Skip to main content

Memahami Bentuk dan Perbedaan Perilaku Karyawan, serta Kesesuaian Individu dan Pekerjaan

Bentuk-Bentuk Perilaku Karyawan
Perilaku karyawan (employee behavior) adalah pola tindakan yang dilakukan oleh anggota suatu organisasi yang secara langsung ataupun tidak langsung memengaruhi efektivitas organisasi tersebut. Sebagian perilaku karyawan, disebut dengan perilaku kinerja, langsung berkontribusi pada produktivitas dan kinerja. Perilaku lainnya, disebut dengan kewarganegaraan organisasi, memberikan manfaat positif bagi organisasi tetapi secara tidak langsung. Perilaku kontraproduktif menjauhi kinerja dan merugikan organisasi. Ada berbagai macam jenis perilaku yang akan dibahas.
1. Perilaku Kinerja
Perilaku kinerja (performance behavior) adalah serangkaian perilaku terkait pekerjaan yang diharapkan dapat ditunjukkan oleh karyawan dalam organisasi. Pada dasarnya, ini adalah perilaku yang langsung disasar untuk menjalankan pekerjaan. Bagi beberapa pekerjaan, perilaku kinerja dapat didefinisikan secara sempit dan mudah diukur. Contoh, pekerjaan lini perakitan yang merakit dan memasang komponen produk memiliki perilaku kinerja yang lebih sedikit. Ia duduk di stasiun kerja selama jumlah jam yang ditentukan dan memasang komponen dengan benar. Kinerja ini dapat diukur secara kuantitatif dengan cara menghitung persentase komponen yang dipasang dengan tepat. Berbeda dengan seorang peneliti riset, ia bekerja di laboratorium untuk mencari penemuan sains baru yang memiliki potensi. Namun, sekalipun dengan seluruh upaya, kemampuan, intuisi, dan kreativitas, penemuan bisa saja memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
2. Kewargaan Organisasi
Karyawan juga dapat melibatkan diri dalam perilaku positif yang tidak secara langsung berkontribusi pada laba perusahaan. Perilaku demikian seringkali disebut dengan kewargaan organisasi (organizational citizenship). Kewargaan organisasi ini mengacu pada perilaku individu yang memberikan kontribusi positif secara keseluruhan bagi organisasi. Misalnya, karyawan yang menghasilkan kualitas dan kuantitas yang baik, menolak bekerja lembur, tidak membantu karyawan baru dalam beradaptasi, dan enggan memberikan kontribusi lain di luar deskripsi pekerjaannya. Individu ini mungkin tidak dipandang sebagai warga organisasi yang baik. Karyawan lain mungkin menunjukkan kinerja yang tidak begitu baik, namun ia selalu bekerja lembur jika diminta, meluangkan waktu untuk membantu karyawan baru, serta memiliki sifat membantu dan berkomitmen pada kesuksesan organisasi. Individu demikian akan dipandang sebagai warga organisasi yang lebih baik. Sejumlah faktor, termasuk individu, sosial, dan organisasi, memainkan peranan dalam mendorong perilaku kewargaan organisasi.
3. Perilaku Kontraproduktif
Perilaku terkait pekerjaan lainnya bersifat kontraproduktif. Perilaku kontraproduktif (counterproductive behaviors) adalah perilaku yang menjauhkan individu, alih-alih berkontribusi pada kinerja organisasi. Ketidakhadiran (absenteeism) terjadi ketika seorang karyawan tidak hadir untuk bekerja. Sebagian ketidakhadiran dengan alasan yang sah atau tidak, tindakan demikian merugikan perusahaan secara langsung.
Perputaran karyawan (turnover) terjadi ketika orang-orang keluar dari pekerjaan. Suatu organisasi biasanya menanggung kerugian atas penggantian karyawan yang keluar, kehilangan produktivitas sambil mencari pengganti, melatih karyawan baru, dan sebagainya. Perputaran karyawan terjadi karena sejumlah faktor, antara lain aspek-aspek pekerjaan, organisasi, individu itu sendiri, pasar tenaga kerja, dan pengaruh keluarga. Ada perputaran karyawan yang tidak memberikan kerugian bagi bisnis, tetapi ketika karyawan produktif meninggalkan organisasi, hal ini mencerminkan perilaku kontraproduktif. Bentuk-bentuk perilaku kontraproduktif lain mungkin lebih menimbulkan kerugian bagi organisasi, misalnya pencurian, sabotase, pelecehan seksual, rasial, agresi, dan kekerasan di tempat kerja.

