A. LATAR BELAKANG
Globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Masyarakat dapat menjangkau satu dengan yang lain dalam segala aspek kehidupan didukung oleh kemajuan IPTEK dan keterbukaan sistem perekonomian negara yang mempercepat akselerasi globalisasi.
Keterbukaan sistem perekonomian negara dipicu oleh adanya liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini mengakibatkan masyarakat di berbagai dunia dapat menikmati hasil produksi dari negara lain, seperti makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, keterbukaan sistem perekonomian ini juga meningkatkan aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan multinasional. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia merasakan dampak dari adanya globalisasi pada aspek ekonomi tersebut, baik dari segi produksi, pembiayaan, tenaga kerja, jaringan informasi, dan perdagangan.
Dampak globalisasi ekonomi ini didapatkan melalui pengaruh dari perusahaan multinasional yang menimbulkan adanya industrialisasi dalam suatu negara sehingga terjadilah keterbukaan juga terhadap lapangan pekerjaan. Seiring meningkatnya lapangan pekerjaan dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat yang kebutuhannya belum tercukupi, terutama masyarakat desa. Hal ini mengakibatkan terjadinya urbanisasi (perpindahan penduduk desa ke kota) bagi masyarakat desa untuk mencoba mencari pekerjaan yang layak di kota demi kelangsungan hidupnya.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas dua kasus yang berkaitan dengan urbanisasi sebagai dampak globalisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal atau komunitas, serta solusi untuk mengatasi urbanisasi menurut pandangan penulis sebagai bibit penerus bangsa.
B. PEMBAHASAN
1. Urbanisasi Masa ke Masa (detiknews.com)
Jakarta - Idulfitri usai. Para pekerja yang berasal dari luar Jakarta berduyun-duyun kembali ke ibukota untuk mengais rezeki. Namun, yang jadi masalah setiap tahun adalah banyak dari mereka yang kemudian membawa sanak saudara atau temannya untuk mengadu nasib di Jakarta.
Urbanisasi musiman pun tiba. Pendatang baru menjadi semacam problema bagi pemerintah DKI Jakarta, yang setiap tahun dibikin pusing.
Sesungguhnya masalah urbanisasi bukan sesuatu yang baru, sudah ada sejak ratusan tahun silam. Peter Boomgaard dalam bukunya Anak Jajahan Belanda mencatat, Belanda melakukan sensus penduduk untuk kali pertama pada 1795 di Kabupaten Jakarta dan Priangan, pesisir dan ujung Timur Jawa.
Masih menurut Boomgaard, sensus pertama yang dilakukan di seluruh Pulau Jawa dilakukan pada 1815, kala Jawa ada dalam kendali Inggris.
Sementara, dalam artikelnya State Without Cities; Demographic Trends in Early Java, Jan Wissman Christie mengatakan, terjadi ledakan penduduk di Jawa dari survei yang dilakukan pada masa Raffles. Semula hanya tercatat 4,5 juta penduduk, pada 1900 menjadi 30 juta.
Christie melihat, pertambahan jumlah penduduk itu hanya terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Populasi tersebut meningkat di daerah-daerah partikelir, dengan segala faktor penyebab urbanisasi.
Lantas, bagaimana dengan Jakarta? Kapan urbanisasi besar terjadi?
Alwi Shahab menuliskannya dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. Ia menulis, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen merupakan orang yang mengumandangkan urbanisasi.
Saat masa pemerintahannya (1619-1623), Coen mendatangkan budak-budak belian, yang merupakan tawanan perang VOC dari berbagai daerah. Pada awal abad ke-18, penduduk Batavia mencapai 50.000 jiwa. Separuhnya berstatus budak dari Bali.
Seiring waktu, Batavia berkembang pesat menjadi kota dagang dan industri. Menurut Alwi, setelah 1869, muncul imigran-imigran dari Belanda, Tiongkok, dan Arab.
