estates-General terlebih dahulu.
- Menghapus penahanan sewenang-wenang hanya karena perintah raja.
2. Lemahnya kepemimpinan raja Louis XVI
Louis XVI gagal menangani gejala-gejala ini secara efektif. Kendati secara teori Louis XVI merupakan raja yang absolut, dalam praktiknya ia tidak tegas dan mudah menyerah begitu menghadapi tentangan dari kaum bangsawan dan klerus yang mendominasi parlemen, terutama terkait kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi. Mereka yang merasa terganggu dengan kebijkan-kebijakannya dalam bidang ekonomi (terutama kaum bangsawan dan tuan tanah) mengganggu otoritasnya dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang seringkali berisi informasi yang berlebihan dan tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya yang mengkritik pemerintah, dan kemudian menggiring opini masyarakat untuk melawan monarki.
Tanda-tanda tidak adanya prinsip yang kuat dan lemahnya kepemimpinan raja ini sebetulnya sudah terlihat saat ia naik takhta pada tahun 1774. Saat itu, ia membuat sebuah kebijakan yang terbukti kemudian menghambat kebijakan-kebijakannya terutama dalam bidang ekonomi. Kebijakan itu adalah menghidupkan kembali Parlemen yang pernah dibubarkan oleh pendahulunya. Keputusan ini dilakukannya atas kemauan segelintir elite istana.
Revolusi Prancis terjadi karena beberapa faktor penyebabnya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
Louis XVI gagal menangani gejala-gejala ini secara efektif. Kendati secara teori Louis XVI merupakan raja yang absolut, dalam praktiknya ia tidak tegas dan mudah menyerah begitu menghadapi tentangan dari kaum bangsawan dan klerus yang mendominasi parlemen, terutama terkait kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi. Mereka yang merasa terganggu dengan kebijkan-kebijakannya dalam bidang ekonomi (terutama kaum bangsawan dan tuan tanah) mengganggu otoritasnya dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang seringkali berisi informasi yang berlebihan dan tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya yang mengkritik pemerintah, dan kemudian menggiring opini masyarakat untuk melawan monarki.
Tanda-tanda tidak adanya prinsip yang kuat dan lemahnya kepemimpinan raja ini sebetulnya sudah terlihat saat ia naik takhta pada tahun 1774. Saat itu, ia membuat sebuah kebijakan yang terbukti kemudian menghambat kebijakan-kebijakannya terutama dalam bidang ekonomi. Kebijakan itu adalah menghidupkan kembali Parlemen yang pernah dibubarkan oleh pendahulunya. Keputusan ini dilakukannya atas kemauan segelintir elite istana.
Revolusi Prancis terjadi karena beberapa faktor penyebabnya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
- Gaya hidup istana yang gemerlap dan mewah
- Adanya kelas-kelas sosial (feodalisme)
1. Kaum bangsawan
2. Kaum klerus (rohaniwan)
3. Rakyat jelata.
Dua golongan pertama memiliki hak istimewa. Selain bebas pajak, kaum bangsawan dan klerus dapat menarik pajak dari rakyat. Dengan begitu, rakyat jelata terhadap golongan-golongan ini berkembang luas. Pemecatan Jacques Necker yang dianggap memihak rakyat menjadi salah satu sumber kebencian rakyat terhadap Raja dan kaum bangsawan.
- Semakin meluasnya ide-ide pencerahan
- Pengaruh Revolusi Amerika
2. Jalannya Revolusi
Pada 5 Mei 1789, Etats-Généraux bertemu di Versailles dalam rangka menyelamatkan situasi politik dan perekonomian nasional, namun gagal menghasilkan resolusi yang memuaskan semua pihak (golongan). Dalam Etats Generaux di mana masing-masing golongan diwakili oleh satu suara, membuat golongan ketiga (rakyat) selalu kalah dalma pengambilan keputusan. Untuk itu, golongan ini menginginkan jumlah perwakilannya dapat digandakan, mengingat bahwa jumlah rakyat jauh lebih banyak dari kedua golongan di atas.
Pada 28 Mei 1789, E. J. Sieyes mengumpulkan Golongan Ketiga dan membentuk Communes (Majelis Perwakilan Rakyat). E. J. Sieyes adalah seorang rohaniwan, tetapi ia banyak mengkritik golongan 1 dan 2 serta memihak golongan 3. Pada 17 Juni, golongan 3 mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, dengan menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, yaitu majelis yang murni berasal dari rakyat sendiri. Mereka mengundang golongan lain untuk bergabung. Majelis ini menyatakan diri sebagai pemilik kekuasaan yang berdaulat dalam hal pajak serta memutuskan untuk membuat kerangka konstitusi yang membatasi kekuasaan raja. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi terletak pada pribadi raja, melainkan pada bangsa (negara) dan akan dijalankan oleh para wakil rakyat yang akan dipilih oleh rakyat.
Menanggapi hal tersebut, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des Etats tempat Majelis Nasional mengadakan pertemuan, dengan alasan bahwa ruangan itu perlu diperbaiki dalam rangka menyambut kegiatan kenegaraan. Oleh karena cuaca yang tidak memungkinkan bagi Majelis Nasional untuk melakukan kegiatan ditempat terbuka, mereka kemudian menggunakan lapangan tenis yang berada dalam ruangan (tennis indoor).