Perbedaan Individu Antarkaryawan
Perbedaan Individu (individual differences) adalah atribut pribadi yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Perbedaan individu bisa berbentuk perbedaan fisik, psikologis, dan emosional. 
1. Kepribadian dalam Kehidupan Dunia Nyata
Kepribadian (personality) adalah serangkaian atribut psikologis yang relatif stabil yang membedakan satu individu dengan individu lain. Beberapa tahun terakhir, peneliti telah mengidentifikasikan lima sifat dasar yang sangat relevan bagi organisasi. Kelima sifat dasar ini biasanya disebut dengan "lima besar" sifat kepribadian. 
  • Kesetujuan (agreeableness) adalah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Seseorang dengan tingkat kesetujuan yang tinggi bersifat ramah, kooperatif, pemaaf, memahami, dan bersikap tenang saat berhadapan dengan orang lain. Seseorang dengan tingkat kesetujuan yang rendah sering kali bersifat pemberang, lekas marah, kurang kooperatif, dan biasanya menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang lain.
  • Pengaturan diri (conscientiousness) dalam konteks ini merujuk pada kegigihan, sifat mudah diandalkan, dan keteraturan seseorang. Individu dengan tingkat pengaturan diri yang tinggi cenderung berfokus pada segelintir tugas dalam satu waktu; sehingga mereka cenderung lebih rapi, sistematis, cermat, teliti, bertanggungjawab, dan memiliki disiplin diri. Individu yang kurang memiliki pengaturan diri cenderung mengerjakan banyak dalam satu waktu; akibatnya, mereka kurang begitu rapi dan kurang bertanggungjawab, juga kurang teliti serta kurang memiliki disiplin diri. 
  • Emosionalitas (Emotionality) mengacu pada derajat kecenderungan seseorang memiliki pandangan dan perilaku positif atau negatif terhadap orang lain. Individu dengan emosionalitas positif relatif lebih siap, tenang, tabah, dan teguh pendirian; individu denagn emosionalitas negatif lebih mudah tersulut, curiga, reaktif, dan suasana hatinya mudah berubah-ubah. Individu dengan emosionalitas positif cenderung menghadapi stress pekerjaan, tekanan, dan ketegangan secara lebih baik.
  • Ekstraversi (extraversion) keterbukaan terhadap lingkungan sosial dan fisik mengacu pada tingkat kenyamanan individu terhadap hubungan. ekstrovert adalah individu yang pandai bergaul, banyak bicara, asertif, dan terbuka dalam menjalin hubungan baru. Introvert kurang supel, tidak banyak bicara, dan kurang asertif serta kurang begitu berminat untuk memulai hubungan baru. Ekstrovert cenderung menjadi penghasil kinerja yang lebih tinggi secara keseluruhan ketimbang introvert dan lebih tertarik pada pekerjaan yang mengandalkan hubungan personal, seperti tenaga penjualan dan pemasaran.
  • Keterbukaan (openness) mencerminkan seberapa luwes atau kakunya seseorang dalam hal keyakinannya. Orang-orang dengan keterbukaan yang tinggi cenderung memiliki rasa keingintahuan tinggi dan bersedia menerima ide-ide baru dan mengubah ide-ide, keyakinan, dan sikap mereka dalam merespons informasi baru. Orang-orang dengan keterbukaan yang rendah cenderung kurang reseptif terhadap ide-ide baru dan kurang bersedia untuk mengubah pola pikir mereka. Orang-orang dengan keterbukaan terhadap pengalaman yang lebih besar sering kali menjadi penghasil kinerja yang lebih baik karena fleksibilitas mereka dan kemungkinan lebih bisa diterima oleh orang lain dalam organisasi.
2. Kerangka Pemikiran Myers-Briggs
Pendekatan menarik lainnya untuk memahami kepribadian dalam organisasi adalah kerangka pemikiran Myers-Briggs. Kerangka pemikiran ini, didasarkan pada karya klasik Carl Jung, membedakan orang-orang berdasarkan empat dimensi. Dimensi-dimensi ini antara lain.
  • Ekstraversi (E) versus Introversi (I). Ekstrovert memperoleh energi ketika berkumpul bersama orang-orang, sedangkan introvert mudah jenuh dengan orang lain dan membutuhkan kesendirian untuk mengisi kembali energi mereka.
  • Pengindera/Sensing (S) versus Intuisi (N). Tipe pengindera lebih menyukai hal-hal konkret, sedangkan intuitif lebih menyukai konsep abstrak. 