Munculnya kantor-kantor besar dan pabrik-pabrik, akhirnya mendorong orang dari desa mengadu nasib di Batavia. Menurut Alwi, saat itu yang mengadu nasib memiliki keahlian dan profesi spesifik. Misalnya, orang dari Tasikmalaya menjadi tukang kredit, dan orang Madura menjual sate ayam.
Setelah Indonesia merdeka, urbanisasi rupanya masih menjadi "hantu" yang menakutkan bagi pemerintah DKI Jakarta. Gubernur DKI era Soekarno, Soemarno Sostroatmojo (1960-1964 dan 1965-1966), pernah membuat kebijakan revolusioner untuk mengatasi urbanisasi.
Dalam sebuah wawancara di majalah Prisma edisi Mei 1977, Soemarno mengatakan, pada 1962 ia mengumumkan Jakarta sebagai kota tertutup. Ia memberikan instruksi setiap RT dan RW supaya melaporkan pendatang baru. Bagi mereka yang tak punya pekerjaan, dilarang masuk Jakarta. Namun, kebijakan itu gagal total.
Penggantinya, Ali Sadikin (1966-1977) juga pernah mengeluarkan kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup. Tapi, gagal pula.
Masri Singarimbun pernah menulis dalam artikelnya Urbanisasi: Apakah itu Suatu Problema di Prisma edisi Mei 1977 bahwa salah satu dilema dalam membendung arus urbanisasi adalah kenyataan perbedaan pendapatan antara desa dan kota. Besarnya pendapatan untuk keahlian yang kurang lebih sama, menjadi faktor utama perpindahan penduduk ke kota.
Di majalah yang sama, Mayling Oey menulis artikel Jakarta Dibangun Kaum Pendatang. Artikel Mayling ini cukup menohok untuk menyebutkan bahwa orang-orang yang pindah ke Jakarta merupakan orang-orang yang berkontribusi membangun ibukota.
Mayling mencatat, para pendatang mayoritas berasal dari empat wilayah, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Pada dekade 1970-an, empat provinsi di Jawa saja menyumbangkan 80 persen dari semua migran ke ibu kota. Selebihnya, tujuh persen dari Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Arus urbanisasi yang besar, terutama setelah Idulfitri, selalu menghantui pemerintah DKI. Berulang terus-menerus setiap tahun.
Pada 2002, Gubernur DKI Sutiyoso (1997-2007) mengemukakan wacana pembatasan penduduk Jakarta. Ia ingin menerbitkan Perda khusus mengenai kependudukan, yang dapat mengatur tentang persyaratan penduduk DKI, semisal memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap di Jakarta. Namun, realisasinya tak terdengar kembali.
Baru-baru ini, Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat pun mengambil langkah mengantisipasi arus urbanisasi pasca-Idulfitri. Ia berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI hingga RT/RW untuk melakukan pendataan warga pendatang yang masuk ke Jakarta. Kebijakan ini dilakukan hingga 20 hari setelah Lebaran.
Jika ada warga pendatang kedapatan tak memiliki identitas resmi, Djarot pun mengimbau mereka untuk pulang kampung. Sebelum dipulangkan, Pemda DKI akan membina mereka di panti-panti yang disediakan Dinas Sosial DKI.
Usaha Djarot ini mirip apa yang dilakukan Soemarno dan Ali Sadikin puluhan tahun silam. Yang sering dilakukan Pemda DKI adalah Operasi Yustisi. Sebuah operasi memeriksa kartu identitas yang kerap menimbulkan tanggapan sinis berbagai pihak. Tahun ini, sepertinya operasi yang sering digelar pasca-Lebaran itu tak ada di DKI.
Meski begitu, saya sepakat dengan Mayling Oey bahwa perkembangan Kota Jakarta nyatanya didominasi oleh kontribusi para pendatang. Kaum migran datang ke Jakarta pada usia yang produktif. Jika latar belakang mereka cukup tinggi, mereka berpotensi menduduki kepemimpinan dalam birokrasi yang ada.
