Bertepatan pada tanggal 8 Desember 1941 (7 Desember di Hawaii) Pearl Harbour, pusat pertahanan Amerika Serikat di Pasifik mendapat serangan dari angkatan udara Jepang, serta angkatan lautnya mulai beraksi di seluruh Pasifik. Pada waktu yang bersamaan, angkatan darat Jepang mendarat di Indochina, Filipina, dan Malaya. Mulai saat itu pecahlah perang Asia Timur Raya dan Amerika menyatakan perang terhadap Jepang. Pemerintah Hindia Belanda juga segera mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Untuk menghadapi agresi dan ofensif militer Jepang, pihak sekutu membentuk pasukan gabungan yang dalam komando ABDACOM (American, British, Dutch, and Australia Command = gabungan tentara Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Australia) dibawah pimpinan Letjen H. Ter Poorten yang juga menjabat Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL). Sejak itu pula serangan dari pihak Jepang diarahkan ke Indonesia untuk melumpuhkan pasukan Hindia-Belanda.
A. Interaksi Indonesia dan Jepang
Penyerbuan tentara Jepang ke Indonesia diawali dengan dikuasainya Tarakan pada tanggal 10 Januari 1942, kemudian disusul penguasaan atas Balikpapan, Manado, Ambon, Makassar, Pontianak, dan Palembang. Dari sana kekuatan militer Jepang ke Pulau Jawa. Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di Banten, Indramayu, dan Rembang. Batavia dapat diduduki pada tanggal 5 Maret 1942, begitu juga daerah-daerah lain seperti Surakarta, Cikampek, Semarang, dan Surabaya dapat dikuasainya. Pada akhirnya tanggal 8 Maret 1942 di bawah Panglima Militer Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan itu dilakukan di Kalijati, Subang kepada Letnan Jenderal Imamura Hitsoji. Mulai saat itu berakhirlah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan dimulailah penduduk militer Jepang di Indonesia. Berbeda dengan zaman Belanda yang merupakan pemerintahan sipil maka zaman Jepang merupakan pemerintahan militer. Pemerintahan militer Jepang di Indonesia terbagi atas tiga wilayah kekuasaan berikut ini.
1. Tentara XVI (Angkatan Darat/Rikugun) memerintah atas wilayah Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta.
2. Tentara XXV (Angkatan Darat/Rikugun) memerintah atas wilayah Sumatera yang berpusat di Bukittinggi.
3. Armada Selatan II (Angkatan Laut/Kaigun) memerintah atas wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berpusat di Makassar.
Pemerintah pada wilayah masing-masing tersebut dipimpin oleh kepala staf tentara/armada dengan gelar gunseikan (kepala pemerintahan militer) dan kantornya disebut gunseikanbu. Gunshireikan (panglima tentara), kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi).
Gambar 1. Belanda Menyerah Tanpa Syarat Kepada Jepang di Kalijati, Subang
Pada awal, masuknya tentara Jepang ke Indonesia mendapat sambutan baik dari penduduk setempat. Tokoh-tokoh nasional Indonesia, seperti Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta bersedia melakukan kerja sama dengan pihak pendudukan Jepang. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya kerja sama itu, antara lain sebagai berikut.
1. Kebangkitan bangsa-bangsa Timur. Orang Timur memandang kemenangan Jepang sebagai suatu kemenangan Asia atas Eropa. Hal ini terpengaruh propaganda Jepang, yakni pembebasan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Jepang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia yang datang dengan maksud hendak membebaskan rakyat Indonesia, dan ada juga semboyan Hakoo Ichiu, yakni dunia dalam satu keluarga dengan Jepang sebagai pemimpin keluarga tersebut yang berusaha menciptakan kemakmuran bersama.
2. Adanya Ramalan Jayabaya yang hidup di kalangan rakyat bahwa akan datang orang-orang kate (Jepang) yang akan menguasai Indonesia selama "seumur jagung" dan sesudahnya kemerdekaan akan dicapai.
3. Sikap keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pemerintah Belanda menolak Petisi Sutardjo (1936), dan juga menolak uluran tangan GAPI dengan slogan "Indonesia Berparlemen" (1939). Itu semua meyakinkan tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa dari pihak kolonial Belanda tidak dapat diharapkan apa-apa yang menyangkut kemerdekaan. Sebaliknya dari pihak Jepang sejak semula telah bicara mengenai kemerdekaan bangsa-bangsa Asia.
4. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda kaum nasionalis selalu ditekan, sebaliknya pada zaman pendudukan Jepang golongan nasionalis diajak bekerja sama. Itulah sebabnya jika zaman Hindia Belanda sebagian besar tokoh nasionalis mengambil sikap nonkooperatif maka pada zaman pendudukan Jepang sebagian besar mengambil sikap kooperatif.
Dengan demikian, tokoh-tokoh pergerakan nasional dalam perjuangannya menyesuaikan diri dengan memasuki dan bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Di samping itu, ada juga yang menempuh bergerak di bawah tanah, baik dengan atau tanpa menggunakan alat-alat pemerintah Jepang.
B. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Pergerakan Nasional pada masa pendudukan Jepang menempuh cara-cara sebagai berikut.
1. Pergerakan Terbuka Melalui Organisasi Bentukan Jepang
a. Gerakan 3A
Usaha pertama kali yang dilakukan Jepang untuk memikat dan mencari dukungan bantuan kemenangannya dalam rangka pembentukan negara Asia Timur Raya adalah Gerakan 3A yang mempunyai semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Organisasi tersebut didirikan pada bulan April 1942. Gerakan 3A ini dipimpin oleh Hihosyi Syimizu (propagandis Jepang) dan Mr. Samsudin (Indonesia). Untuk mendukung gerakan tersebut dibentuklah barisan pemuda dengan nama Pemuda Asia Raya dibawah pimpinan Sukarjo Wiryopranoto dengan menerbitkan surat kabar Asia Raya.