  • Memikirkan (T) versus Merasakan (F). Individu yang pemikir lebih mendasarkan keputusan mereka pada logika dan akal, sedangkan individu yang perasa lebih mendasarkan keputusan pada perasaan dan emosi.
  • Menilai (J) versus Memahami (P). Orang-orang yang penilai menikmati hal-hal yang rampung atau tujuan yang tercapai, sedangkan mereka yang pemaham lebih menikmati proses dan situasi yang tidak bisa diduga hasilnya.
Indikator Tipe Myers-Briggs (Myers-Briggs Type Indicator-MBTI) adalah kusioner yang sering digunakan oleh organisasi untuk menilai jenis kepribadian. MBTI merupakan salah satu instrumen penilai yang paling jamak digunakan saat ini, dengan dua juta orang mengisi kusioner tersebut setiap tahunnya. Penelitian membuktikan bahwa MBTI merupakan metode yang berguna untuk menentukan gaya komunikasi dan selera interaksi seseorang. Akan tetapi, dalam lingkup atribut kepribadian, validitas dan stabilitas MBTI masih dipertanyakan.
3. Kecerdasan Emosional
Konsep kecerdasan emosional telah dikenali beberapa tahun terakhir dan juga memberikan pengetahuan menarik mengenai kepribadian. Kecerdasan emosional (emotional quotient-EQ) mengacu pada derajat dimana orang-orang memiliki kesadaran diri, dapat mengelola emosi mereka, dapat memotivasi diri, menunjukkan empati bagi orang lain, dan memiliki keterampilan bersosialisasi. Dimensi-dimensi ini dapat digambarkan sebagai berikut.
  • Kesadaran diri mengacu pada kapasitas seseorang untuk menyadari apa yang mereka rasakan. Secara umum, kesadaran diri yang lebih tinggi memungkinkan seseorang untuk menuntun kehidupan dan perilakunya sendiri secara lebih efektif.
  • Mengelola emosi mengacu pada kapasitas seseorang untuk mengatasi kecemasan, rasa takut, dan kemarahan sehingga ketiga bentuk emosi ini tidak menganggu kegiatan individu tersebut.
  • Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang untuk tetap optimis dan selalu berusaha keras kendati menghadapi hambatan, tantangan, dan kegagalan.
  • Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami perasaan yang dialami orang lain tanpa harus diberitahukan.
  • Keterampilan bersosialisasi membantu orang-orang untuk bergaul dengan orang lain dan menjalin hubungan yang positif.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orang-orang dengan EQ tinggi memiliki kinerja yang lebih baik ketimbang mereka yang tidak, terutama dalam pekerjaan yang menutut interaksi personal yang tinggi (misalnya spesialis hubungan masyarakat) atau yang melibatkan pengaruh atau arahan dalam menuntun pekerjaan orang lain (misalnya manajer proyek). Terlebih lagi, EQ sepertinya bukan sesuatu yang diturunkan melainkan dapat dikembangkan.
4. Sifat Kepribadian Lainnya dalam Lingkungan Kerja
Selain model-odel kepribadian kompleks di atas, beberapa sifat kepribadian spesifik lain juga dapat memengaruhi perilaku dalam organisasi. Di antara yang paling penting antara lain adalah lokus kendali, efikasi diri, otoritarianisme, machiavellianisme, harga diri, dan kecenderungan mengambil risiko.
Lokus kendali (locus of control) adalah derajat sejauh mana orang-orang meyakini bahwa perilaku mereka memiliki dampak riil terhadap apa yang terjadi pada diri mereka. Sebagian orang, misalnya percaya bahwa jika mereka bekerja keras, maka sukses pun diraih. Orang-orang yang percaya bahwa individiu memiliki kendali atas hidupnya sendiri dikatakan memiliki lokus kendali internal. Orang lain menganggap kekuatan di luar kendali mereka mengendalikan apa yang terjadi pada diri mereka dikatakan memiliki lokus kendali eksternal. Sebagai contoh, seorang karyawan yang gagal mendapatkan promosi mungkin menganggap kegagalannya itu akibat atasan yang memiliki motif politis atau sedang tertimpa kesialan, ketimbang menganggap kemampuan yang kurang.
Efikasi diri (self-efficacy) seseorang adalah keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk menjalankan tugas. Orang-orang dengan efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka dapat menjalankan suatu tugas dengan baik, sedangkan orang-orang dengan efikasi diri rendah cenderung meragukan kemampuan mereka untuk menjalankan suatu tugas. Bersama dengan kepribadian yang dimiliki, penilaian atas kemampuan diri menciptakan efikasi diri. Keyakinan atas kemampuan diri untuk mengerjakan sesuatu secara efektif menimbulkan rasa yakin pada dirinya dan lebih mampu berfokus pada kinerja seseorang dalam menjalankan tugas.