Kita tak bisa menutup mata. Banyak pengusaha, pejabat, pendidik, yang berasal dari desa. Namun, urbanisasi memang merupakan salah satu masalah bagi kota besar seperti Jakarta. Perlu ada penanganan khusus, tapi jangan juga antipati.
Usaha untuk menciptakan lapangan kerja baru di daerah, program transmigrasi, membangun daerah dengan memaksimalkan potensi lokal, tampaknya perlu dilakukan dengan taktis dan cerdas. Jika tidak, masalah ini hanya akan menjadi --ditangani dengan kebijakan yang berulang, tapi tak efektif.
a) Analisis Penyebab
Urbanisasi telah menjadi permasalahan sosial perkotaan besar di Indonesia secara tahunan, khusunya ibukota Jakarta. Munculnya perusahaan multinasional telah mengembangkan ekonomi kota-kota besar di Indonesia yang semakin pesat memicu masyarakat untuk berpindah dari desa ke kota. Dalam artikel berita yang berjudul “Urbanisasi Masa ke Masa” telah membuktikan bahwa urbanisasi telah menjadi agenda tahunan bagi Jakarta.
Urbanisasi di Jakarta ini disebabkan oleh faktor momentum, yaiutu hari raya yang menyebabkan masyarakat berpikir bahwa membutuhkan kehidupan baru diperkotaan. Momentum yang paling memicu urbanisasi di perkotaan besar Indonesia adalah hari raya Idul Fitri. Munculnya niat untuk pindah dari desa ke kota pasca hari raya Idul Fitri umumnya sangat dipengaruhi oleh ajakan, kesalahan menerima informasi media massa, impian pribadi, dan terdesak kebutuhan ekonomi.
b) Pengaruh Langsung terhadap Komunitas Lokal
Laju urbanisasi memberikan dampak bagi komunitas lobal, dikarenakan kualitas masyarakat yang melakukan urbanisasi masih rendah jika dilihat dari tingkat pendidikan, keahlian maupun kesadaran akan lingkungan. Urbanisasi cepat atau lambat akan berdampak pada permasalahan kependudukan dan lingkungan, permasalahan paling utama yang disebabkan oleh urbanisasi pasca hari raya adalah tata perkotaan dan daya dukung kota. Ledakan penduduk yang disebabkan urbanisasi akan sulit diatasi oleh kemampuan daya dukung kota. Lahan yang bukan merupakan pemukiman warga, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan trotor bagi pedestrian dialih fungsikan sebagai ruang tempat tinggal maupun berjualan kaki lima, ruang untuk lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan. Yang paling memprihatinkan adalah pengalih fungsian Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semula berfungsi sebagai penyerap air hujan menjadi lahan pemukiman warga urbanisasi. Pengalih fungsian ini dapat menyebabkan banjir bagi warga yang tinggal disekitar DAS.
Dampak jangka panjang dari urbanisasi yang secara terus menerus setiap tahunnya pasca hari raya adalah permasalahan lingkungan, lingkungan pemukiman menjadi kumuh dan tidak layak huni serta tidak sehat karena sering terkena banjir dan asap polusi kendaraan yang tinggi. Dan juga terjadi peningkatan pengangguran, kriminalitas, bahkan ketimpangan sosial ekonomi.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota tidak menjadi permasalahan sosial apabila penduduk yang datang ke kota mempunyai kualitas keterampilan yang dibutuhkan di perkotaan. Faktanya, perpindahan penduduk tersebut tidak diikuti oleh kualitas keterampilan yang bagus, sehingga profesi yang diambil hanyalah sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, dan pekerjaan lain yang sejenis (pekerjaan kasar). Bahkan ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan memilih atau terpaksa tinggal di kota dan menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila.
