Skip to main content

Budaya Politik : Pengertian, Tipe-Tipe, dan Sosialisasi Pengembangan

Pengertian Budaya Politik
Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika Serikat, yaitu Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Hasil penelitian tersebut dituangkan di dalam buku mereka yang berjudul Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5.000 responden yang tersebar di lima negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.
Budaya politik merupakan perwujudan nilai-nilai politik yang dianut oleh sekelompok masyarakat, bangsa, atau negara yang diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas politik kenegaraan. Beberapa pendapat ahli tentang budaya politik adalah sebagai berikut.
1. Gabriel A. Almond dan Sidney Verba
Kedua ahli ini mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dengan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem itu (1963: 13).
2. Rusadi Kantaprawira
Adapun Rusadi menyatakan bahwa budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik (1988: 25).
3. Samuel Beer
Menurut Samuel Beer, budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah (1967: 25).
4. Mochtar Masoed dan Collin MacAndrews
Masoed dan MacAndrews mengemukakan bahwa budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya (1986: 41).
5. Larry Diamond
Diamond menyatakan bawah budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu (2003: 207).
6. Almond dan Powell
Almond dan Powell mengungkapkan bahwa budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok dalam masyarakat (1966: 23).
Dari beberapa pengertian mengenai budaya politik di atas, maka dapat diamati bahwa budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku individu atau masyarakat terhadap sistem politik. Almond dan Verba mengungkapkan bahwa masyarakat mengidentifikasikan diri mereka terhadap simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang dimilikinya. Dengan adanya orientasi
tersebut, maka masyarakat memiliki dan mempertanyakan tempat dan peranan mereka dalam sistem politik. Hal ini selaras dengan salah satu makna dari budaya politik itu sendiri, yaitu orientasi masyarakat terhadap objek politik.
Adapun yang dimaksud dengan objek politik adalah hal yang dijadikan sasaran dari orientasi masyarakat. Objek politik yang dijadikan sasaran tersebut meliputi tiga hal sebagai berikut.
1. Objek politik umum atau sistem politik secara keseluruhan, meliputi sejarah bangsa, simbol negara, wilayah negara, kekuasaan negara, konstitusi negara, lembaga-lembaga negara, pimpinan negara, dan hal lain dalam politik yang sifatnya umum.
2. Objek politik input, yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk proses input dalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik input ini, misalnya, partai politik, kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, pers, dukungan, dan tuntutan.
3. Objek politik output, yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk proses output dalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik output ini, misalnya, birokrasi, lembaga peradilan, kebijakan, putusan, undang-undang, dan peraturan.
Lebih jauh lagi Almond dan Powell menyatakan bahwa orientasi seseorang terhadap sistem politik dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif (dalam Larry Diamond, 2003: 207).
1. Orientasi kognitif
Orientasi kognitif meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik. Contoh yang berkaitan dengan aspek pengetahuan misalnya tingkat pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijakan yang mereka ambil atau simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya secara keseluruhan seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas negara, mata uang, dan lain-lain.
2. Orientasi afektif
Orientasi afektif menunjuk pada aspek perasaan atau ikatan emosional seseorang terhadap sistem politik. Seseorang mungkin memiliki perasaan khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu secara keseluruhan. Dalam hal ini, sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan hidup seseorang umumnya cenderung berpengaruh terhadap pembentukan perasaan seseorang tersebut.
3. Orientasi evaluatif
Orientasi evaluatif berkaitan dengan penilaian moral seseorang terhadap sistem politik. Selain itu, orientasi ini juga menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik (dengan menggunakan informasi dan perasaan) tentang kinerja sistem politik. Dalam hal ini, norma-norma yang dianut dan disepakati bersama menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap
sistem politik.
Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-kurangnya saling memengaruhi. Misalnya, seorang warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai, atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tentang suatu simbol politik, dapat membentuk
atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu.
Pada akhirnya, dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua manfaat, yaitu sebagai berikut.
1. Sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu.
2. Dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, dapat dimengerti maksud-maksud individu yang melakukan kegiatan sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik.