Otoritarianisme (authoritarianism), yakni derajat sejauh mana seseorang meyakini bahwa perbedaan kekuasaan dan status bisa dibenarkan dalam hierarki sistem sosial seperti organisasi. Sebagai contoh, seseorang yang sangat otoriter mungkin lebih menerima arahan atau perintah dari atasannya. Di sisi lain, seseorang yang kurang otoriter, meskipun masih menjalankan arahan dari atasan, cenderung mempertanyakan berbagai hal, menunjukkan rasa ketidaksetujuan dengan atasan, dan bahkan menolak menjalankan perintah apabila memang tidak bisa dibenarkan.
Machiavellianisme (Machiavellianism) merupakan konsep yang dinamai dari seorang penulis abad ke-16 bernama Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya The Prince, Machiavelli menjelaskan bagaimana golongan ningrat dapat lebih mudah memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Istilah Machiavellianisme sekarang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang mengarah pada perolehan kekuasaan dan kecenderungan mengendalikan perilaku orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa derajat Machiavellianisme berbeda-beda antarindividu. Individu yang cenderung Machiavellian lebih rasional dan tidak mudah terbawa emosi, bersedia berbohong demi mencapai tujuannya, tidak mengutamakan loyalitas dan pertemanan, dan senang memanipulasi perilaku orang lain. Individu yang kurang Machiavellian lebih mudah terbawa emosi, enggan berbohong demi mencapai tujuannya, menjunjung loyalitas dan pertemanan, dan kurang suka memanipulasi perilaku orang lain.
Harga diri (self-esteem) adalah derajat sejauh mana seseorang meyakini bahwa dirinya adalah individu yang berharga dan pantas diperhitungkan. Seseorang dengan rasa harga diri yang tinggi cenderung mencari pekerjaan berstatus tinggi, lebih percaya diri akan kemampuannya untuk meraih kinerja yang lebih baik, dan memperoleh kemampuan intrinsik dari pencapaiannya. Sebaliknya, seseorang dengan rasa harga diri yang rendah mungkin cukup puas dengan pekerjaan bertingkat rendah, kurang percaya diri akan kemampuannya, dan lebih berfokus pada imbalan ekstrinsik (bersifat berwujud dan bisa diamati, seperti gaji, promosi pekerjaan, dan sebagainya).
Kecenderungan mengambil risiko (risk propensity) adalah derajat sejuah mana seseorang bersedia mengambil peluang dan membuat keputusan berisiko.  Manajer dengan kecenderungan mengambil resiko yang tinggi, misalnya mungkin suka bereksperimen dengan ide-ide baru dan bertaruh atas produk baru. Manajer demikian juga mungkin memimpin organisasi dengan arahan baru dan berbeda. Manajer seperti ini menjadi pemantik inovasi atau, jika keputusan berisiko yang diambil ternyata berujung kurang bagus, dapat membahayakan keberadaan organisasi tersebut. Manajer dengan kecenderungan mengambil risiko yang rendah mungkin akan membawa organisasi ke dalam stagnasi dan konservatisme berlebihan atau membantu organisasi bertahan selama masa-masa sulit dan tidak terduga dengan cara mempertahankan stabilitas dan ketenangan. Dengan demikian, potensi konsekuensi kecenderungan mengambil risiko yang dimiliki seorang manajer sangat bergantung pada lingkungan organisasinya.
5. Sikap di Lingkungan Kerja
Sikap individu juga memengaruhi perilaku seseorang dalam organisasi. Sikap (attitudes) mencerminkan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai ide-ide tertentu, situasi, atau individu lain. Sikap menjadi hal penting karena merupakan mekanisme dan saluran tempat kita mengekspresikan perasaan. Misalnya, komentar seorang karyawan bahwa dirinya merasa kurang digaji mencerminkan perasaannya terhadap gaji yang diperoleh.