2. Masalah Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial - Ajid Kurniawan (Prokal.co.)
PROKAL.CO, Berkecil hati atau tidak, Balikpapan tidak bisa menunggu, terutama Wali Kota Rizal Effendi dan pendamping barunya Wakil Wali Kota Rahmad Mas’ud. Urbanisasi dengan setumpuk permasalahannya akan menjadi pemancing gejolak sosial.
HARI merayap petang. Penjaja jasa perbaikan sepatu masih saja meneriakkan “Sol spatu!...sol spatu!. Sedang penjual sayur tetap berkeliling hingga matahari berdiri tegak lurus di atas kepala. Di tempat lain, penjual keripik singkong melepas lelah di ujung gang. Rekaman dari pengeras suara menyalak nyaring: “Keripik singkong…keripik singkong…manis, pedas, gurih…eeenak rasanya!”
Di kawasan Lapangan Merdeka, tak jauh dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB), mobil-mobil berpelat hitam dengan pintu bagasi terbuka menggelar dagangan pada sore hari.
Di driving range PT. Telkom Jalan MT. Haryono, kabut pagi belum terangkat saat tangan-tangan yang terawat baik mengayunkan stik, melambungkan bola golf. Siang hingga malam hari, resto dan café di sejumlah mal tak pernah sepi pengunjung. Di tepi jalan Pasar Buton, seorang nenek menanti dengan penuh kesabaran agar tumpukan singkong yang digelarnya beralih ke tangan pembeli.
Di kawasan Jalan Jenderal Sudirman pada dini hari menjelang pagi, mobil jemputan bersiap mengantarkan perempuan-perempuan muda berpakaian seksi ke pondokan yang menampung mereka. Di Bandara SAMS Sepinggan yang megah, ribuan orang datang dan pergi silih berganti.
Sebagai satu kota yang memiliki sejarah dengan minyak, Balikpapan mewariskan kebudayaan urban. Dalam perjalanan panjang dari sebuah dusun berhutan menjadi kota besar, modernisasi terus diperlihatkan kota Balikpapan. Hotel, mal, apartemen, perkantoran, perumahan mewah terus tumbuh. Bangunan yang tinggi dan rendah saling berdesakan.
Demikianlah. Sementara para wakil rakyat mewakili rakyatnya sibuk bepergian dari satu kota ke kota lainnya. Pada waktu yang sama, mungkin saja pemulung yang sedang mengorek sampah menemukan bayi merah yang dibuang.
Ini suatu keganjilan tapi dalam sesaat saja dan orang tidak lagi kaget. Mungkin karena kebiadaban seperti ini sudah sering terjadi di Kota Beriman. Apakah bayi yang dibuang masih hidup atau mati bukan satu hal penting yang bisa mencegah ibu-ibu di kota ini untuk tidak membuang bayinya. Peristiwa ini akan terjadi lagi, seperti halnya perampokan, pencurian dan penjambretan yang semakin marak terjadi.
Dampak kemajuan dan urbanisasi yang terjadi di Balikpapan telah memicu peningkatan masalah sosial di Kota Beriman. Human trafficking yang marak ditandai makin banyaknya anak baru gede (ABG) yang menjual diri, kekumuhan kota, dan naiknya angka kejahatan.
Disiplin sosial semakin rendah, serta munculnya kecemasan baru di sebagian kalangan akibat kalah bersaing lantaran gagalnya pemerataan pembangunan. Peningkatan masalah sosial tersebut tidak bisa ditutup, betapa pun wajah kota Balikpapan dipulas dengan cantik.
Badan Pusat Statistik (BPS) Balikpapan merilis jumlah kemiskinan sebanyak 14,9 ribu orang di tahun 2013, naik menjadi 15,2 ribu di tahun 2014. Jumlah penduduk miskin di Balikpapan diprediksi terus bertambah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pelemahan ekonomi.
Fakta lain juga mencatat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kota Balikpapan selama kurun waktu 2010-2014 realisasinya belum mencapai standar PBB (Nilai IPM > 80).