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Gerakan 3A dianggap tidak efektif sehingga dibubarkan. Pada bulan Maret 1943, pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K. H. Mas Mansur. Putera secara resmi didirikan pada tanggal 16 April 1943. Tujuannya adalah membujuk kaum nasionalis sekuler dan kaum intelektual agar dapat mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk usaha perang negara Jepang. Bagi Indonesia untuk membangun dan menghidupkan kembali aspirasi bangsa yang tenggelam akibat imperialisme Belanda.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan yang harus dilakukan meliputi menimbulkan dan memperkuat kewajiban dan rasa tanggungjawab rakyat dalam menghapus pengaruh Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat; mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Indonesia-Jepang; mengintesifkan pelajaran bahasa Jepang; memperhatikan tugas dalam bidang sosial ekonomi.
c. Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In)
Cuo Sangi In adalah suatu badan yang bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan mengenai soal-soal politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang. Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1943 yang beranggotakan 43 orang (semuanya orang Indonesia) dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
d. Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai)
Putera oleh pihak Jepang dianggap lebih bermanfaat bagi Indonesia daripada untuk Jepang. Akibatnya, pada tanggal 1 Januari 1944 Putera diganti dengan organisasi Jawa Hokokai. Tujuannya adalah untuk menghimpun kekuatan rakyat dan digalang kebaktiannya (hokosisyin). Di dalam tradisi Jepang, kebaktian ini memiliki tiga dasar, yakni pengorbanan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti. Tiga hal inilah yang dituntut dari rakyat Indonesia oleh pemerintah Jepang. Dalam kegiatannya, Jawa Hokokai menjadi pelaksana distribusi barang yang dipergunakan untuk perang, seperti emas, permata, besi, dan aluminium, dan lain-lain yang dianggap penting untuk perang.
Organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Berarti, organisasi ini diintegrasikan ke dalam tubuh pemerintah. Organisasi ini mempunyai berbagai macam hokokai profesi, diantaranya Izi hokokai (Himpunan Kebaktian Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Para Pendidik), Fujinkai (Organisasi wanita), Keimin Bunka Syidosyo (Pusat Budaya) dan Hokokai Perusahaan.
Struktur kepemimpinan di dalam Jawa Hokokai ini langsung dipegang oleh Gunseikan, sedangkan di daerah dipimpin oleh Syucohan (Gubernur atau Residen). Pada masa ini, golongan nasionalis disisihkan, mereka diberi jabatan baru dalam pemerintahan, akan tetapi, segala kegiatannya memperoleh pengawasan yang ketat dan segala bentuk komunikasi dengan rakyat dibatasi.
e. Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
Satu-satunya organisasi pergerakan nasional yang masih diperkenankan berdiri pada masa pendudukan Jepang ialah MIAI. Golongan ini memperoleh kelonggaran karena dinilai paling anti-Barat sehingga akan mudah dirangkul. MIAI diakui sebagai organisasi resmi umat Islam dengan syarat harus mengubah asas dan tujuannya. Kegiatannya terbatas pada pembentukan baitul mal (badan amal) dan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar keagamaan.
Dalam asas dan tuuan MIAI yang baru ditambahkan kalimat "turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan membangun masyarakat baru, untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon". MIAI sebagai organisasi tunggal Islam golongan Islam, mendapat simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam.
Kegiatan MIAI dirasa sangat membahayakan bagi Jepang sehingga dibubarkan dan digantikan dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang disahkan oleh gunseikan pada tanggal 22 November 1943 dengan K. H. Hasyim Asy'ari sebagai ketuanya.
2. Perjuangan Bawah Tanah
Perjuangan bawah tanah pada umumnya dilakukan oleh para pemimpin bangsa kita yang bekerja di instansi-instansi pemerintah Jepang. Jadi, mereka kelihatannya sebagai pegawai, namun dibalik itu mereka melakukan kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat meneruskan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Perjuangan bawah tanag terdapat di berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Medan. Di Jakarta ada beberapa kelompok yang melakukan perjuangan bawah tanah. Kelompok-kelompok tersebut, sebagai berikut.
a. Kelompok Sukarni
Pada masa pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di Sendenbu atau Barisan Propaganda Jepang bersama Moh. Yamin. Gerakan ini dilakukan dengan menghimpun orang-orang yang berjiwa revolusioner, menyebarkan cita-cita kemerdekaan, dan membungkam kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang. Untuk menutupi pergerakannya, Kelompok Sukarni mendirikan asrama politik dengan nama Angkatan Baru Indonesia. Di dalam asrama inilah para tokoh pergerakan nasional yang lain, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Mr. Sunaryo mendidik para pemuda yang berkaitan dengan pengetahuan umum dan masalah politik.
b. Kelompok Ahmad Soebardjo
Ahmad Soebardjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Perhubungan Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Soebardjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Soebarjo inilah maka Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda dengan nama Asrama Indonesia Merdeka. Di Asrama Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran secara tidak langsung menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda Indonesia.
c. Kelompok Sutan Syahrir
Kelompok Sutan Syahrir berjuang secara diam-diam dengan menghimpun mantan teman-teman sekolahnya dan rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda. Dalam perjuangannya, Syahrir menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Syahrir memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan laut Jepang (kaigun) bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan Iwa Kusuma Sumantri.
d. Kelompok Pemuda
Kelompok pemuda ini pada masa pendudukan Jepang mendapat perhatian khusus sebab akan digunakan untuk menjalankan kepentingan Jepang. Pemerintahan militer Jepang menanamkan pengaruhnya melalui kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kursus di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang didirikan oleh Angkatan Laut Jepang. Akan tetapi, para pemuda Indonesia tidak mudah termakan oleh propaganda Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, di Jakarta ada dua kelompok pemuda yang aktif berjuang yang terhimpun dalam Ika Gaigakhu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (BAPEPPI). Organisasi inilah yang aktif berjuang bersama kelompok yang lain. Tokoh-tokohnya, antara lain Johan Nur, Eri Sadewa, E. A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.
3. Perjuangan Bersenjata
Para pemimpin pergerakan nasional semakin tidak tahan menyaksikan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang memilukan. Oleh karena itu, sebagian dari mereka mulai bangkit menentang Jepang dengan cara perlawanan senjata. Perlawanan bersenjata terhadap Jepang terjadi diberbagai daerah, antara lain sebagai berikut.
a. Di Aceh, perlawanan meletus di daerah Cot Plieng pada bulan November 1942 di bawah pimpinan Tengku Abdul Jalil. Ia adalah seorang guru mengaji di Cot Plieng. Jepang berusaha mendekati Tengku Abdul Jalil tetapi ditolak, sehingga pada tanggal 10 November 1942 pasukan Jepang menyerang ke Cot Plieng. Serangan Jepang yang pertama ini dapat dilawan oleh rakyat Aceh. Begitu juga dengan serangan kedua yang dapat dipatahkan. Perlawanan ini akhirnya dapat ditumpas oleh tentara Jepang dan Abdul Jalil mati ditembak saat melaksanakan salat.
b. Di Jawa Barat, perlawanan meletus pada bulan Februari 1944 yakni di daerah Sukamanah di bawah pimpinan K. H. Zainal Mustafa. Ia tidak tahan lagi melihat kehidupan rakyat yang sudah semakin melarat dan menderita akibat beban bermacam-macam setoran dan kerja paksa. Di samping itu, K. H. Zainal Mustafa juga menolak melakukan seikeirei (penghormatan kepada Kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari dengan cara menghadap timur laut (Tokyo) dan membungkukkan badan dalam-dalam), hal ini dinilai bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia menghimpun rakyat untuk melawan Jepang. Jepang yang tidak menerima penolakan ini, menganggap K. H. Zainal Mustafa sebagai orang yang membahayakan wibawa pemerintah Jepang. Akhirnya pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran antara pasukan yang dipimpin K. H. Zainal Mustafa dengan tentara Jepang. Dalam pertempuran ini, tentara Jepang berhasil menangkap K. H. Zainal Mustafa dan kawan-kawan seperjuangannya. Ia selanjutnya dimasukkan ke penjara dan dihukum mati.