Bagaimana Sikap Terbentuk. Sikap dibentuk oleh berbagai kekuatan, antara lain nilai-nilai yang kita pegang, pengalaman kita, dan kepribadian kita. Sebagai contoh, jika kita menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, kita bisa membentuk sikap yang positif terhadap manajer yang kita yakini memiliki sifat jujur dan bermoral. Demikian sebaliknya. Salah satu dari "lima besar" atau sifat kepribadian individu juga dapat memengaruhi sikap kita. Memahami struktur dasar suatu sikap dapat membantu kita dalam melihat bagaimana sikap terbentuk dan dapat berubah.
Struktur Sikap. Sikap biasanya dipandang sebagai kecenderungan stabil untuk berperilaku terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Atas sejumlah alasan, seseorang bisa saja memutuskan bahwa dia tidak menyukai tokoh politik tertentu atau restoran tertentu (sebuah disposisi). Kita dapat memperkirakan bahwa orang tersebut menunjukkan opini negatif yang konsisten terhadap salah seorang tokoh politik atau restoran dan demi mempertahankan niat yang konsisten dan dapat diduga ini, maka individu tersebut tidak memilih kandidat atau enggan makan di restoran tersebut. Dalam pandangan ini, sikap memiliki tiga komponen : (1) kognisi, (2) afek, dan (3) intensi.
(1) Kognisi (cognition) adalah pengetahuan yang dipegang seseorang mengenai sesuatu. Anda mungkin percaya bahwa diri Anda menyukai mata kuliah tertentu karena buku teksnya menarik, kelas tersebut sesuai dengan waktu Anda, dosen yang tidak membosankan, dan tugas yang ringan. "Pengetahuan" ini bisa saja benar, sebagian benar, atau benar-benar salah. Kognisi didasarkan pada persepsi akan kebenaran dan realitas, dan persepsi sejalan dengan realitas pada kadar yang berbeda-beda.
(2) Afek (affect) seseorang adalah perasaan individu mengenai suatu hal. Dalam banyak cara, afek serupa dengan emosi; sesuatu yang kurang atau tidak dapat kita kendalikan secara sadar. Sebagai contoh, sebagian orang-orang bereaksi terhadap beberapa kata seperti cinta, benci, seks, dan perang dengan cara yang mencerminkan perasaan mereka masing-masing terhadap makna yang disampaikan kata-kata tersebut.
(3) Intensi (intention) memandu perilaku seseorang. Jika Anda menyukai dosen pengajar, Anda mungkin berniat untuk mengikuti kelasnya yang lain di semester berikutnya. Intensi tidak selalu ditafsirkan sebagai perilaku aktual. Jika mata kuliah dosen tersebut di semester berikutnya dijadwalkan jam 8 pagi, Anda mungkin memutuskan bahwa dosen lain juga sama baiknya. Sebagian sikap, dan intensi terkaitnya, bersifat sangat sentral dan penting bagi seseorang ketimbang orang lain. Anda mungkin berniat untuk melakukan satu hal (mengambil mata kuliah tertentu) tetapi kemudian mengubah intensi Anda karena adanya sikap yang lebih penting dan sentral (ingin begadang).
Disonansi Kognitif. Ketika dua bentuk kognisi atau persepsi saling bertolak belakang atau inkongruen, seseorang mengalami bentuk konflik dan kecemasan yang disebut disonansi kognitif (cognitive dissonance). Disonansi kognitif juga terjadi ketika orang-orang berperilaku dalam cara yang tidak sejalan dengan sikapnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyadari bahwa merokok dan makan berlebihan membahayakan kesehatan tetapi tetap saja melakukan keduanya. Karena sikap dan perilaku tidak konsisten satu sama lain, individu ini mungkin akan mengalami ketegangan dan ketidaknyamanan tertentu serta bisa saja mengurangi perasaan ini dengan cara mengubah sikap, mengubah perilaku, atau secara perspektif mengubah situasinya. Sebagai contoh, disonansi terkait dengan makan berlebih mungkin diatasi dengan cara terus-menerus berniat melakukan diet "minggu depan". Disonansi kognitif memengaruhi individu dengan beragam cara. Kita sering menemui situasi dimana sikap kita bertentangan dengan sikap lain atau dengan perilaku kita sendiri. Dalam lingkup organisasi, orang-orang yang berniat untuk keluar dari organisasi mungkin bertanya-tanya mengapa mereka harus tetap bekerja di sana dan bekerja keras. Akibat disonansi ini, mereka bisa menyimpulkan bahwa perusahaan ini tidak seburuk yang diperkirakan, bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain, atau mereka akan keluar dari organisasi "sesegera mungkin".