Oleh karena kesepakatan yang diperoleh pada 20 Juni 1789, disebut dengan Sumpah Lapangan Tenis (The Tennis Court Oath) yang isinya "mereka tidak akan berpisah hingga bisa menghasilkan sebuah konstitusi untuk Prancis yang mencerminkan aspirasi rakyat". Sumpah ini merupakan sebuah tindakan yang revolusioner sekaligus sebuah penegasan bahwa otoritas politik berasal dari rakyat dan para wakil mereka, bukan dari raja/ratu. Solidaritas mereka kemudian memaksa Louis XVI, yang sebelumnya melarang pertemuan tersebut, memerintahkan kaum klerus dan bangsawan untuk bergabung dengan mereka dalam Majelis Nasional. Mayoritas perwakilan dari golongan klerus pun bergabung, ditambah dengan 47 anggota dari golongan bangsawan.
Sumpah lapangan tenis berdampak luas, tekat rakyat semakin kuat untuk menyusun konstitusi (undang-undang) yang dapat membatasi absolutisme raja. Lebih dari itu, sumpah itu dengan tegas menegaskan Golongan Ketiga sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi dan mahkota raja tidak lagi berasal dari Tuhan, melainkan dari rakyat sendiri.
Pada 27 Juni 1789, pihak monarki menyerah terhadap resolusi-resolusi Majelis. Namun, pada saat yang sama, militer mulai tiba dalam jumlah besar ke sekitar Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk Majelis mengalir dari Paris dan kota-kota lainnya di Prancis. Majelis mengganti namanya menjadi Majelis Konstituante Nasional pada 9 Juli 1789, sekaligus memulai fungsinya sebagai badan penyusun konstitusi. Wibawa dan kekuasaan raja melemah, dan isu kudeta militer menyebar.
Sementara itu, pertemuan Majelis Konstituante terus berlangsung. Di dalam istana sendiri terdengar kabar Necker dipecat. Kabar pemecatan terhadap tokoh yang populis ini cepat menyebar dan menimbulkan huru-hara karena dua hal; pertama, itu berarti situasi krisis perekonomian negara semakin tak tertangani dan tak terkendali; kedua, beban krisis ekonomi semakin tak tertahankan, dan rakyat justru menuntut reformasi segera.
Majelis Konstituante terus menggelar sesi-sesi pertemuan tanpa henti. Untuk mencegah raja mengusir para peserta dari ruang pertemuan, massa pun berkumpul di luar tempat pertemuan dalam jumlah besar. Pada akhirnya raja mengirim pasukan untuk membubarkan pertemuan yang dihadapi rakyat dengan melakukan perlawanan. Pada 14 Juli 1789, terjadi kekacauan, kerusuhan, dan penjarahan di mana-mana. Pada hari itu juga, rakyat menyerbu Penjara Bastille, tempat gudang senjata sekaligus simbol kekuasaan dan kesewenang-wenangan raja karena banyak tahanan politik di sana. Penyerbuan terhadap Penjara Bastille berhasil dengan baik karena tentara yang berkumpul di Paris memihak rakyat. Penyerangan tersebut menandai awal revolusi sehingga 14 Juli kelak diresmikan sebagai Hari Nasional Prancis.
Pasca jatuhnya Bastille pada 14 Juli 1789, Majelis Konstituante Nasional menjadikan dirinya sebagai pemerintah transisi. Di dalamnya bergabung para tokoh revolusi, diantaranya Mirabeau (bangsawan), Lafayette (bangsawan), dan Sieyes (klerus).
Gelombang revolusi menyebar dengan cepat ke seluruh negeri. Setelah lama menderita akibat eksploitasi, para petani menjarah dan membakar rumah-rumah para penagih pajak, tuan tanah, dan bangsawan. Dengan mengusung semboyan liberte (kebebasan), egalite (kesamaan), fraternite (persaudaraan), mereka menuntut penghapusan hak-hak istimewa golongan bangsawan dan klerus. Mereka juga menuntut hak-hak atas tanah. Pada 4 Agustus 1789, Majelis secara resmi membubarkan feodalisme setelah terjadi revolusi pertani yang dikenal sebagai la Grande peur atau "Kekuatan yang Besar".
Majelis Konstituante Nasional menghapus kewenangan Gereja Katolik untuk menarik pajak (dime = sedekah), menghapus hak-hak khusus bagi kaum klerus, serta menyita harta milik dan kekayaan gereja yang pada masa Ancien Regime (Rezim Lama) menjadi pemilik tanah terbesar di Prancis. Perlucutan kekuasaan Gereja ini diwarnai penindasan dan bahkan pembantaian terhadap para rohaniwan (klerus) di seluruh Prancis.
Pada 27 Agustus 1789, Majelis Konstituante juga mengumumkan Pernyataan Hak Asasi Manusia dan Warga LaDéclaration des droits de l'Homme et du citoyen sebagai dasar dari pemerintahan baru. Hak-hak tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Hak atas kemerdekaan pribadi
2. Hak diperlakuan sama dengan hukum
3. Hak kebebasan bertempat tinggal
4. Hak atas milik pribadi
5. Hak atas keamanan pribadi
6. Hak untuk membela diri
7. Hak kebebasan menyatakan pendapat
8. Hak kebebasan memeluk agama
a. Pasca-Revolusi
Ternyata revolusi ini tidak mengakhiri monarki. Hal itu karena di dalam Majelis sendiri terdapat banyak fraksi. Ada fraksi yang terang-terangan menolak revolusi, ada fraksi yang menginginkan monarki yang konstitusional (seperti di Inggris), ada fraksi yang menginginkan bentuk pemerintahan republik, dan fraksi-fraksi lainnya. Intinya, Majelis ingin memangkas kewenangan raja dan menjadikannya hanya sebagai simbol negara saja, misalnya hanya berperan untuk mengusulkan perang saja.