Perlawanan lainnya di daerah Jawa Barat adalah di Indramayu dan Loh Bener serta Sindang di daerah Pantai Utara Jawa Barat dekat Cirebon. Perlawanan itu dipimpin oleh H. Madriyas. Perlawanan ini pun berhasil dipatahkan oleh tentara Jepang.
c. Di Aceh, perlawanan muncul lagi pada bulan November 1944 di daerah Pandreh Kabupaten Berena yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Giyugun di bawah pimpinan Teuku Hamid. Ia bersama satu peleton anak buahnya melarikan diri ke hutan kemudian melakukan perlawanan. Untuk menumpas pemberontakan ini, Jepang melakukan siasat yang licik, uakni menyanderi seluruh anggota keluarganya. Dengan cara ini akhirnya Teuku Hamid menyerah dan pasukannya bubar.
d. Di Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi, seorang Komandan Pleton 1 Kompi III dari Batalion II Pasukan Peta di Blitar, bersama dengan teman seperjuangannya (Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarno, dan Halir). Sejak pukul 03.00 WIB pasukannya sudah melancarkan serangan hebat dan tentara Jepang terdesak. Namun, pasukan Supriyadi mampu dikalahkan setelah bala bantuan Jepang yang sangat besar datang. Kurang lebih 70 tentara Peta diajukan pada pengadilan militer Jepang untuk diadili. Supriyadi sendiri dalam proses pengadilan tidak disebut-sebut. Ia dinyatakan hilang. Perlawanan di Blitar ini merupakan perlawanan terbesar pada masa pendudukan Jepang.
C. Dampak Pendudukan Jepang dalam Berbagai Aspek Kehidupan
1. Kehidupan Politik
Sejak awal pemerintahannya, Jepang melarang bangsa Indonesia berserikat dan berkumpul. Oleh karena itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang dibentuk pada masa Hindia Belanda, kecuali MIAI. MIAI kemudian dibubarkan dan digantikan dengan Masyumi.
Para tokoh pergerakan nasional pada masa pendudukan Jepang mengambil sikap kooperatif. Dengan sikap kooperatif, mereka banyak yang duduk dalam badan-badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti Gerakan 3A, Putera, dan Cuo Sangi In. Selain itu, para tokoh pergerakan nasional juga memanfaatkan kesatuan-kesatuan pertahanan yang telah dibentuk oleh Jepang, seperti Jawa Hokokai, Heiho, Peta, dan sebagainya. Kebijaksanaan pemerintah Jepang tersebut bertujuan untuk menarik simpati dan mengerahkan rakyat Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang melawan Sekutu, namun kenyataannya dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan nasional sehingga lebih banyak memberikan keuntungan bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pemerintah Jepang berhasil melakukan pengekangan terhadap berbagai kegiatan pergerakan nasional, namun tidak berhasil mengekang berkembangnya kesadaran nasional bangsa Indonesia menuju Indonesia merdeka.
2. Kehidupan Ekonomi
Jepang berusaha untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber bahan mentah untuk industri perang. Jepang membagi rencananya dalam dua tahap.
a. Tahap penguasaan, yakni menguasai seluruh kekayaan alam termasuk kekayaan milik pemerintah Hindia Belanda. Jepang mengambil alih pabrik-pabrik gula milik Hindia Belanda untuk dikelola oleh pihak swasta Jepang, misalnya, Meiji Seilyo Kaisya dan Okinawa Seilo Kaisya.
b. Tahap penyusunan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan perang. Sesuai dengan tahap ini maka pola ekonomi perang direncanakan bahwa setiap wilayah harus melaksanakan autarki (setiap wilayah harus mencukup kebutuhan sendiri dan juga harus dapat menunjang kebutuhan perang).
Memasuki tahun 1944 tuntutan kebutuhan pangan dan perang makin meningkat. Pemerintah Jepang mulai melancarkan kampanye pengerahan barang dan menambah bahan pangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Jawa Hokokai melalui nagyo kumiai (koperasi pertanian), dan instansi pemerintah lainnya. Pengerahan bahan makanan ini dilakukan dengan cara penyerahan padi atau hasil panen lainnya kepada pemerintah. Dari jumlah hasil panen, rakyat hanya boleh memiliki 40%, 30% diserahkan kepada pemerintah, dan 30% lagi diserahkan lumbung untuk persediaan bibit. Setoran-setoran yang harus diserahkan rakyat kepada pemerintah Jepang, berlaku untuk semua lapisan masyarakat, termasuk kaum nelayan. Bagi nelayan, wajib menyetorkannya kepada kumiai perikanan.
Tindakan pemerintah ini menimbulkan kesengsaraan. Penebangan hutan (untuk pertanian) mneyebabkan bahaya banjir, penyerahan hasil panen dan romusa (kerja tanpa mendapat upah) menyebabkan rakyat kekurangan makan, kurang gizi, dan stamina menurun. Akibatnya, bahaya kelaparan melanda di berbagai daerah dan timbul berbagai penyakit serta angka kematian meningkat tajam. Bahkan, kekurangan sandang menyebabkan sebagian besar rakyat di desa-desa telah memakai pakaian dari karung goni atau "bagor", bahkan ada yang menggunakan lembaran karet.
3. Mobilitas Sosial
Di samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga manusia. Hal ini akan membawa dampak terhadap mobilitas sosial masyarakat Indonesia. Puluhan hingga ratusan ribu penduduk desa yang kuat diberi latihan kerja paksa (kinrohoshi), kemudian dikerahkan untuk romusa membangun sarana dan prasarana perang, seperti jalan raya, jembatan, lapangan udara, pelabuhan, benteng bawah tanah, dan sebagainya. Mereka dipaksa bekerja keras (romusa) sepanjang hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas. Akibatnya, banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal ditempat kerja.
Untuk mengerahkan tenaga kerja yang banyak, di tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai. Tugasnya menyiapkan tenaga sesuai dengan jatah yang ditetapkan. Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu maka Jepang menyebut para romusa dengan sebutan prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Menurut catatan sejarah, jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri seperti ke Burma, Malaya, Vietnam, dan Muangthai/Thailand mencapai 300.000 orang. Untuk membangun mentalitas, ditanamkan seiskin atau semangat serta bushido atau jalan ksatria yang berani mati, rela berkorban, siap menghadapi bahaya, dan menjunjung tinggi keperwiraan.