Sikap Utama yang Berkaitan dengan Pekerjaan. Orang-orang di dalam suatu organisasi membentuk sikap terhadap beragam hal. Karyawan cenderung memiliki sikap mengenai gaji yang diterima, kemungkinan dipromosikan, atasan mereka, tunjangan karyawan, dan sebagainya. Sikap-sikap yang penting antara lain kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
(1) Kepuasan kerja (job satisfaction) mencerminkan derajat sejauh mana orang-orang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka. (Sebagian orang menggunakan istilah moral alih-alih kepuasan kerja). Karyawan yang puas cenderung tidak banyak absen, menjadi warga organisasi yang baik, dan loyal terhadap organisasi. Karyawan yang kurang puas mungkin lebih banyak absen, mengalami stres yang mengganggu rekan kerja, dan senantiasa mencari pekerjaan lain. Tetapi, kontras dengan apa yang diyakini oleh banyak manajer, kepuasan kerja yang tinggi tidak serta merta menghasilkan produktivitas yang tinggi.
(2) Komitmen organisasi (organizational commitment), terkadang disebut juga komitmen kerja, mencerminkan identifikasi seseorang dengan organisasi dan misi perusahaan. Individu yang sangat berkomitmen mungkin memandang dirinya sebagai anggota sejati perusahaan (sebagai contoh, menyebutkan organisasi dengan istilah personal, "kami membuat produk berkualitas"), tidak menghiraukan sumber-sumber ketidakpuasan yang kurang penting, dan memandang dirinya sebagai anggota tetap organisasi. Individu yang kurang berkomitmen cenderung memandang dirinya sebagai orang luar (misalnya menyebutkan organisasi dengan istilah yang kurang personal, "mereka tidak menggaji karyawan dengan baik"), menunjukkan lebih banyak ketidakpuasan mengenai berbagai hal, dan tidak memandang dirinya sebagai anggota tetap organisasi tersebut.
Ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan manajer untuk mendorong kepuasan dan komitmen. Satu hal, apabila organisasi memperlakukan karyawan secara adil dan memberikan imbalan dan jaminan kerja yang layak, karyawan cenderung merasa puas dan berkomitmen. Membiarkan karyawan untuk menyuarakan kondisi perusahaan juga dapat mendorong sikap seperti ini. Merancang pekerjaan sehingga terlihat menarik bisa menambah kepuasan dan komitmen. Unsur kunci lain adalah memahami dan menghargai kontrak psikologis.