Sampai saat itu, meski akan dipangkas kekuasaannya, posisi raja dan kalangan istana masih aman. Sementara itu, Majelis masih berupaya membentuk konstitusi baru, di dalamnya akan ditetapkan bagaimana negara baru pasca-revolusi akan dijalankan.
Louise XVI sendiri cemas dengan arah revolusi dan keselamatan keluarganya sendiri. Lingkaran istana mendorong dia agar lebih tegas terhadap hasil-hasil revolusi, namun ia sendiri menyadari itu sudah terlambat dan tak mungkin lagi. Pada bulan Juni 1792, ia bersama keluarganya melarikan diri dari Istana Tuileries namun berhasil ditangkap di Varennes dan dibawa kembali ke Paris. Ia dan keluarganya ditahan, dan seluruh kewenangannya sebagai raja ditangguhkan untuk sementara. Tidak lama berselang, tercapai kompromi dengan Louise XVI yang hasilnya memaksanya mengucapkan sumpah setia terhadap konstitusi. Ia juga harus mematuhi dekret yang menyatakan bahwa jika ia menarik kembali sumpahnya, dengan memimpin angkatan bersenjata dengan tujuan perang terhadap negara atau mengizinkan seseorang untuk melakukan perang tersebut atas namanya, hal itu sama saja dengan tindakan pengunduran diri dari takhta. Anggota Majelis Georges Danton dan Camille Desmoulins menentang keras kompromi tersebut, dengan mengatakan bahwa Louis XVI sudah tidak punya kuasa lagi sejak pelariannya ke luar negeri. Kendati muncul kekacauan dan kericuhan, kondisi tetap terkendali di bawah pimpinan angkatan bersenjata LaFayatte yang setia mengawal revolusi.
Di tengah situasi tersebut muncul ancaman baru dari luar yaitu saudara ipar Louis XVI saudara dari Marie Antoinette. Mereka adalah Leopold II dari Austria, Friedrich Wilhelm II dari Prussia, serta adik dari Louis XVI bernama Comte d'Artois yang ketika revolusi berlangsung berhasil melarikan diri ke Prusia. Mereka mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang isinya menolak revolusi dan mendesak pembubaran Majelis, mendesak adanya jaminan keamanan terhadap pribadi raja dan keluarga, serta menuntut pengembalian segala hak dan kewenangan raja seperti semula. Bila tuntutan-tuntutan ini tidak dipenuhi maka Austria dan Prussia mengancam akan melakukan serangan ke Prancis. Ancaman ini tidak ditanggapi sedikitpun, dan malah semakin menguatkan kebencian rakyat terhadap monarki.
b. Monarki Konstitusional
Seolah tak terganggu dengan situasi politik yang terus memanas, hasil kerja keras Majelis melahirkan Konstitusi baru pada bulan September 1791, yang disebut Konstitusi 1791. Di bawah Konstitusi ini Majelis Konstituante membubarkan diri, dan mengganti namanya menjadi Majelis Legislatif. Melalui Konstituante ini pula, Prancis menerapkan monarki konstitusional, dimana Raja berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, dan punya hak veto serta mempunyai kewenangan untuk memilih para menteri.
Majelis Legislatif kemudian mengadakan sidang pertama kali pada 1 Oktober 1791, namun tidak berapa lama muncul kekacauan baru. Kekacauan ini dipicu oleh fraksi garis keras dalam tubuh Majelis Konstitusi, yang kemudian disebut Kelompok Jacobin. Mereka menolak Konstitusi 1791, dengan alasan utama menginginkan bentuk negara republik, dan bukan monarki konstitusional. Konstitusi baru itu mereka anggap telah mengkhianati revolusi. Tokoh utamanya adalah Maximilien Robespierre. Fraksinya menolak bergabung dengan Majelis Legislatif. Alhasil, Majelis ini bertahan hanya kurang dari setahun.
c. Republik
Pada 20 April 1792, di tengah situasi politik yang tidak menentu di dalam negeri, Pranics mendeklarasikan perang dengan Austria dan Prussia. Karena kedua raja ini merawa khawatir jika revolusi di Prancis akan menyebar ke negara mereka. Selain itu mereka bermaksud mengembalikan posisi Louis XVI ke kursi kekuasaannya. Perang ini sendiri baru berakhir tahun 1794, dengan kemenangan di pihak Prancis di bawah pimpinan kaum revolusioner yang terdiri dari pasukan milisi (tentara Republik).
Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan pada 10 Agustus 1792 sepasukan milisi, yang didukung oleh kaum Jacobin, menyerang Istana Tuileries dan membunuh semua pasukan pengawal raja. Keluarga raja ditahan, sidang muktamar Majelis Legislatif memutuskan penangguhan monarki. Kurang dari sepertiga anggota Majelis hadir dalam sidang tersebut, sedangkan sebagian besar yang hadir berasal dari kalangan Jacobin.