Pada bulan Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri atas 10-20 rumah tangga. Maksud diadakannya tonarigumi adalah untuk mengawasi penduduk, mengendalikan, dan memperlancar kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Dengan adanya perang yang makin mendesak maka tugas yang dilakukan Tonarigumi adalah mengadakan latihan tentang pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong, dan mata-mata musuh.
4. Birokrasi
Pada pertengahan tahun 1943, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka Jepang memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Untuk itu pada tanggal 5 September 1943, Jepang membentuk Badan Pertimbangan Karesidenan (Syu Sangi Kai) dan Badan Pertimbangan Kota Praja Istimewa (Syi Sangi In). Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan, seperti Prof. Dr. Husein Jayadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama (1 Oktober 1943) dan pada tanggal 10 November 1943, Sutardjo Kartohadikusumo dan R. M. T. A. Surio masing-masing diangkat menjadi Kepala Pemerintahan (Syikocan) di Jakarta dan Banjarnegara. Di samping itu, ada enam departemen (bu) dengan gelar sanyo, seperti berikut.
a. Ir. Soekarno, Departemen Urusan Umu (Somubu).
b. Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid, Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Dalam Negeri (Naimubu-Bunkyoku).
c. Dr. Mr. Supomo, Departemen Kehakiman (Shihobu).
d. Mochtar bin Prabu Mangkunegara, Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e. Mr. Muh. Yamin, Departemen Propaganda (Sendenbu).
f. Prawoto Sumodilogo, Departemen Ekonomi (Sangyobu).
Dengan demikian masa pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak sangat besar dalam birokrasi pemerintahan. Menurut Undang-Undang No. 27 tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintah Daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci/daerah istimewa, Surakarta dan Yogyakarta) dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
a. Syu (Karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
b. Syi (Kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
c. Ken (Kabupaten, dipimpin oleh seorang kenco.
d. Gun (Kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
e. Son (Kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
f. Ku (Kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.
Dalam menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawatan Cokan) yang terdiri dari tiga bu (bagian), yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu (bagian ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian).
5. Militer
Situasi Perang Asia Pasifik pada awal tahun 1943 mulai berubah. Sikap ofensif Jepang beralih ke defensif. Jepang menyadari bahwa untuk kepentingan perang perlu dukungan dari penduduk masing-masing daerah yang didudukinya. Itulah sebabnya, Jepang mulai membentuk kesatuan-kesatuan semimiliter dan militer untuk dididik dan dilatih secara intensif di bidang militer. Di Indonesia ada beberapa kesatuan pertahanan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti berikut.
a. Kesatuan Pertahanan Semi-militer
1) Seinendan (Barisan Pemuda)
Seinendan dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya terdiri atas para pemuda yang berusia antara 14-22 tahun. Mereka dididik militer agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, tujuan yang sebenarnya ialah mempersiapkan pemuda untuk dapat membantu Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu dalam Perang Asia Pasifik. Ada juga Iosyi Seinendan, yaitu barisan cadangan atau seinendan putri.
2) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
Keibodan dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya terdiri atas para pemuda yang berusia 26-35 tahun dengan tugas, seperti menjaga lalu lintas, pengamanan desa, dan lain-lain. Barisan ini di Sumatra disebut Bogodan, sedangkan di Kalimantan dikenal dengan nama Borneo Konan Hokokudan.
3) Fujinkai (Barisan Wanita)
Fujinkai dibentuk pada bulan Agustus 1943. Anggotanya terdiri atas para wanita berusia 15 tahun ke atas. Mereka juga diberikan latihan-latihan dasar militer dengan tugas untuk membantu Jepang dalam perang.
4) Jibakutai (Barisan Berani Mati)
Jibakutai dibentuk pada tanggal 8 Desember 1944. BArisan ini rupanya mendapatkan inspirasi dari pilot Kamikaze yang sanggup mengorbankan nyawanya dengan jalan menabrakkan pesawatnya kepada kapal perang musuh.
b. Kesatuan Pertahanan Militer
1) Heiho (Pembantu Prajurit Jepang)
Heiho adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Mereka yang diterima menjadi anggota adalah yang memenuhi syarat, antara lain berbadan sehat, berkelakuan baik, berpendidikan terendah SD, dan berumur 18-25 tahun. Mereka dilatih kemiliteran secara lengkap dan setelah lulus dimasukkan ke dalam kesatuan militer Jepang dan dikirim ke medan pertempuran, seperti ke Kepulauan Salomon, Burma, dan Malaya.
2) Peta (Pembela Tanah Air)
Peta dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, dengan tugas mempertahankan tanah air. Pembentukan Peta ini atas permohonan Gatot Mangkuprojo kepada Panglima Tertinggi Jepang Letjen Kumakichi Harada pada tanggal 7 September 1943. Untuk menjadi anggota Peta para pemuda dididik di bidang militer secara khusus di Tangerang, di bawah pimpinan Letnan Yamagawa. Untuk menjadi komandan Peta, mereka dididik secara khusus lewat Pendidikan Calon Perwira di Bogor. Dari pasukan Peta ini muncul tokoh-tokoh nasional yang militan, seperti Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Subroto, Jenderal Ahmad Yani, Supriyadi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar dalam bidang kemiliteran. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi, baik semimiliter maupun militer menjadi pemuda-pemuda yang terdidik dan terlatih dalam kemiliteran. Hal ini sangat penting artinya dalam perjuangan, baik untuk merebut kemerdekaan, maupun untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jabatan-jabatan militer yang dapat diperoleh setelah seseorang menamatkan pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.
b. Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
c. Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
d. Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang lulus sekolah dasar.
e. Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan pemuda yang masih setingkat sekolah dasar.
6. Pendidikan, Penggunaan Bahasa Indonesia, dan Kebudayaan
a. Pendidikan
Zaman pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan dratis, jika dibandingkan zaman Hindia Belanda. Jumlah sekolah dasar (SD) menurun dari 21.500 menjadi 13.500 dan sekolah menengah dari 850 menjadi 20. Melalui pendidikan dibentuk kader-kader untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan untuk keperluan Perang Asia Pasifik. Dasar pendidikan yang diarahkan pada kebudayaan Jepang, dapat dilihat pada berbagai tingkat pendidikan; yaitu setiap pagi dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo. Upacara pagi dengan pengibaran bendera Hinomaru dan membungkukkan badan sembilan puluh derajat untuk menghormati Kaisar Tenno Heika. Seterusnya diadakan upacara sumpah setia dalam memelihara semangat untuk mencapai cita-cita perang suci demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk mendukung ke arah sana, setiap anak harus kuat jasmaninya sehingga diadakanlah senam setiap pagi (taiso) dan kerja bakti (kinrohoshi). Kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan suasana perang, sehingga banyak nyanyian, semboyan, dan latihan-latihan yang dihubungkan dengan persiapan menghadapi perang.