Jika kecenderungan realisasi pencapaian IPM tersebut terus berlanjut tanpa ada upaya-upaya akselerasi dan sinergitas, maka sasaran untuk mencapai IPM Kota Balikpapan ke level sangat tinggi akan sulit terpenuhi. Atau mungkin saja justru menurun akibat penurunan pendapatan masyarakat.
“Diperlukan upaya dan kesungguhan yang sangat keras untuk meraih peluang mencapai nilai IPM dengan kriteria sangat tinggi,” kata Kepala BPS Balikpapan Nur Wahid.
Berkecil hati atau tidak, Balikpapan tidak bisa menunggu, terutama Wali Kota Rizal Effendi dan pendamping barunya Wakil Wali Kota Rahmad Mas’ud. Urbanisasi dengan setumpuk permasalahannya akan menjadi pemancing gejolak sosial.
Dengan rata-rata pertumbuhan 5,11 persen per tahun, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) merilis jumlah penduduk Balikpapan hingga 28 Mei 2016 telah mencapai 746.329 jiwa. Membedah ledakan penduduk akibat urbanisasi, Balikpapan sebenarnya pernah membuat kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup”. Persis seperti yang dilakukan DKI Jakarta di masa kepemimpinan Ali Sadikin pada 1970.
Adalah Wali Kota Imdaad Hamid yang menjadi pencetusnya. Administrasi kependudukan terpayungi melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 22 tahun 2002. Perda ini mengatur tentang KTP sementara, KTP bagi orang miskin, pilihan pengurusan KTP, dan KTP asing, dan lain-lain.Bagi pendatang, enam bulan pertama mereka memegang KTP sementara.
Setelah mendapat pekerjaan, mereka dapat mengajukan KTP tetap. Bila setelah enam bulan tidak mendapat pekerjaan, mereka akan diminta pulang atau dipulangkan secara paksa (dengan biaya dari uang jaminan yang dulu mereka depositkan ke Pemerintah Kota).
Ada yang menilai kebijakan ini sebagai tindakan yang tidak simpatik, namun tak sedikit pemimpin kota-kota lain yang tertarik dan datang ke Balikpapan untuk memelajarinya. Syahdan, Pemerintah Pusat pun merasa tertarik dengan manajemen kependudukan Kota Balikpapan.
“Pengendalian laju pertumbuhan penduduk akibat migrasi sangat diperlukan guna mencegah timbulnya berbagai masalah sosial,” kata Imdaad Hamid pada masa itu.
Pada masa pemerintahannya, guru kota Balikpapan itu menilai penyelenggaraan administrasi kependudukan belum dilaksanakan secara baik dan tertib. Akibatnya, pertumbuhan penduduk menjadi tidak terkendali.
Berjalan sekitar 3 tahun, kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup” berakhir seiring dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Model administrasi kependudukan ala Balikpapan yang mampu memberikan kontribusi pada PAD pun terhenti. Sesuai UU 23/2006, pendanaan program administrasi kependudukan dibebankan kepada APBN.
“Meski telah ada undang-undang administrasi kependudukan, kebijakan adminduk sesuai perda yang pernah ada di Balikpapan sangat relevan untuk diterapkan kembali. Pada kota-kota tujuan urbanisasi dan memiliki keterbatasan kewilayahan seperti Balikpapan, perlu ada pengecualian,” ujar seorang pejabat Disdukcapil Balikpapan.
“Kalau perda adminduk masih diberlakukan sampai sekarang, mungkin keadaannya tidak seperti sekarang,” sambung pejabat yang menempati ruangan di lantai dasar Kantor Disdukcapil.