Kaum Jacobin mengirimkan banyak milisi ke penjara-penjara untuk mengeksekusi lawan-lawan politiknya. Mereka mengirim surat ke kota-kota lain agar melakukan hal serupa dan tindakan ini membuat Majelis tidak berdaya. Pembantaian lawan-lawan politik terhadap yang tidak setuju dengan republik terus berlangsung hingga terbentuk sebuah Konvensi pada 20 September 1792, yang ditugasi untuk menyusun sebuah konstitusi baru. Konvensi ini secara de facto telah menjadi pemerintahan baru Prancis, dan pada tanggal 21 September 1792, Konvensi ini menghapus monarki dan mendeklarasikan sebuah pemerintahan republik.
Pada 17 Januari 1793 Louis XVI divonis hukuman mati melalui keputusan Konvensi dengan tuduhan "berkonspirasi melawan kebebasan publik dan keamanan umum". Ia dieksekusi dengan pisau guillotine pada 21 Januari 1793 di Place de la Révolution (Plasa Revolusi), yang kemudian berganti nama menjadi Place de la Concorde untuk mengenang pembantaian raja dan keluarganya serta para pendukung monarki. Istrinya Maria Antoinette dieksekusi kemudian, pada bulan Oktober tahun yang sama.
Meski demikian, keadaan Prancis belum sepenuhnya membaik. Salah satu sayap partai Jacobin radikal yang berasal dari kaum buruh miskin yang disebut dengan nama sans cullote menderita kesulitan pangan. Prancis memang terus mengalami kegagalan panen, nilai mata uang turun, yang pada gilirannya menciptakan pengangguran. Kaum Jacobin kemudian menyerang partai lain yang disebut partai Girondin yang dianggap anti-reformis dan tidak tanggap krisis. Partai Jacobin berhasil mengalahkan partai Girondin, dan tokoh utama di balik penyerangan terhadap kaum Girondin ini adalah Robespierre (1758-1794).
Robespierre lalu diangkat menjadi kepala pemerintahan. Ia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi, dan karena itu pemerintahannya disebut dengan pemerintahan teror (reign of terror, 1793-1794). Pada masa pemerintahannya ia menangkap orang-orang yang dicurigai dan menghukum mati orang-orang tersebut dengan guillotine, dengan jumlah yang mencapai sekitar 40.000 orang. Akibat perbuatannya tersebut, Robespierre kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dengan guillotine pula pada 27 Juli 1794. Sikap Robespierre yang berlebihan ini disebabkan oleh ketakutannya terhadap ancaman Austria dan Prussia, dan musuh-musuhnya dari dalam negerinya sendiri.
d. Napoleon Bonaparte
Sepeninggal Robespierre, Prancis kemudian diperintah oleh golongan dari partai Girondin yang lolos dari teror Robespierre. Mereka melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari kelompok Jacobin. Tindak pembalasan itu dikenal dengan nama teror putih (white terror). Di bawah kendali kaum Girondin, Konvensi mengesahkan konstitusi baru pada 22 Agustus 1795, dan berlaku efektif pada 27 September 1795. Di dalam Konstitusi baru tersebut, pemerintahan dijalankan oleh Directoire yang beranggotakan lima orang, dan menganut Parlemen Bikameral (sistem parlemen dua kamar). Dewan Limaratus (Conseil Des Cinq-Cents), dengan 500 wakil, dan Dewan Penatua (Conseil des Anciens) dengan 250 senator. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh 5 orang itu yang dipilih oleh Dewan Penatua dari daftar yang diusulkan Dewan Limaratus untuk periode satu tahun.
Akan tetapi, pemerintahan mendapat gangguan dari sisa-sisa kaum Jacobin serta para pendukung monarki. Mereka kerap terlibat dalam gerakan-gerakan kontra-revolusi yang kemudian memicu kerusuhan dan kekacauan. Gerakan-gerakan ini kemudian dapat ditumpas ole seorang prajurit muda bernama Napoleon Bonaparte (1769-1821). Napoleon Bonaparte pun kemudian menjadi tokoh baru dan cepat terkenal.
Pada 9 November 1799, Napoleon melancarkan kudeta dan membentuk Konsulat. Sejak itum pemerintahan Prancis berubah menjadi pemerintahan Konsulat (1799-1802). Hal ini menandai awal dari kediktatoran Napoleon. Pada tahun 1804, ia memproklamirkan diri sebagai Kaisar (1804-1814), sekaligus mengakhiri fase republik. Pada tahun 1804 juga ia memberlakukan apa yang disebut "Undang-undang Napoleon" (Napoleonic Code). Sebelumnya Prancis tidak memiliki undang-undang sipil seperti ini. Undang-undang yang disusun oleh empat orang ahli hukum terkemuka atas perintah Napoleon ini menegaskan dan memperkuat apa yang menjadi cita-cita umum Revolusi, di antaranya privilese (hak istimewa) tidak diberikan dari lahir, adanya pengakuan terhadap kebebasan beragama, dan penegasan bahwa hanya orang-orang yang berkualitas dan berkemampuan yang dapat menduduki jabatan dalam pemerintahan.
3. Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Kehidupan Umat Manusia
a. Republikanisme
Revolusi Prancis juga ikut menyebarluaskan paham republikanisme. Penghapusan monarki Prancis menunjukkan dengan jelas bahwa negara ada karena rakyat. Oleh karena itu, rakyat seyogyanya merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada satu penguasa pun yang dapat memerintah tanpa mendapat persetujuan dari rakyat, dan rakyat pulalah yang harus melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Kalau kemudian para pendiri bangsa kita, memutuskan sistem pemerintahan republik, maka tidaklah terlalu berlebihan jika pengalaman bangsa Prancis banyak menginspirasi mereka juga.
b. Antifeodalisme dan hak asasi manusia
Sumbangan besar Revolusi Prancis terhadap organisasi-organisasi pergerakan nasional termasuk di Indonesia adalah semangat antifeodalisme. Revolusi berhasil menghapus privilise para bangsawan dan klerus. Dengan demikian, warga biasa dapat menikmati kebebasan dari pungutan pajak yang sewenang-wenang serta aturan-aturan lain yang menyengsarakan mereka. Sejak Napoleon Bonaparte, sikap antifeodalisme itu dipertegas lagi melalui Undang-undang Napoleon, dimana ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang berkualitas yang dapat menduduki jabatan publik dan bahwa tidak ada privilese yang dibawa sejak lahir.
Hal ini menunjukkan bahwa Revolusi menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan kebebasan di antara semua warga negara. Tidak ada diskriminasi karena semua warga negara mempunyai kedudukan yang setara. Ini merupakan pengakuan yang paling nyata terhadap hak-hak asasi manusia.
c. Nasionalisme
Revolusi Prancis membuat orang semakin bersatu sebagai satu bangsa (nation). Di bawah Napoleon Bonaparte, nasionalisme itu tumbuh dan berkembang. Mereka bangga sebagai satu bangsa yang dipayungi nilai-nilai yang sama yakni liberty, egality, fraternity. Nasionalisme yang sama menginspirasi angkatan bersenjatanya untuk memenangi serangkaian perang melawan Austria, Rusia, dan Prussia. Di sisi lain, penaklukan-penaklukan yang dilakukan Prancis di bawah Napoleon malah menyuburkan semangat nasionalisme di negara-negara taklukan. Semangat ini menyebar sampai ke Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada 28 Mei 1789, E. J. Sieyes mengumpulkan Golongan Ketiga dan membentuk Communes (Majelis Perwakilan Rakyat). E. J. Sieyes adalah seorang rohaniwan, tetapi ia banyak mengkritik golongan 1 dan 2 serta memihak golongan 3. Pada 17 Juni, golongan 3 mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, dengan menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, yaitu majelis yang murni berasal dari rakyat sendiri. Mereka mengundang golongan lain untuk bergabung. Majelis ini menyatakan diri sebagai pemilik kekuasaan yang berdaulat dalam hal pajak serta memutuskan untuk membuat kerangka konstitusi yang membatasi kekuasaan raja. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi terletak pada pribadi raja, melainkan pada bangsa (negara) dan akan dijalankan oleh para wakil rakyat yang akan dipilih oleh rakyat.
Menanggapi hal tersebut, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des Etats tempat Majelis Nasional mengadakan pertemuan, dengan alasan bahwa ruangan itu perlu diperbaiki dalam rangka menyambut kegiatan kenegaraan. Oleh karena cuaca yang tidak memungkinkan bagi Majelis Nasional untuk melakukan kegiatan ditempat terbuka, mereka kemudian menggunakan lapangan tenis yang berada dalam ruangan (tennis indoor).
Oleh karena kesepakatan yang diperoleh pada 20 Juni 1789, disebut dengan Sumpah Lapangan Tenis (The Tennis Court Oath) yang isinya "mereka tidak akan berpisah hingga bisa menghasilkan sebuah konstitusi untuk Prancis yang mencerminkan aspirasi rakyat". Sumpah ini merupakan sebuah tindakan yang revolusioner sekaligus sebuah penegasan bahwa otoritas politik berasal dari rakyat dan para wakil mereka, bukan dari raja/ratu. Solidaritas mereka kemudian memaksa Louis XVI, yang sebelumnya melarang pertemuan tersebut, memerintahkan kaum klerus dan bangsawan untuk bergabung dengan mereka dalam Majelis Nasional. Mayoritas perwakilan dari golongan klerus pun bergabung, ditambah dengan 47 anggota dari golongan bangsawan.
Sumpah lapangan tenis berdampak luas, tekat rakyat semakin kuat untuk menyusun konstitusi (undang-undang) yang dapat membatasi absolutisme raja. Lebih dari itu, sumpah itu dengan tegas menegaskan Golongan Ketiga sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi dan mahkota raja tidak lagi berasal dari Tuhan, melainkan dari rakyat sendiri.
Pada 27 Juni 1789, pihak monarki menyerah terhadap resolusi-resolusi Majelis. Namun, pada saat yang sama, militer mulai tiba dalam jumlah besar ke sekitar Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk Majelis mengalir dari Paris dan kota-kota lainnya di Prancis. Majelis mengganti namanya menjadi Majelis Konstituante Nasional pada 9 Juli 1789, sekaligus memulai fungsinya sebagai badan penyusun konstitusi. Wibawa dan kekuasaan raja melemah, dan isu kudeta militer menyebar.
Sementara itu, pertemuan Majelis Konstituante terus berlangsung. Di dalam istana sendiri terdengar kabar Necker dipecat. Kabar pemecatan terhadap tokoh yang populis ini cepat menyebar dan menimbulkan huru-hara karena dua hal; pertama, itu berarti situasi krisis perekonomian negara semakin tak tertangani dan tak terkendali; kedua, beban krisis ekonomi semakin tak tertahankan, dan rakyat justru menuntut reformasi segera.