Menurut Djohan Makmur, terjadinya penurunan jumlah sekolah, murid, dan guru disebabkan pada awalnya Jepang memiliki beberapa kesulitan yang perlu diatasi, lebih-lebih guru. Kesulitan mengenai guru karena pemerintah kolonial Belanda tidak mempersiapkan secara khusus guru-guru bumiputera untuk sekolah-sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas. Kesulitan lainnya ialah mengenai buku-buku pelajaran. Semua buku pelajaran ditulis dalam bahasa Belanda, sementara pemerintah pendudukan Jepang melarang pemakaiannya. Untuk itu, semua buku yang berbahasa Belanda diganti dengan buku-buku terjemahan yang dikeluarkan oleh Bunkyo Kyoku (Kantor Pengajaran). Bilamana buku-buku berbahasa Jepang atau terjemahannya tidak diterima maka para guru berusaha menerjemahkan dan menyusunnya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Di sinilah tanggung jawab yang besar dari para guru Indonesia yang menguasai Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai bahasa pengantar, tetapi juga sebagai bahasa ilmiah.
b. Penggunaan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Surat kabar dan radio juga menggunakan bahasa Indonesia sehingga mempercepat penyebarluasan Bahasa Indonesia. Begitu juga papan nama toko, nama rumah makan, perusahaan, dan sebagainya yang menggunakan bahasa Belanda harus diganti dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang. Dengan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi maka akan mempercepat dan mempertebal semangat kebangsaan menuju integrasi bangsa.
c. Kebudayaan
Bahasa Indonesia adalah salah satu unsur kebudayaan sehingga dengan digunakannya bahasa Indonesia secara luas akan mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia. Pada tanggal 20 Oktober 1943, atas desakan dari beberapa tokoh Indonesia didirikanlah Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia. Tugas Komisi adalah menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah modern dan menyusun suatu tata bahasa normatif dan menentukan kata-kata yang umum bagi bahasa Indonesia. Susunan Kepengurusan Komisi Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Ketua : Mori (Kepala kantor Pengajaran)
Wakil ketua : Iciki
Penulis : Mr. R. Suwandi
Penulis Ahli : Mr. S. Takdir Alisjabana
Anggota : Abas St. Pamuntjak, Mr. Amir Syarifuddin, Armien Pane
Di bidang sastra, pada zaman Jepang juga berkembang baik. Hasil karya sastra, seperti roman, sajak, lagu, lukisan, sandiwara, dan film. Agar hasil karya sastra tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta didirikan Pusat Kebudayaan dengan nama Keimin Bunko Shidosho.
Hasil karya sastra yang terbit, seperti Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar, Palawija karya Karim Halim, Angin Fuji karya Usmar Ismail. Gubahan untuk drama, seperti Api dan Cintra karya Usman Ismail; Topan di Atas Asia dan Intelek Istimewa karya El Hakim (dr. Abu Hanifah). Mengenai seni musik, komponis C. Simandjuntak berhasil menciptakan lagu Tumpah Darahku dan Maju Putra-Putri Indonesia.
D. Aktivitas Perjuangan dalam Mempersiapkan Kemerdekaan
1. Terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Sampai pertengahan tahun 1944, kedudukan Jepang dalam Perang Asia Pasifik sudah sangat terdesak. Di berbagai medan pertempuran, Jepang menderita kekalahan. Pada tanggal 7 September 1944 dalam sidang parlemen Jepang di Tokyo, Perdana Menteri Kuniaki Koiso (pengganti Tojo) memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari kepada rakyat Indonesia.
Pada tanggal 1 Maret 1945 penguasa pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, Letjen Kumakichi Harada mengumumkan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI = Dokuritsu Junbi Cosakai).
Ketua : dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat
Anggota : 60 orang
Tugas : Mempelajari dan menyelidiki berbagai hal penting yang menyangkut negara Indonesia merdeka.
Peresmian (pelantikan) baru dilangsungkan pada tanggal 28 Mei 1945 di Gedung Cuo Sangi In, Jakarta (sekarang Gedung Pancasila). Pelantikan itu dihadiri oleh seluruh anggota dan pembesar Jepang, yaitu Jenderal Itagaki dan Jenderal Yaiciro. Pada saat itu, bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera Hinomoru. Peristiwa tersebut telah membangkitkan semangat para anggota dalam usahanya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Selama BPUPKI dibentuk telah mengadakan dua kali sidang, yakni :
a. Masa Sidang Pertama (29 Mei - 1 Juni 1945)
Dalam sidang ini dibicarakan masalah dasar negara. Pada siang pertama, muncul tiga tokoh pembicara yang mengemukakan konsepnya. Mereka berturut-turut ialah Mr. Moh. Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. Moh. Yamin mengemukakan tentang asas dasar kesatuan negara Indonesia merdeka, yakni sebagai berikut.
1) Peri kebangsaan;
2) Peri kemanusiaan;
3) Peri ketuhanan;
4) Peri kerakyatan;
5) Kesejahteraan rakyat.
Pembicara kedua, Prof. Dr. Mr. Supomo yang tampil pada tanggal 31 Mei 1945 dan mengemukakan dasar negara untuk Indonesia merdeka sebagai berikut.
1) Paham negara kesatuan;
2) Perhubungan negara dan agama;
3) Sistem badan permusyawaratan;
4) Sosialisme Indonesia;
5) Hubungan antarbangsa.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno tampil berbicara tentang dasar negara Indonesia merdeka yang juga atas dasar lima dasar, yakni sebagai berikut.
1) Kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan;
3) Mufakat atau demokrasi;
4) Kesejahteraan sosial;
4) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima asas itu atas petunjuk seorang ahli bahasa oleh Ir. Soekarno diberi nama Pancasila, kemudian diusulkan menjadi dasar negara Indonesia.
Dalam masa sidang tersebut belum didapat kata sepakat mengenai dasar negara Indonesia. Sebelum persidangan pertama selesai, diadakan reses selama satu bulan lebih. Sebelum memasuki reses, Badan Penyelidik membentuk suatu panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang sehingga dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan, antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakar, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K. H. A. Wachid Hasyim, dan Mr. Moh. Yamin.
Panitia Sembilan diketuai oleh Ir. Soekarno. Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan asas dan tujuan terbentuknya negara Indonesia merdeka, akhirnya diterima dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Oleh Moh. Yamin rumusan Panitia Sembilan itu diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Di dalam Piagam Jakarta Aline ke-4 dirumuskan asas falsafah negara Indonesia Merdeka, yaitu sebagai berikut.