6. Mencocokkan Pekerjaan dan Individu
Dengan beragam perbedaan individu dan beragam bentuk perilaku karyawan yang dapat terjadi dalam satu organisasi, tidak heran apaila manajer selalu ingin mencocokkan antara individu dengan pekerjaan yang mereka jalankan. Dua metode utama dalam memahami bagaimana pencocokan ini terjadi antara lain kontrak psikologis dan kesesuaian individu-pekerjaan.
Kontrak Psikologis
Kontrak psikologis (psychological contract) adalah serangkaian ekspetasi yang dimiliki oleh karyawan dan organisasi terkait dengan apa yang karyawan akan berikan bagi organisasi dan apa yang organisasi berikan sebagai imbalannya. Tidak seperti kontrak bisnis, kontrak psikologis tidak tertulis dan tidak seluruh ketentuannya dinegosiasikan secara eksplisit.
Peraga 8.2 menggambarkan sifat dasar kontrak psikologis. Seseorang menghasilkan beragam kontribusi bagi organisasi seperti usaha, kemampuan, loyalitas, keterampilan, dan waktu. Berbagai kontribusi ini memenuhi kewajiban mereka dalam kontrak tersebut. Sebagai contoh, Jill Henderson, manajer cabang di Merrill Lynch, menggunakan pengentahuannya tentang pasar keuangan dan peluang investasi untuk membantu kliennya membuat investasi yang menguntungkan. Gelar MBA-nya dalam bidang keuangan, bersama dengan kerja keras dan motivasinya, telah menjadikan Jill sebagai salah satu manajer muda yang paling menjanjikan. Perusahaan percaya bahwa Jill memiliki atribut-atribut tersebut ketika merekrutnya dan berharap dirinya bisa bekerja dengan baik.
Dalam memberikan imbalan atas kontribusi ini, organisasi menyediakan insentif bagi individu tersebut. Insentif ini memenuhi kewajiban organisasi dalam kontrak psikologis tersebut. Sebagian insentif, misalnya gaji dan peluang berkarier, adalah imbalan berwujud. Insentif lain, seperti status dan jaminan kerja, lebih bersifat tak berwujud. Henderson memulai kariernya di Merrill Lynch dengan gaji yang kompetitif dan telah menerima kenaikan gaji setiap tahun selama enam tahun bekerja di perusahaan tersebut. Ia juga telah dipromosikan dua kali dan berharap mendapatkan promosi lagi di masa mendatang.
Dalam kasus ini, baik Henderson dan Merrill Lynch memandang bahwa kontrak psikologis di antara kedua pihak cukup wajar dan adil. Keduanya puas dengan hubungan ini dan akan berupaya mempertahankannya. Henderson sepertinya akan terus bekerja keras dan bekerja dengan efektif, dan Merrill Lynch akan terus menaikkan gajinya dan memberikan promosi jabatan. Akan tetapi, dalam situasi lain, banyak hal bisa saja tidak berjalan mulus. Jika salah satu dari kedua pihak ini melihat adanya ketidakadilan dalam kontrak, pihak tersebut dapat memulai suatu perubahan. Karyawan tersebut bisa saja meminta kenaikan gaji atau promosi, tetapi mungkin tidak akan memberikan upaya keras, atau mencari pekerjaan di tempat lain. Organisasi pun dapat memulai perubahan dengan cara memberikan pelatihan bagi karyawan tersebut untuk meningkatkan kemampuannya, mengalihkannya ke pekerjaan lain atau memecatnya
Semua organisasi menghadapi tantangan mendasar dalam mengelola kontrak psikologis. Mereka menginginkan nilai yang dihasilkan dari karyawan, dan mereka perlu memberikan insentif yang tepat bagi karyawan. Sebagai contoh, karyawan yang merasa gajinya kurang mungkin akan bekerja seadanya atau keluar mencari pekerjaan lain. Demikian juga, seorang karyawan bisa saja mulai mencuri dari perusahaan sebagai cara untuk menyeimbangkan kontrak psikologis.
Tren penciutan usaha dan penghematan yang terjadi belakangan ini makin menjadikan proses mengelola kontrak psikologis lebih rumit. Sebagai contoh, banyak organisasi dulungan memberikan jaminan kerja permanen sebagai insentif dasar bagi karyawan. Namun, saat ini jaminan kerja permanen tidak lagi menjadi insentif yang menarik sehingga insentif lain diperlukan. Di antara beragam jenis insentif baru ini, sebagian perusahaan memberikan peluang pelatihan tambahan dan fleksibilitas lebih besar dalam jadwal kerja.
Kesesuaian Individu-Pekerjaan
Kesesuaian individu-pekerjaan (person-job fit) mengacu pada derajat sejauh mana kontribusi seseorang dan insentif dari organisasi cocok satu sama lain. Kesesuaian individu-pekerjaan yang baik memiliki keseimbangan antara kontribusi yang dihasilkan individu dan insentif yang diberikan organisasi. Dalam teorinya, setiap karyawan memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi dan serangkaian perilaku terkait pekerjaan dan kemampuan untuk dikontribusikan. Apabila organisasi dapat memberdayakan perilaku dan kebutuhan ini serta memenuhi secara tepat kebutuhan karyawan tersebut, maka organisasi ini akan mencapai kesesuaian individu-pekerjaan yang sempurna. Kesesuaian individu-pekerjaan yang baik pada gilirannya akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dan sikap yang lebih positif. Kesesuaian individu-pekerjaan yang kurang baik akan menghasilkan sebaliknya.