Majelis Konstituante terus menggelar sesi-sesi pertemuan tanpa henti. Untuk mencegah raja mengusir para peserta dari ruang pertemuan, massa pun berkumpul di luar tempat pertemuan dalam jumlah besar. Pada akhirnya raja mengirim pasukan untuk membubarkan pertemuan yang dihadapi rakyat dengan melakukan perlawanan. Pada 14 Juli 1789, terjadi kekacauan, kerusuhan, dan penjarahan di mana-mana. Pada hari itu juga, rakyat menyerbu Penjara Bastille, tempat gudang senjata sekaligus simbol kekuasaan dan kesewenang-wenangan raja karena banyak tahanan politik di sana. Penyerbuan terhadap Penjara Bastille berhasil dengan baik karena tentara yang berkumpul di Paris memihak rakyat. Penyerangan tersebut menandai awal revolusi sehingga 14 Juli kelak diresmikan sebagai Hari Nasional Prancis.
Pasca jatuhnya Bastille pada 14 Juli 1789, Majelis Konstituante Nasional menjadikan dirinya sebagai pemerintah transisi. Di dalamnya bergabung para tokoh revolusi, diantaranya Mirabeau (bangsawan), Lafayette (bangsawan), dan Sieyes (klerus).
Gelombang revolusi menyebar dengan cepat ke seluruh negeri. Setelah lama menderita akibat eksploitasi, para petani menjarah dan membakar rumah-rumah para penagih pajak, tuan tanah, dan bangsawan. Dengan mengusung semboyan liberte (kebebasan), egalite (kesamaan), fraternite (persaudaraan), mereka menuntut penghapusan hak-hak istimewa golongan bangsawan dan klerus. Mereka juga menuntut hak-hak atas tanah. Pada 4 Agustus 1789, Majelis secara resmi membubarkan feodalisme setelah terjadi revolusi pertani yang dikenal sebagai la Grande peur atau "Kekuatan yang Besar".
Majelis Konstituante Nasional menghapus kewenangan Gereja Katolik untuk menarik pajak (dime = sedekah), menghapus hak-hak khusus bagi kaum klerus, serta menyita harta milik dan kekayaan gereja yang pada masa Ancien Regime (Rezim Lama) menjadi pemilik tanah terbesar di Prancis. Perlucutan kekuasaan Gereja ini diwarnai penindasan dan bahkan pembantaian terhadap para rohaniwan (klerus) di seluruh Prancis.
Pada 27 Agustus 1789, Majelis Konstituante juga mengumumkan Pernyataan Hak Asasi Manusia dan Warga LaDéclaration des droits de l'Homme et du citoyen sebagai dasar dari pemerintahan baru. Hak-hak tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Hak atas kemerdekaan pribadi
2. Hak diperlakuan sama dengan hukum
3. Hak kebebasan bertempat tinggal
4. Hak atas milik pribadi
5. Hak atas keamanan pribadi
6. Hak untuk membela diri
7. Hak kebebasan menyatakan pendapat
8. Hak kebebasan memeluk agama
a. Pasca-Revolusi
Ternyata revolusi ini tidak mengakhiri monarki. Hal itu karena di dalam Majelis sendiri terdapat banyak fraksi. Ada fraksi yang terang-terangan menolak revolusi, ada fraksi yang menginginkan monarki yang konstitusional (seperti di Inggris), ada fraksi yang menginginkan bentuk pemerintahan republik, dan fraksi-fraksi lainnya. Intinya, Majelis ingin memangkas kewenangan raja dan menjadikannya hanya sebagai simbol negara saja, misalnya hanya berperan untuk mengusulkan perang saja.
Sampai saat itu, meski akan dipangkas kekuasaannya, posisi raja dan kalangan istana masih aman. Sementara itu, Majelis masih berupaya membentuk konstitusi baru, di dalamnya akan ditetapkan bagaimana negara baru pasca-revolusi akan dijalankan.
Louise XVI sendiri cemas dengan arah revolusi dan keselamatan keluarganya sendiri. Lingkaran istana mendorong dia agar lebih tegas terhadap hasil-hasil revolusi, namun ia sendiri menyadari itu sudah terlambat dan tak mungkin lagi. Pada bulan Juni 1792, ia bersama keluarganya melarikan diri dari Istana Tuileries namun berhasil ditangkap di Varennes dan dibawa kembali ke Paris. Ia dan keluarganya ditahan, dan seluruh kewenangannya sebagai raja ditangguhkan untuk sementara. Tidak lama berselang, tercapai kompromi dengan Louise XVI yang hasilnya memaksanya mengucapkan sumpah setia terhadap konstitusi. Ia juga harus mematuhi dekret yang menyatakan bahwa jika ia menarik kembali sumpahnya, dengan memimpin angkatan bersenjata dengan tujuan perang terhadap negara atau mengizinkan seseorang untuk melakukan perang tersebut atas namanya, hal itu sama saja dengan tindakan pengunduran diri dari takhta. Anggota Majelis Georges Danton dan Camille Desmoulins menentang keras kompromi tersebut, dengan mengatakan bahwa Louis XVI sudah tidak punya kuasa lagi sejak pelariannya ke luar negeri. Kendati muncul kekacauan dan kericuhan, kondisi tetap terkendali di bawah pimpinan angkatan bersenjata LaFayatte yang setia mengawal revolusi.