Tipe-tipe Budaya Politik
Budaya politik dalam kehidupan politik dan negara memerlukan sikap yang menunjukkan dukungan serta kesetiaan warganya kepada sistem politik dan kepada negara yang ada. Sikap ini harus dilandasi oleh nilai-nilai yang telah berkembang dalam diri warga masyarakat itu, baik secara individual maupun
kelompok. Berdasarkan sikap, nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki, Almond dan Verba menyatakan bahwa orientasi masyarakat terhadap budaya politik dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu budaya politik parokial, kaula, dan partisipan (1963: 22).
a. Budaya politik parokial
Budaya politik parokial biasanya terdapat pada sistem politik tradisional dan sederhana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil. Dengan demikian, pelaku-pelaku politik belum memiliki pengkhususan tugas. Masyarakat dengan budaya parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik termasuk melakukan perubahan-perubahan.
Selain itu, di Indonesia, unsur-unsur budaya lokal masih sangat melekat pada masyarakat tradisional atau masyarakat pedalaman. Pranata, tata nilai, dan unsur-unsur adat lebih banyak dipegang teguh daripada persoalan pembagian peran politik. Pemimpin adat atau kepala suku yang nota bene adalah pemimpin politik, dapat berfungsi pula sebagai pemimpin agama atau pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi.
b. Budaya politik kaula
Budaya politik kaula/subjek memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya. Namun, perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah adanya otoritas dari pemerintah. Posisi kaula/subjek tidak ikut menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk memengaruhi atau mengubah sistem.
Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan, rakyat memiliki keyakinan bahwa apa pun keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-ubah atau dikoreksi, apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi perintah, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan penguasa.
Latar belakang yang menyebabkan timbulnya sikap-sikap seperti ini adalah sebagai akibat dari proses kediktatoran/kolonialisme yang berkepanjangan.
c. Budaya politik partisipan
Biasanya, masyarakat yang memiliki budaya politik partisipan telah sadar bahwa betapapun kecilnya mereka dalam sistem politik, mereka tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dalam budaya
politik partisipan, masyarakat tidak begitu saja menerima keputusan politik, karena dirinya merasa sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik telah memiliki hak dan tanggung jawab. Partisipasi masyarakat diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan bagi mereka untuk menerima atau menolaknya.
Sementara itu, Masoed dan MacAndrews (1986: 42) menyatakan bahwa ada tiga model budaya politik berdasarkan proporsi ketiga tipe budaya politik yang telah disebutkan di atas. Ketiga model budaya politik tersebut sebagai berikut.
a. Sistem demokratis industrial
Dalam sistem ini jumlah partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa. Mereka terdiri atas para aktivis politik dan para peminat politik yang kritis mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan. Selain itu, mereka adalah kelompok-kelompok pendesak yang mengusulkan kebijakan-kebijakan baru untuk melindungi kepentingan khusus mereka. Sementara itu, jumlah yang berbudaya politik subjek kurang lebih 30%, sedangkan parokial kira-kira 10%.
b. Sistem politik otoriter
Dalam sistem ini sebagian besar rakyat hanya menjadi subjek yang pasif. Mereka mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Sebagian kecil rakyat lainnya berbudaya politik partisipan dan parokial. Kelompok partisipan berasal dari mahasiswa dan kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah. Mereka menentang dan bahkan memprotes sistem politik yang ada. Sementara, kaum parokial yang sedikit sekali kontaknya terhadap sistem politik terdiri dari para petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunan-perkebunan.
c. Sistem demokratis pra-industrial
Dalam sistem ini, sebagian besar warga negaranya menganut budaya politik parokial. Mereka hidup di pedesaan dan buta huruf. Pengetahuan dan keterlibatan mereka dalam kehidupan politik sangat kecil. Sementara itu, kelompok partisipan sangat sedikit jumlahnya, biasanya berasal dari kaum terpelajar, usahawan, dan tuan tanah. Demikian pula proporsi jumlah pendukung budaya politik subjek juga relatif kecil.

Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik
Kita dapat melihat bahwa banyak ilmuwan politik yang menemukan hakikat pengertian dan batasan sosialisasi politik yang satu dengan lainnya tak jauh berbeda. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Gabriel A. Almond (1974: 44)
Almond mengungkapkan bahwa sosialisasi politik menunjuk pada proses di mana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
2. Ramlan Surbakti (1992: 117)
Menurut Surbakti, sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.
3. Kenneth P. Langton (Haryanto, 1992: 36)
Langton menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah cara bagaimana masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya.
4. Richard E. Dawson (Haryanto, 1992: 37)
Dawson menyebutkan bahwa sosisalisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan politik dari orangtua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
Bertolak dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sosialisasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memasyarakatkan nilai-nilai atau budaya politik ke dalam suatu masyarakat.
Menurut Alfian (1993: 243), ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sosialisasi politik, yaitu sebagai berikut.
1. Sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus selama peserta itu hidup.
2. Sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses itu berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.
Beberapa definisi tersebut tampak memiliki kesamaan dan secara sama mengetengahkan segi pentingnya sosialisasi, yaitu sebagai berikut.
1. Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
2. Bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial dan baik secara eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
3. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, di mana pembelajaran tersebut diperoleh dari pengalaman/pola-pola aksi.
4. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas dan lebih khusus berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai), dan sikap-sikap.
Selain itu, sosialisasi politik juga bertujuan untuk memelihara sistem politik dan pemerintahan yang resmi. Apa jadinya suatu negara atau bangsa jika warga negaranya tidak tahu warna bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri, bahasa sendiri, ataupun pemerintah yang tengah memerintahnya sendiri? Mereka tentunya akan menjadi warga negara tanpa identitas.
Dalam melakukan kegiatan sosialisasi politik, Prof. Dr. Damsar (2010: 166-171) mengungkapkan, bahwa terdapat lima cara, yaitu sebagai berikut.
1. Imitasi
Peniruan (imitasi) merupakan mekanisme sosialisasi yang paling dikenal oleh umat manusia. Apa yang dikenal dan dipahami pertama kali dalam hidup seorang anak manusia didapatkan melalui proses peniruan. Proses peniruan merupakan suatu bentuk transmisi awal terhadap nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap, dan harapan, termasuk dalam aspek politik dari kehidupan kepada anak-anak oleh orang yang lebih dewasa, terutama orang tua dalam keluarga. Proses ini dikenal sebagai
sosialisasi primer, yaitu proses pembentukan identitas seorang anak menjadi pribadi atau diri (self).
2. Instruksi
Perintah (instruksi) merupakan penyampaian sesuatu yang berisi amar atau keputusan oleh orang atau pihak yang memiliki kekuasaan (ordinat) kepada orang yang tunduk atau dipengaruhi orang yang memiliki kekuasaan (subordinat) untuk dilaksanakan. Instruksi politik biasanya berlangsung pada institusi yang berkait dengan aspek politik dari kehidupan seperti negara dan partai politik.
3. Desiminasi
Desiminasi politik sering dilakukan oleh para anggota legislatif dan aparat birokrasi untuk memberitahu atau menyebarluaskan informasi tentang suatu agenda politik. Aparatur birokrasi, misalnya, melakukan desiminasi pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah melalui pertemuan tatap muka (seminar atau pelatihan), penyebaran pamflet, baliho, dan media massa seperti surat kabar, radio, dan televisi. Sedangkan anggota legislatif, misalnya, mendesiminasi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen ke berbagai unsur masyarakat di seluruh Indonesia. Desiminasi lebih bersifat penyebarluasan informasi politik, sehingga kelompok sasaran memiliki pengetahuan tentang apa yang didesiminasi.
4. Motivasi
Motivasi politik merupakan suatu mekanisme sosialisasi politik untuk membentuk sikap, kalau bisa pada tahap perilaku, seseorang atau kelompok orang tentang suatu nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap politik, dan harapan politik tertentu. Agen yang mampu melakukan motivasi adalah mereka yang memiliki suatu derajat kepercayaan tertentu terhadap orang atau kelompok orang yang dimotivasi seperti orang tua, pemimpin (formal dan informal), dan kelompok rujukan atau mereka yang memiliki keahlian dan kompetensi sebagai motivator seperti orator, konselor, konsultan, dan lainnya. Motivasi politik tidak hanya ditujukan untuk perubahan sikap tetapi juga perilaku seperti yang diharapkan.