Menurut dia, kota Balikpapan telah berfungsi sebagai tempat penampungan para pendatang yang mengharapkan lapangan kerja. Masalah pendatang tanpa keahlian dan tanpa lapangan kerja itu bisa meruncing dalam ketidakpastian dan kemarahan. Pemerintah Kota Balikpapan tidak menghendaki hal ini.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai imbas merosotnya industri batu bara dan migas dipastikan memunculkan permasalahan baru. Dinas Tenagas Kerja dan Sosial Balikpapan mencatat angka PHK sepanjang 2015 mencapai sekitar 7.000 orang. Kepala Disnakersos Balikpapan Tirta Dewi memang mengatakan pekerja yang terkena PHK tidak hanya berasal dari Balikpapan asli, namun sebagian besar berasal dari luar daerah yang bekerja dengan penempatan di kota tersebut.
Diakuinya ada pula para pekerja korban PHK langsung mencari pekerjaan pengganti dengan mendaftar penempatan kerja di tempat lain, atau pulang ke daerah asalnya untuk mencari pekerjaan di sana.
Meskipun begitu, pemkot tetap saja ‘pusing’ memikirkan bagaimana kelanjutan nasib pekerja yang terkena PHK. Sebab angka pengangguran yang tinggi pun dapat berimbas pada banyak hal, termasuk salah satunya pada angka kriminalitas.
Untuk mengantisipasi gelombang PHK kedua yang mungkin sekali terjadi sepanjang tahun ini, Pemkot Balikpapan berencana untuk membuat Kampung PHK yang akan dijadikan sebagai pusat pelatihan khusus bagi korban PHK.
“Mungkin saja para pekerja itu punya talenta yang bisa dikembangkan untuk usaha yang bisa dijadikan mata pencaharian. Kami akan berkoordinasi dengan instansi terkait, termasuk dengan Dewan Pengupahan untuk membentuk konsep Kampung PHK,” tutur Tirta.
Dia berharap Kampung PHK ini nantinya bisa diintergrasikan dengan Kampung Wisata yang juga tengah direncakan pembangunannya oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata Balikpapan, atau dengan ternak ayam Kampung Organik.
Dengan adanya Kampung PHK, Disnakersos ingin membantu para korban PHK menemukan kegiatan usaha yang cocok untuk mereka, bahkan memberikan pelatihan pada minat usaha masing-masing sebagai perbekalan.
Sayangnya, rencana itu masih sekadar angan-angan. Tirta mengaku belum bisa merealisasikan pembuatan Kampung PHK tahun ini. Dia bahkan belum bisa memastikan berapa kebutuhan lahan, konsep pembuatan, dan berapa anggaran yang dibutuhkan.
Adanya penghematan anggaran kegiatan sebesar 15% per SKPD menjadi penyebab utama. Seperti yang diketahui, Wali Kota Balikpapan mengeluarkan surat edaran terkait penghematan itu sebagai akibat dari belum turunnya dana bagi hasil untuk Balikpapan sekitar Rp284 miliar.
“Rencana ini harus ditunda dulu, karena ada penghematan anggaran,” pungkas Tirta
Perluasan kilang pengolahan minyak di Balikpapan memunculkan asa baru. Sejumlah media memberitakan perluasan kilang membutuhkan tenaga keja sekira 25.000 orang. Namun Wakil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud kurang meyakini serapan tenaga kerja akan sebanyak itu. “Saya kurang yakin, perkiraan saya hanya sekitar 4.000-an orang saja,” ujarnya.
Kecemasan pun muncul di benak pendamping baru Rizal Effendi tersebut. Yakni tenaga kerja yang terserap akan didominasi pendatang dari luar daerah. Karenanya, ia meminta agar Pertamina memiliki komitmen dan memprioritaskan warga ber-KTP Balikpapan sebagai pengisi lapangan kerja baru tersebut.
Sejumlah megaproyek telah direntang oleh Pemkot Balikpapan. Jika proyek coastal road sudah berjalan, mungkin akan melancarkan arus uang ke kas Pemkot Balikpapan. Dengan semacam faktor x, atau katakanlah faktor keberuntungan pemimpin baru Rizal-Rahmad, mudah-mudahan problem sosial bisa teratasi dan Balikpapan tetap berfungsi sebagai pintu depan Kalimantan Timur.
a) Analisis Faktor Penyebab
Urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta, juga terjadi di kota besar lainnya di Indonesia, yaitu Balikpapan. Hal ini dibuktikan secara konkret dalam kasus yang berjudul “Masalah Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial” yang membuktikan bahwa urbanisasi juga telah menjadi agenda tahunan bagi wilayah Kalimantan.
Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu perkembangan daerah perkotaan melalui sektor industri dan perdagangan, serta keinginan untuk memperoleh penghasilan. Proses urbanisasi terjadi akibat kebijakan dan peraturan di daerah perkotaan, terutama bidang ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah kota. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk terhadap kegiatan akan menyebabkan semakin besarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan permasalahan pada daerah perkotaan.
b) Pengaruh Langsung Terhadap Komunitas Lokal
Berdasarkan kasus “Masalah Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial” pengaruh dari urbanisasi juga memiliki beberapa persamaan dengan kasus “Urbanisasi Masa ke Masa”, antara lain meningkatkan kawasan kumuh di perkotaan, kemiskinan karena meningkatnya PHK, kemacetan, naiknya tingkat kejahatan. Dan disiplin sosial yang semakin rendah, menyebabkan kecemasan baru disebagian kalangan akibat kalah bersaing lantaran gagalnya pemeretaan pembangunan.
Dalam kasus urbanisasi di Balikpapan, peningkatan masalah sosial sudah tidak dapat dipungkiri lagi akan terjadi di kota tersebut. Bahkan, Human Trafficking atau perdagangan manusia telah menjadi pengaruh yang paling parah terhadap komunitas lokal di Kalimantan, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya anak baru gede (ABG) yang menjual diri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi..
C. Solusi
Masalah urbanisasi membawa dampak dan akibat yang meluas dalam aspek kehidupan manusia. Mulai dari urbanisasi menyebabkan desa kehilangan potensial tenaga kerja muda hingga terhambatnya perekonomian desa karena dikendalikan kota. Di sisi lain, urbanisasi menyebabkan kepadatan penduduk yang meningkat, pengangguran semakin luas, meningkatnya kriminalitas, kemacetan, hingga bertambahnya daerah kumuh dan pencemaran. Adapun solusi mencegah urbanisasi agar tidak terjadi perpindahan penduduk desa ke kota, antara lain.
1. Mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan.
Alasan penduduk desa pindah ke kota karena menganggap gaji atau upah pekerjaan di kota relatif lebih tinggi. Mereka juga menganggap mencari pekerjaan dan penghasilan yang layak di kota jauh relatif mudah. Realitanya, hal ini tidak selamanya benar. Apabila perangkat daerah desa mampu menggalakkan potensi desa dengan mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan, maka kehidupan ekonomi di desa menjadi hal yang sanggat menggiurkan bagi masyarakat desa. Tentunya dengan bantuan modal (hibah), penciptaan jalur pemasaran, memudahkan fasilitas, dan memfasilitasi perdagangan lintas kabupaten, provinsi, bahkan nasional dari perangkat desa, akan meningkatkan orientasi daya pikir masyarakat desa untuk tetap menetap di desa dan mengembangkan desanya.
2. Menghidupkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan
Alasan masyarakat desa pindah ke kota karena sulitnya transportasi dan komunikasi di pedesaan. Aksesbilitas jalan di kota lebih mudah dibandingkan dengan pedesaan. Apalagi kesulitan transportasi dan komunikasi di pedesaan juga mempersulit kegiatan kehidupan sehari-hari di pedesaan. Untuk mencegah hal tersebut, maka perangkat desa atau pemerintah daerah dapat mengembangkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan.
3. Membangun perguruan tinggi berskala nasional di kabupaten/kotamadya
Salah satu alasan lain masyarakat kota pindah ke kota karena ingin menempuh pendidikan yang layak, khususnya di jenjang perguruan tinggi. Setelah tamat SMA/SMK, calon mahasiswa dari desa pindah ke kota untuk kuliah di universitas-universitas ternama di kota. Apabila, bupati atau walikota mampu memfasilitasi atau bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan tinggi agar membuat kampus berskala nasional di wilayah kabupaten/kotamadya, maka arus urbanisasi dapat diminimalisir dan dikendalikan.