Di tengah situasi tersebut muncul ancaman baru dari luar yaitu saudara ipar Louis XVI saudara dari Marie Antoinette. Mereka adalah Leopold II dari Austria, Friedrich Wilhelm II dari Prussia, serta adik dari Louis XVI bernama Comte d'Artois yang ketika revolusi berlangsung berhasil melarikan diri ke Prusia. Mereka mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang isinya menolak revolusi dan mendesak pembubaran Majelis, mendesak adanya jaminan keamanan terhadap pribadi raja dan keluarga, serta menuntut pengembalian segala hak dan kewenangan raja seperti semula. Bila tuntutan-tuntutan ini tidak dipenuhi maka Austria dan Prussia mengancam akan melakukan serangan ke Prancis. Ancaman ini tidak ditanggapi sedikitpun, dan malah semakin menguatkan kebencian rakyat terhadap monarki.
b. Monarki Konstitusional
Seolah tak terganggu dengan situasi politik yang terus memanas, hasil kerja keras Majelis melahirkan Konstitusi baru pada bulan September 1791, yang disebut Konstitusi 1791. Di bawah Konstitusi ini Majelis Konstituante membubarkan diri, dan mengganti namanya menjadi Majelis Legislatif. Melalui Konstituante ini pula, Prancis menerapkan monarki konstitusional, dimana Raja berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, dan punya hak veto serta mempunyai kewenangan untuk memilih para menteri.
Majelis Legislatif kemudian mengadakan sidang pertama kali pada 1 Oktober 1791, namun tidak berapa lama muncul kekacauan baru. Kekacauan ini dipicu oleh fraksi garis keras dalam tubuh Majelis Konstitusi, yang kemudian disebut Kelompok Jacobin. Mereka menolak Konstitusi 1791, dengan alasan utama menginginkan bentuk negara republik, dan bukan monarki konstitusional. Konstitusi baru itu mereka anggap telah mengkhianati revolusi. Tokoh utamanya adalah Maximilien Robespierre. Fraksinya menolak bergabung dengan Majelis Legislatif. Alhasil, Majelis ini bertahan hanya kurang dari setahun.
c. Republik
Pada 20 April 1792, di tengah situasi politik yang tidak menentu di dalam negeri, Pranics mendeklarasikan perang dengan Austria dan Prussia. Karena kedua raja ini merawa khawatir jika revolusi di Prancis akan menyebar ke negara mereka. Selain itu mereka bermaksud mengembalikan posisi Louis XVI ke kursi kekuasaannya. Perang ini sendiri baru berakhir tahun 1794, dengan kemenangan di pihak Prancis di bawah pimpinan kaum revolusioner yang terdiri dari pasukan milisi (tentara Republik).
Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan pada 10 Agustus 1792 sepasukan milisi, yang didukung oleh kaum Jacobin, menyerang Istana Tuileries dan membunuh semua pasukan pengawal raja. Keluarga raja ditahan, sidang muktamar Majelis Legislatif memutuskan penangguhan monarki. Kurang dari sepertiga anggota Majelis hadir dalam sidang tersebut, sedangkan sebagian besar yang hadir berasal dari kalangan Jacobin.
Kaum Jacobin mengirimkan banyak milisi ke penjara-penjara untuk mengeksekusi lawan-lawan politiknya. Mereka mengirim surat ke kota-kota lain agar melakukan hal serupa dan tindakan ini membuat Majelis tidak berdaya. Pembantaian lawan-lawan politik terhadap yang tidak setuju dengan republik terus berlangsung hingga terbentuk sebuah Konvensi pada 20 September 1792, yang ditugasi untuk menyusun sebuah konstitusi baru. Konvensi ini secara de facto telah menjadi pemerintahan baru Prancis, dan pada tanggal 21 September 1792, Konvensi ini menghapus monarki dan mendeklarasikan sebuah pemerintahan republik.
Pada 17 Januari 1793 Louis XVI divonis hukuman mati melalui keputusan Konvensi dengan tuduhan "berkonspirasi melawan kebebasan publik dan keamanan umum". Ia dieksekusi dengan pisau guillotine pada 21 Januari 1793 di Place de la Révolution (Plasa Revolusi), yang kemudian berganti nama menjadi Place de la Concorde untuk mengenang pembantaian raja dan keluarganya serta para pendukung monarki. Istrinya Maria Antoinette dieksekusi kemudian, pada bulan Oktober tahun yang sama.
Meski demikian, keadaan Prancis belum sepenuhnya membaik. Salah satu sayap partai Jacobin radikal yang berasal dari kaum buruh miskin yang disebut dengan nama sans cullote menderita kesulitan pangan. Prancis memang terus mengalami kegagalan panen, nilai mata uang turun, yang pada gilirannya menciptakan pengangguran. Kaum Jacobin kemudian menyerang partai lain yang disebut partai Girondin yang dianggap anti-reformis dan tidak tanggap krisis. Partai Jacobin berhasil mengalahkan partai Girondin, dan tokoh utama di balik penyerangan terhadap kaum Girondin ini adalah Robespierre (1758-1794).