5. Penataran
Pada masa Orde Baru dahulu, kita telah diperkenalkan dengan suatu mekanisme sosialisasi politik bernama penataran, yang dimasyhurkan dengan nama penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sesuai dengan namanya, penataran P4 merupakan suatu bentuk sosialisasi politik untuk menanamkan nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan Pancasila. Terdapat sekian butir tuntunan nilai, sikap, dan perilaku yang dipandang Pancasilais, ditatar dalam suatu pertemuan yang relatif panjang untuk diwujudkan atau diimplementasikan ke dalam sikap dan perilaku keseharian.
Berpijak pada pengertian sosialisasi politik dan cara-cara sosialisasi politik di atas, maka diperlukan sarana-sarana atau agen-agen sosialisasi politik sebagai sarana pendidikan politik. Sarana-sarana atau agen-agen sosialisasi politik tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Keluarga
Keluarga merupakan primary group dan agen sosialisasi utama yang membentuk karakter politik individu oleh sebab mereka adalah lembaga sosial yang paling dekat. Peran ayah, ibu, saudara, memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap pandangan politik satu individu. Tokoh Sukarno misalnya, mem-peroleh nilai-nilai penentangan terhadap Belanda melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunya, yang merupakan keluarga bangsawan Bali menceritakan kepahlawanan raja-raja Bali dalam menentang Belanda di saat mereka tengah berbicara. Cerita-cerita tersebut menumbuhkan kesadaran dan semangat Sukarno untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya yang terjajah oleh Belanda.
2. Sekolah
Sekolah sebagai suatu sarana sosialisasi politik sudah merupakan hal yang wajar. Sekolah memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuan tentang dunia politik dan peranan para generasi muda di dalamnya. Sekolah juga membangun kesadaran kepada anak didik mengenai pentingnya hidup bernegara dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan. Rasa setia kepada negara juga dapat dibangun dan ditumbuhkan dengan cara memberikan pemahaman tentang simbol-simbol negara, seperti lambang negara, bendera nasional, bahasa nasional, serta berbagai lagu kebangsaan dan perjuangan. Lebih jauh lagi, sekolah memberikan pandangan yang lebih konkret tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Siswa juga berlatih berorganisasi dan memimpin di sekolah. Hal-hal tersebut dapat menambah pengetahuan siswa terhadap dunia politik.
3. Peer group
Agen sosialisasi politik lainnya adalah peer group. Peer group masuk kategori agen sosialisasi politik
primary group. Peer group adalah teman-teman sebaya yang mengelilingi seorang individu. Apa yang
dilakukan oleh teman-teman sebaya tentu sangat memengaruhi beberapa tindakan individu di dalamnya. Tokoh semacam Mohammad Hatta banyak memiliki pandangan-pandangan yang sosialistik saat ia bergaul dengan teman-temannya di bangku kuliah di Negeri Belanda. Melalui kegiatannya dengan kawan sebaya tersebut, Hatta mampu mengeluarkan konsep koperasi sebagai lembaga ekonomi khas Indonesia di kemudian hari. Demikian pula pandangannya atas sistem politik demokrasi yang bersimpangan jalan dengan Sukarno di masa kemudian.
4. Media massa
Media massa merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Tidak perlu disebutkan lagi pengaruh media massa terhadap seorang individu. Berita-berita yang dikemas dalam media audio visual (televisi), surat kabat cetak, internet, ataupun radio, yang berisikan perilaku pemerintah ataupun partai politik banyak memengaruhi kita. Meskipun tidak memiliki kedalaman, tetapi media massa mampu menyita perhatian individu oleh sebab sifatnya yang terkadang menarik atau cenderung ‘berlebihan’.
5. Pemerintah
Pemerintah merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Pemerintah merupakan agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi politik. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang menjalankan sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah biasanya melibatkan diri dalam politik pendidikan, di mana beberapa mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan siswa kepada sistem politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya. Pemerintah, secara tidak langsung, melakukan sosialisasi politik melalui tindakannya itu. Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh dan memengaruhi budaya politiknya.
6. Partai politik
Partai politik adalah agen sosialisasi politik secondary group. Partai politik biasanya membawakan kepentingan nilai spesifik dari warga negara, seperti agama, kebudayaan, keadilan, nasionalisme, dan sejenisnya. Melalui partai politik dan kegiatannya, individu dapat mengetahui kegiatan politik di negara, pemimpin-pemimpin baru, dan kebijakan-kebijakan yang ada.