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Kemanusian yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah mengalami beberapa perubahan, terutama rumusan dasar negara (sila pertama). Pada awalnya berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Piagam Jakarta kemudian dijadikan Pembukaan UUD 1945.
b. Masa Sidang Kedua (10-17 Juli 1945)
Pada sidang kedua ini BPUPKI telah membentuk tiga buah panitia, yakni :
1) Panitia perancang UUD, yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
2) Panitia Ekonomi dan Keuangan, diketuai oleh Drs. Moh. Hatta.
3) Panitia Pembela Tanah Air yang diketuai oleh Abikusno Cokrosuyoso.
Dalam sidang yang kedua, BPUPKI akan membahas adalah Rancangan Undang-Undang Dasar. Mereka menyetujui bahwa naskah pembukaan UUD akan diambilkan dari naskah Piagam Jakarta. Panitian kemudian membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo untuk merumuskannya. Selanjutnya, pada tanggal 14 Juli 1945, Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil kepada sidang yang terdiri atas tiga hal berikut.
1) Pernyataan Indonesia merdeka;
2) Pembukaan Undang-Undang Dasar;
3) Batang tubuh Undang-Undang Dasar.
Sidang BPUPKI menerima bulat hasil kerja panitia. Dengan demikian, BPUPKI telah menyelesaikan tugasnya sehingga pada tanggal 7 Agustus 1945 dinyatakan bubar. Selanjutnya, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk melanjutkan tugas BPUPKI.
2. Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Sebagai pengganti BPUPKI yang telah menyelesaikan tugasnya maka pada tanggal 7 Agustus 1945 pemerintah Jepang membentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Iinkai. Tiga tokoh pemimpin nasional, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat berangkat ke Dalat (Vietnam Selatan) atas panggilan Jendral Terauchi. Panglima Tentara Jepang di Asia Tenggara. Dalam pertemuannya tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyampaikan kepada tiga pemimpin Indonesia tersebut bahwa pemerintah Kemaharajaan Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia (direncanakan 24 Agustus). Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda.
Anggota PPKI berjumlah 21 orang yang terdiri atas wakil-wakil dari seluruh Indonesia dengan rincian 12 orang wakil dari Jawa, 2 orang wakil dari Sumatera, 2 orang wakil dari Sulawesi, dan masing-masing seorang wakil dari Kalimantan, Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Maluku, dan penduduk Cina. Yang diangkat sebagai ketua adalah Ir. Seokarno, wakil ketua adalah Drs. Moh. Hatta, sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo diangkat sebagai penasihat. Oleh orang Indonesia sendiri, PPKI ditambah enam orang anggota lagi tanpa seizin pemerintah Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Rajiman Wedyodiningrat telah kembali di tanah air. Sementara itu, Jepang telah menyerah kepada Sekutu. PPKI dijadikan sebagai badan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Daftar Pustaka
Listiyani, Dwi Ari. (2009). Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
M., Tarunasena. (2009). Sejarah 2 SMA/MA Untuk Kelas XI Semester 1 dan 2 Program IPS. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Wardaya. (2009). Cakrawala Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
B. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Pergerakan Nasional pada masa pendudukan Jepang menempuh cara-cara sebagai berikut.
1. Pergerakan Terbuka Melalui Organisasi Bentukan Jepang
a. Gerakan 3A
Usaha pertama kali yang dilakukan Jepang untuk memikat dan mencari dukungan bantuan kemenangannya dalam rangka pembentukan negara Asia Timur Raya adalah Gerakan 3A yang mempunyai semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Organisasi tersebut didirikan pada bulan April 1942. Gerakan 3A ini dipimpin oleh Hihosyi Syimizu (propagandis Jepang) dan Mr. Samsudin (Indonesia). Untuk mendukung gerakan tersebut dibentuklah barisan pemuda dengan nama Pemuda Asia Raya dibawah pimpinan Sukarjo Wiryopranoto dengan menerbitkan surat kabar Asia Raya.
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Gerakan 3A dianggap tidak efektif sehingga dibubarkan. Pada bulan Maret 1943, pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K. H. Mas Mansur. Putera secara resmi didirikan pada tanggal 16 April 1943. Tujuannya adalah membujuk kaum nasionalis sekuler dan kaum intelektual agar dapat mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk usaha perang negara Jepang. Bagi Indonesia untuk membangun dan menghidupkan kembali aspirasi bangsa yang tenggelam akibat imperialisme Belanda.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan yang harus dilakukan meliputi menimbulkan dan memperkuat kewajiban dan rasa tanggungjawab rakyat dalam menghapus pengaruh Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat; mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Indonesia-Jepang; mengintesifkan pelajaran bahasa Jepang; memperhatikan tugas dalam bidang sosial ekonomi.
c. Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In)
Cuo Sangi In adalah suatu badan yang bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan mengenai soal-soal politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang. Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1943 yang beranggotakan 43 orang (semuanya orang Indonesia) dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
d. Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai)
Putera oleh pihak Jepang dianggap lebih bermanfaat bagi Indonesia daripada untuk Jepang. Akibatnya, pada tanggal 1 Januari 1944 Putera diganti dengan organisasi Jawa Hokokai. Tujuannya adalah untuk menghimpun kekuatan rakyat dan digalang kebaktiannya (hokosisyin). Di dalam tradisi Jepang, kebaktian ini memiliki tiga dasar, yakni pengorbanan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti. Tiga hal inilah yang dituntut dari rakyat Indonesia oleh pemerintah Jepang. Dalam kegiatannya, Jawa Hokokai menjadi pelaksana distribusi barang yang dipergunakan untuk perang, seperti emas, permata, besi, dan aluminium, dan lain-lain yang dianggap penting untuk perang.
Organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Berarti, organisasi ini diintegrasikan ke dalam tubuh pemerintah. Organisasi ini mempunyai berbagai macam hokokai profesi, diantaranya Izi hokokai (Himpunan Kebaktian Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Para Pendidik), Fujinkai (Organisasi wanita), Keimin Bunka Syidosyo (Pusat Budaya) dan Hokokai Perusahaan.
Struktur kepemimpinan di dalam Jawa Hokokai ini langsung dipegang oleh Gunseikan, sedangkan di daerah dipimpin oleh Syucohan (Gubernur atau Residen). Pada masa ini, golongan nasionalis disisihkan, mereka diberi jabatan baru dalam pemerintahan, akan tetapi, segala kegiatannya memperoleh pengawasan yang ketat dan segala bentuk komunikasi dengan rakyat dibatasi.
e. Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
Satu-satunya organisasi pergerakan nasional yang masih diperkenankan berdiri pada masa pendudukan Jepang ialah MIAI. Golongan ini memperoleh kelonggaran karena dinilai paling anti-Barat sehingga akan mudah dirangkul. MIAI diakui sebagai organisasi resmi umat Islam dengan syarat harus mengubah asas dan tujuannya. Kegiatannya terbatas pada pembentukan baitul mal (badan amal) dan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar keagamaan.