Comments

  1. Did you know there's a 12 word phrase you can speak to your man... that will trigger intense feelings of love and instinctual attraction for you deep inside his heart?

    That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, idolize and care for you with his entire heart...

    12 Words Will Trigger A Man's Desire Instinct

    This impulse is so hardwired into a man's genetics that it will drive him to work better than ever before to take care of you.

    As a matter of fact, triggering this mighty impulse is absolutely important to achieving the best ever relationship with your man that the instance you send your man one of these "Secret Signals"...

    ...You'll soon notice him open his heart and mind to you in such a way he's never expressed before and he will recognize you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly appealed to him.

    ReplyDelete

Post a Comment

Iklan Ad

Popular posts from this blog

Menghitung Persediaan dengan Metode LCNRV (Lower-Cost-Net-Realizable-Value)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA PEROLEHAN ATAU NILAI REALISASI NETO (LCNRV) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan. Namun, jika persediaan turun nilainya sampai ke tingkat di bawah biaya aslinya, maka prinsip biaya historis menjadi tidak relevan. Apapun alasan untuk penurunan nilai tersebut, baik itu usang, perubahan tingkat harga, atau rusak, perusahaan harus menurunkan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto untuk melaporkan kerugian ini. Perusahaan meninggalkan prinsip biaya historis ketika utilitas masa depan (kemampuan menghasilkan pendapatan) dari aset turun di bawah biaya aslinya. Nilai Realisasi Neto Ingat bahwa biaya adalah harga perolehan persediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu metode berbasis biaya historis. Nilai realisasi neto ( net realizable value /NRV) mengacu pada jumlah neto yang diharapkan oleh perusahaan untuk direalisasi dari penjualan persediaan. Secara khusus, nilai realisasi neto adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan bisnis bi...

Urbanisasi Sebagai Dampak Globalisasi Terhadap Perubahan Sosial di Komunitas Lokal

A.  LATAR BELAKANG Globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.  Masyarakat dapat menjangkau satu dengan yang lain dalam segala aspek kehidupan didukung oleh kemajuan IPTEK dan keterbukaan sistem perekonomian negara yang mempercepat akselerasi globalisasi. Keterbukaan sistem perekonomian negara dipicu oleh adanya liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini mengakibatkan masyarakat di berbagai dunia dapat menikmati hasil produksi dari negara lain, seperti makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, keterbukaan sistem perekonomian ini juga meningkatkan aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan multinasional. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia merasakan dampak dari adanya globalisasi pada aspek ekonomi tersebut, baik dari segi produksi, pembiayaan, te...

Hubungan antara Renaisans, Aufklarung, dan Reformasi Gereja

Hubungan antara Renaisans, Aufklarung, dan Reformasi Gereja 1.  Renaisans ( Renaissance ) 1.1 Arti Renaissance Renaissance  dari bidang ilmu Etimologi, istilah Renaisans atau Renaissance  berasal dari bahasa Latin “renaitre” yang berarti “hidup kembali” atau “lahir kembali”. Renaissance  adalah menyangkut kelahiran atau hidupnya kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi dalam kehidupan masyarakat Barat. Renaissance  juga dapat diartikan sebagai suatu periode sejarah dimana perkembangan kebudayaan Barat memasuki babak baru dalam semua aspek kehidupan yang mencakup ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sistem kepercayaan, sistem politik, dan lain sebagainya. Kata Renaissance  pertama kali digunakan oleh Jules Michelet pada karyanya yang berjudul “History of France”. Jules Michelet membedakan antara masyarakat Renaissance  dengan masyarakat abad pertengahan adalah pada penafsiran pelaksanaan agama dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam buku...