Daftar Pustaka

Yuliastuti, R., Wijianto, & Waluyo, B. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA/SMK Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional.

Comments

Iklan Ad

Popular posts from this blog

Menghitung Persediaan dengan Metode LCNRV (Lower-Cost-Net-Realizable-Value)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA PEROLEHAN ATAU NILAI REALISASI NETO (LCNRV) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan. Namun, jika persediaan turun nilainya sampai ke tingkat di bawah biaya aslinya, maka prinsip biaya historis menjadi tidak relevan. Apapun alasan untuk penurunan nilai tersebut, baik itu usang, perubahan tingkat harga, atau rusak, perusahaan harus menurunkan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto untuk melaporkan kerugian ini. Perusahaan meninggalkan prinsip biaya historis ketika utilitas masa depan (kemampuan menghasilkan pendapatan) dari aset turun di bawah biaya aslinya. Nilai Realisasi Neto Ingat bahwa biaya adalah harga perolehan persediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu metode berbasis biaya historis. Nilai realisasi neto ( net realizable value /NRV) mengacu pada jumlah neto yang diharapkan oleh perusahaan untuk direalisasi dari penjualan persediaan. Secara khusus, nilai realisasi neto adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan bisnis bi...

Urbanisasi Sebagai Dampak Globalisasi Terhadap Perubahan Sosial di Komunitas Lokal

A.  LATAR BELAKANG Globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.  Masyarakat dapat menjangkau satu dengan yang lain dalam segala aspek kehidupan didukung oleh kemajuan IPTEK dan keterbukaan sistem perekonomian negara yang mempercepat akselerasi globalisasi. Keterbukaan sistem perekonomian negara dipicu oleh adanya liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini mengakibatkan masyarakat di berbagai dunia dapat menikmati hasil produksi dari negara lain, seperti makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, keterbukaan sistem perekonomian ini juga meningkatkan aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan multinasional. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia merasakan dampak dari adanya globalisasi pada aspek ekonomi tersebut, baik dari segi produksi, pembiayaan, te...

Soal Latihan Piutang Dagang (Account Receivable) dan Kunci Jawaban

1. Pada akhir tahun 2017, Goblin Company memiliki piutang sebesar $700.000 dan cadangan kerugian piutang sebesar $54.000. Pada 24 Januari 2018, perusahaan mengetahui bahwa piutang dari Sun Company tidak dapat ditagih, dan pihak manajemen mengizinkan penghapusan sebesar $6.200. a. Buatlah jurnal penyesuaian untuk mencatat penghapusan piutang b. Berapa cash realizable value dari piutang (1) sebelum penghapusan dan (2) setelah penghapusan? 2. Buku besar perusahaan Tsubasa pada akhir tahun 2019 menunjukkan saldo piutang usaha $150.000, pendapatan penjualan $850.000, dan retur penjualan $30.000. Intruksi (a) Jika perusahaan Tsubasa menggunakan metode penghapusan piutang langsung untuk akun piutang tidak tertagih, buatlah jurnal penyesuaian pada 31 Desember 2019, dengan asumsi pihak manajer menentukan saldo piutang tidak tertagih sebesar $1.500. (b) Jika cadangan piutang tak tertagih memiliki saldo kredit sebesar $2.400 dalam neraca saldo, buatlah jurnal penyesuaian pada tanggal...