4. Membangun wisata alam dan wahana hiburan khas pedesaan.
Industri wisata adalah bagian terpenting yang harus menjadi perhatian perangkat desa dan pemerintah kabupaten/kotamadya. Melalui pengembangan wisata alam dan wahana hiburan khas pedesaan, akan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan dalam sektor pariwisata. Desa-desa menjadi objek wisata para turis, yang hasilnya akan meningkatkan perekonomian desa dan membuat masyarakat akan menetap di pedesaan karena merasa nyaman terhadap desanya.
5. Mengupayakan pembangunan perumahan rakyat yang terjangkau.
Ketika perekonomian pedesaan semakin membaik karena dukungan pemerintah, maka masyarakat desa pasti menginginkan rumah tinggal yang semakin layak dan terjangkau harganya. Oleh karena itu, jika pemerintah dapat memberikan subsidi perumahan rakyat di pedesaan, maka arus urbanisasi dapat dikendalikan. Dalam hal ini, untuk hidup di tempat tinggal yang layak tidak harus pindah ke kota.
Sebagai calon penerus bangsa, generasi-generasi muda di Indonesia tentunya juga harus turut aktif dalam mencegah terjadinya urbanisasi. Menurut pandangan penulis sebagai bibit penerus bangsa, ada upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai pelajar untuk mencegah terjadinya urbanisasi, serta meminimalisir dampak urbanisasi, antara lain.
1. Kita sebagai penerus bangsa harus terus menerus mengasah pengetahuan dan keterampilan agar ketika terjadi urbanisasi, kualitas manusia dapat diimbangi dengan proses pembangunan di perkotaan yang sedang berjalan. Sehingga dapat meminimalisir pengaruh dari terjadinya urbanisasi.
2. Selalu ikut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan menjamin kualitas lingkungan hidup. Dari hal yang paling mudah adalah buang sampah pada tempatnya, sampai ikut bergotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal. Hal ini bertujuan agar meminimalisir untuk terbentuknya lingkungan kumuh di perkotaan akibat pengaruh dari urbanisasi.
3. Mengembangkan teknologi menengah bagi masyarakat desa. Sebagai pelajar, kita dapat memberikan inovasi-inovasi dalam mengembangkan teknologi menengah untuk masyarakat desa, yang dapat digunakan dalam mengembangkan industri padat karya dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa.
KESIMPULAN
Urbanisasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota. Urbanisasi sebagai dampak globalisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal telah menimbulkan permasalahan sosial di berbagai kota-kota besar di berbagai wilayah Indonesia, misalnya adalah Jakarta dan Kalimantan. Bagi kedua kota tersebut, urbanisasi telah menjadi agenda tahunan yang tidak dapat dihindari, begitu pula dengan pengaruhnya yang tidak dapat dihindari. Pengaruh yang didapat antara lain meningkatnya angka pengangguran, menurunkan disiplin sosial, meningkatnya angka kejahatan, Human Trafficking, kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan lalu lintas, dan terciptanya pemukiman kumuh di perkotaan. Pengaruh urbanisasi juga dirasakan oleh pedesaan, yaitu semakin berkurangnya pontensi mudah penerus desa dan menurunnya pertumbuhan perekonomian di desa. Hal ini tentunya harus dapat dicegah dengan partisipasi aktif berbagai kalangan, baik itu dari pemerintahan, masyarakat, dan lembaga sosial.
Urbanisasi
DAFTAR PUSTAKA
6. Taupan, Muhamad dan Ine Ariyani Suwita. 2018. Sosiologi untuk Siswa SMA/MA Kelas XII Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung : Yrama Widya.
Comments
Post a Comment