Robespierre lalu diangkat menjadi kepala pemerintahan. Ia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi, dan karena itu pemerintahannya disebut dengan pemerintahan teror (reign of terror, 1793-1794). Pada masa pemerintahannya ia menangkap orang-orang yang dicurigai dan menghukum mati orang-orang tersebut dengan guillotine, dengan jumlah yang mencapai sekitar 40.000 orang. Akibat perbuatannya tersebut, Robespierre kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dengan guillotine pula pada 27 Juli 1794. Sikap Robespierre yang berlebihan ini disebabkan oleh ketakutannya terhadap ancaman Austria dan Prussia, dan musuh-musuhnya dari dalam negerinya sendiri.
d. Napoleon Bonaparte
Sepeninggal Robespierre, Prancis kemudian diperintah oleh golongan dari partai Girondin yang lolos dari teror Robespierre. Mereka melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari kelompok Jacobin. Tindak pembalasan itu dikenal dengan nama teror putih (white terror). Di bawah kendali kaum Girondin, Konvensi mengesahkan konstitusi baru pada 22 Agustus 1795, dan berlaku efektif pada 27 September 1795. Di dalam Konstitusi baru tersebut, pemerintahan dijalankan oleh Directoire yang beranggotakan lima orang, dan menganut Parlemen Bikameral (sistem parlemen dua kamar). Dewan Limaratus (Conseil Des Cinq-Cents), dengan 500 wakil, dan Dewan Penatua (Conseil des Anciens) dengan 250 senator. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh 5 orang itu yang dipilih oleh Dewan Penatua dari daftar yang diusulkan Dewan Limaratus untuk periode satu tahun.
Akan tetapi, pemerintahan mendapat gangguan dari sisa-sisa kaum Jacobin serta para pendukung monarki. Mereka kerap terlibat dalam gerakan-gerakan kontra-revolusi yang kemudian memicu kerusuhan dan kekacauan. Gerakan-gerakan ini kemudian dapat ditumpas ole seorang prajurit muda bernama Napoleon Bonaparte (1769-1821). Napoleon Bonaparte pun kemudian menjadi tokoh baru dan cepat terkenal.
Pada 9 November 1799, Napoleon melancarkan kudeta dan membentuk Konsulat. Sejak itum pemerintahan Prancis berubah menjadi pemerintahan Konsulat (1799-1802). Hal ini menandai awal dari kediktatoran Napoleon. Pada tahun 1804, ia memproklamirkan diri sebagai Kaisar (1804-1814), sekaligus mengakhiri fase republik. Pada tahun 1804 juga ia memberlakukan apa yang disebut "Undang-undang Napoleon" (Napoleonic Code). Sebelumnya Prancis tidak memiliki undang-undang sipil seperti ini. Undang-undang yang disusun oleh empat orang ahli hukum terkemuka atas perintah Napoleon ini menegaskan dan memperkuat apa yang menjadi cita-cita umum Revolusi, di antaranya privilese (hak istimewa) tidak diberikan dari lahir, adanya pengakuan terhadap kebebasan beragama, dan penegasan bahwa hanya orang-orang yang berkualitas dan berkemampuan yang dapat menduduki jabatan dalam pemerintahan.
3. Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Kehidupan Umat Manusia
a. Republikanisme
Revolusi Prancis juga ikut menyebarluaskan paham republikanisme. Penghapusan monarki Prancis menunjukkan dengan jelas bahwa negara ada karena rakyat. Oleh karena itu, rakyat seyogyanya merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada satu penguasa pun yang dapat memerintah tanpa mendapat persetujuan dari rakyat, dan rakyat pulalah yang harus melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Kalau kemudian para pendiri bangsa kita, memutuskan sistem pemerintahan republik, maka tidaklah terlalu berlebihan jika pengalaman bangsa Prancis banyak menginspirasi mereka juga.
b. Antifeodalisme dan hak asasi manusia
Sumbangan besar Revolusi Prancis terhadap organisasi-organisasi pergerakan nasional termasuk di Indonesia adalah semangat antifeodalisme. Revolusi berhasil menghapus privilise para bangsawan dan klerus. Dengan demikian, warga biasa dapat menikmati kebebasan dari pungutan pajak yang sewenang-wenang serta aturan-aturan lain yang menyengsarakan mereka. Sejak Napoleon Bonaparte, sikap antifeodalisme itu dipertegas lagi melalui Undang-undang Napoleon, dimana ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang berkualitas yang dapat menduduki jabatan publik dan bahwa tidak ada privilese yang dibawa sejak lahir.
Hal ini menunjukkan bahwa Revolusi menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan kebebasan di antara semua warga negara. Tidak ada diskriminasi karena semua warga negara mempunyai kedudukan yang setara. Ini merupakan pengakuan yang paling nyata terhadap hak-hak asasi manusia.
c. Nasionalisme
Revolusi Prancis membuat orang semakin bersatu sebagai satu bangsa (nation). Di bawah Napoleon Bonaparte, nasionalisme itu tumbuh dan berkembang. Mereka bangga sebagai satu bangsa yang dipayungi nilai-nilai yang sama yakni liberty, egality, fraternity. Nasionalisme yang sama menginspirasi angkatan bersenjatanya untuk memenangi serangkaian perang melawan Austria, Rusia, dan Prussia. Di sisi lain, penaklukan-penaklukan yang dilakukan Prancis di bawah Napoleon malah menyuburkan semangat nasionalisme di negara-negara taklukan. Semangat ini menyebar sampai ke Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Daftar Pustaka
Hapsari, R., & Adil, M. (2014). Sejarah
Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta:
Erlangga.
Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours
ReplyDeleteOver 160 thousand men and women are trying a easy and SECRET "liquid hack" to drop 1-2lbs each and every night while they sleep.
It is simple and works all the time.
Here's how you can do it yourself:
1) Take a glass and fill it half glass
2) Proceed to follow this strange HACK
so you'll become 1-2lbs lighter as soon as tomorrow!