Dalam asas dan tuuan MIAI yang baru ditambahkan kalimat "turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan membangun masyarakat baru, untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon". MIAI sebagai organisasi tunggal Islam golongan Islam, mendapat simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam.
Kegiatan MIAI dirasa sangat membahayakan bagi Jepang sehingga dibubarkan dan digantikan dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang disahkan oleh gunseikan pada tanggal 22 November 1943 dengan K. H. Hasyim Asy'ari sebagai ketuanya.
2. Perjuangan Bawah Tanah
Perjuangan bawah tanah pada umumnya dilakukan oleh para pemimpin bangsa kita yang bekerja di instansi-instansi pemerintah Jepang. Jadi, mereka kelihatannya sebagai pegawai, namun dibalik itu mereka melakukan kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat meneruskan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Perjuangan bawah tanag terdapat di berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Medan. Di Jakarta ada beberapa kelompok yang melakukan perjuangan bawah tanah. Kelompok-kelompok tersebut, sebagai berikut.
a. Kelompok Sukarni
Pada masa pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di Sendenbu atau Barisan Propaganda Jepang bersama Moh. Yamin. Gerakan ini dilakukan dengan menghimpun orang-orang yang berjiwa revolusioner, menyebarkan cita-cita kemerdekaan, dan membungkam kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang. Untuk menutupi pergerakannya, Kelompok Sukarni mendirikan asrama politik dengan nama Angkatan Baru Indonesia. Di dalam asrama inilah para tokoh pergerakan nasional yang lain, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Mr. Sunaryo mendidik para pemuda yang berkaitan dengan pengetahuan umum dan masalah politik.
b. Kelompok Ahmad Soebardjo
Ahmad Soebardjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Perhubungan Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Soebardjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Soebarjo inilah maka Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda dengan nama Asrama Indonesia Merdeka. Di Asrama Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran secara tidak langsung menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda Indonesia.
c. Kelompok Sutan Syahrir
Kelompok Sutan Syahrir berjuang secara diam-diam dengan menghimpun mantan teman-teman sekolahnya dan rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda. Dalam perjuangannya, Syahrir menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Syahrir memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan laut Jepang (kaigun) bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan Iwa Kusuma Sumantri.
d. Kelompok Pemuda
Kelompok pemuda ini pada masa pendudukan Jepang mendapat perhatian khusus sebab akan digunakan untuk menjalankan kepentingan Jepang. Pemerintahan militer Jepang menanamkan pengaruhnya melalui kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kursus di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang didirikan oleh Angkatan Laut Jepang. Akan tetapi, para pemuda Indonesia tidak mudah termakan oleh propaganda Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, di Jakarta ada dua kelompok pemuda yang aktif berjuang yang terhimpun dalam Ika Gaigakhu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (BAPEPPI). Organisasi inilah yang aktif berjuang bersama kelompok yang lain. Tokoh-tokohnya, antara lain Johan Nur, Eri Sadewa, E. A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.
3. Perjuangan Bersenjata
Para pemimpin pergerakan nasional semakin tidak tahan menyaksikan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang memilukan. Oleh karena itu, sebagian dari mereka mulai bangkit menentang Jepang dengan cara perlawanan senjata. Perlawanan bersenjata terhadap Jepang terjadi diberbagai daerah, antara lain sebagai berikut.
a. Di Aceh, perlawanan meletus di daerah Cot Plieng pada bulan November 1942 di bawah pimpinan Tengku Abdul Jalil. Ia adalah seorang guru mengaji di Cot Plieng. Jepang berusaha mendekati Tengku Abdul Jalil tetapi ditolak, sehingga pada tanggal 10 November 1942 pasukan Jepang menyerang ke Cot Plieng. Serangan Jepang yang pertama ini dapat dilawan oleh rakyat Aceh. Begitu juga dengan serangan kedua yang dapat dipatahkan. Perlawanan ini akhirnya dapat ditumpas oleh tentara Jepang dan Abdul Jalil mati ditembak saat melaksanakan salat.
b. Di Jawa Barat, perlawanan meletus pada bulan Februari 1944 yakni di daerah Sukamanah di bawah pimpinan K. H. Zainal Mustafa. Ia tidak tahan lagi melihat kehidupan rakyat yang sudah semakin melarat dan menderita akibat beban bermacam-macam setoran dan kerja paksa. Di samping itu, K. H. Zainal Mustafa juga menolak melakukan seikeirei (penghormatan kepada Kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari dengan cara menghadap timur laut (Tokyo) dan membungkukkan badan dalam-dalam), hal ini dinilai bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia menghimpun rakyat untuk melawan Jepang. Jepang yang tidak menerima penolakan ini, menganggap K. H. Zainal Mustafa sebagai orang yang membahayakan wibawa pemerintah Jepang. Akhirnya pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran antara pasukan yang dipimpin K. H. Zainal Mustafa dengan tentara Jepang. Dalam pertempuran ini, tentara Jepang berhasil menangkap K. H. Zainal Mustafa dan kawan-kawan seperjuangannya. Ia selanjutnya dimasukkan ke penjara dan dihukum mati.
Perlawanan lainnya di daerah Jawa Barat adalah di Indramayu dan Loh Bener serta Sindang di daerah Pantai Utara Jawa Barat dekat Cirebon. Perlawanan itu dipimpin oleh H. Madriyas. Perlawanan ini pun berhasil dipatahkan oleh tentara Jepang.
c. Di Aceh, perlawanan muncul lagi pada bulan November 1944 di daerah Pandreh Kabupaten Berena yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Giyugun di bawah pimpinan Teuku Hamid. Ia bersama satu peleton anak buahnya melarikan diri ke hutan kemudian melakukan perlawanan. Untuk menumpas pemberontakan ini, Jepang melakukan siasat yang licik, uakni menyanderi seluruh anggota keluarganya. Dengan cara ini akhirnya Teuku Hamid menyerah dan pasukannya bubar.
d. Di Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi, seorang Komandan Pleton 1 Kompi III dari Batalion II Pasukan Peta di Blitar, bersama dengan teman seperjuangannya (Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarno, dan Halir). Sejak pukul 03.00 WIB pasukannya sudah melancarkan serangan hebat dan tentara Jepang terdesak. Namun, pasukan Supriyadi mampu dikalahkan setelah bala bantuan Jepang yang sangat besar datang. Kurang lebih 70 tentara Peta diajukan pada pengadilan militer Jepang untuk diadili. Supriyadi sendiri dalam proses pengadilan tidak disebut-sebut. Ia dinyatakan hilang. Perlawanan di Blitar ini merupakan perlawanan terbesar pada masa pendudukan Jepang.
C. Dampak Pendudukan Jepang dalam Berbagai Aspek Kehidupan
1. Kehidupan Politik
Sejak awal pemerintahannya, Jepang melarang bangsa Indonesia berserikat dan berkumpul. Oleh karena itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang dibentuk pada masa Hindia Belanda, kecuali MIAI. MIAI kemudian dibubarkan dan digantikan dengan Masyumi.
Para tokoh pergerakan nasional pada masa pendudukan Jepang mengambil sikap kooperatif. Dengan sikap kooperatif, mereka banyak yang duduk dalam badan-badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti Gerakan 3A, Putera, dan Cuo Sangi In. Selain itu, para tokoh pergerakan nasional juga memanfaatkan kesatuan-kesatuan pertahanan yang telah dibentuk oleh Jepang, seperti Jawa Hokokai, Heiho, Peta, dan sebagainya. Kebijaksanaan pemerintah Jepang tersebut bertujuan untuk menarik simpati dan mengerahkan rakyat Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang melawan Sekutu, namun kenyataannya dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan nasional sehingga lebih banyak memberikan keuntungan bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pemerintah Jepang berhasil melakukan pengekangan terhadap berbagai kegiatan pergerakan nasional, namun tidak berhasil mengekang berkembangnya kesadaran nasional bangsa Indonesia menuju Indonesia merdeka.
2. Kehidupan Ekonomi
Jepang berusaha untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber bahan mentah untuk industri perang. Jepang membagi rencananya dalam dua tahap.
a. Tahap penguasaan, yakni menguasai seluruh kekayaan alam termasuk kekayaan milik pemerintah Hindia Belanda. Jepang mengambil alih pabrik-pabrik gula milik Hindia Belanda untuk dikelola oleh pihak swasta Jepang, misalnya, Meiji Seilyo Kaisya dan Okinawa Seilo Kaisya.
b. Tahap penyusunan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan perang. Sesuai dengan tahap ini maka pola ekonomi perang direncanakan bahwa setiap wilayah harus melaksanakan autarki (setiap wilayah harus mencukup kebutuhan sendiri dan juga harus dapat menunjang kebutuhan perang).
Memasuki tahun 1944 tuntutan kebutuhan pangan dan perang makin meningkat. Pemerintah Jepang mulai melancarkan kampanye pengerahan barang dan menambah bahan pangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Jawa Hokokai melalui nagyo kumiai (koperasi pertanian), dan instansi pemerintah lainnya. Pengerahan bahan makanan ini dilakukan dengan cara penyerahan padi atau hasil panen lainnya kepada pemerintah. Dari jumlah hasil panen, rakyat hanya boleh memiliki 40%, 30% diserahkan kepada pemerintah, dan 30% lagi diserahkan lumbung untuk persediaan bibit. Setoran-setoran yang harus diserahkan rakyat kepada pemerintah Jepang, berlaku untuk semua lapisan masyarakat, termasuk kaum nelayan. Bagi nelayan, wajib menyetorkannya kepada kumiai perikanan.
Tindakan pemerintah ini menimbulkan kesengsaraan. Penebangan hutan (untuk pertanian) mneyebabkan bahaya banjir, penyerahan hasil panen dan romusa (kerja tanpa mendapat upah) menyebabkan rakyat kekurangan makan, kurang gizi, dan stamina menurun. Akibatnya, bahaya kelaparan melanda di berbagai daerah dan timbul berbagai penyakit serta angka kematian meningkat tajam. Bahkan, kekurangan sandang menyebabkan sebagian besar rakyat di desa-desa telah memakai pakaian dari karung goni atau "bagor", bahkan ada yang menggunakan lembaran karet.
3. Mobilitas Sosial
Di samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga manusia. Hal ini akan membawa dampak terhadap mobilitas sosial masyarakat Indonesia. Puluhan hingga ratusan ribu penduduk desa yang kuat diberi latihan kerja paksa (kinrohoshi), kemudian dikerahkan untuk romusa membangun sarana dan prasarana perang, seperti jalan raya, jembatan, lapangan udara, pelabuhan, benteng bawah tanah, dan sebagainya. Mereka dipaksa bekerja keras (romusa) sepanjang hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas. Akibatnya, banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal ditempat kerja.
Untuk mengerahkan tenaga kerja yang banyak, di tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai. Tugasnya menyiapkan tenaga sesuai dengan jatah yang ditetapkan. Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu maka Jepang menyebut para romusa dengan sebutan prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Menurut catatan sejarah, jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri seperti ke Burma, Malaya, Vietnam, dan Muangthai/Thailand mencapai 300.000 orang. Untuk membangun mentalitas, ditanamkan seiskin atau semangat serta bushido atau jalan ksatria yang berani mati, rela berkorban, siap menghadapi bahaya, dan menjunjung tinggi keperwiraan.
Pada bulan Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri atas 10-20 rumah tangga. Maksud diadakannya tonarigumi adalah untuk mengawasi penduduk, mengendalikan, dan memperlancar kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Dengan adanya perang yang makin mendesak maka tugas yang dilakukan Tonarigumi adalah mengadakan latihan tentang pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong, dan mata-mata musuh.
4. Birokrasi
Pada pertengahan tahun 1943, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka Jepang memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Untuk itu pada tanggal 5 September 1943, Jepang membentuk Badan Pertimbangan Karesidenan (Syu Sangi Kai) dan Badan Pertimbangan Kota Praja Istimewa (Syi Sangi In). Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan, seperti Prof. Dr. Husein Jayadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama (1 Oktober 1943) dan pada tanggal 10 November 1943, Sutardjo Kartohadikusumo dan R. M. T. A. Surio masing-masing diangkat menjadi Kepala Pemerintahan (Syikocan) di Jakarta dan Banjarnegara. Di samping itu, ada enam departemen (bu) dengan gelar sanyo, seperti berikut.
a. Ir. Soekarno, Departemen Urusan Umu (Somubu).
b. Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid, Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Dalam Negeri (Naimubu-Bunkyoku).
c. Dr. Mr. Supomo, Departemen Kehakiman (Shihobu).
d. Mochtar bin Prabu Mangkunegara, Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e. Mr. Muh. Yamin, Departemen Propaganda (Sendenbu).
f. Prawoto Sumodilogo, Departemen Ekonomi (Sangyobu).
Dengan demikian masa pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak sangat besar dalam birokrasi pemerintahan. Menurut Undang-Undang No. 27 tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintah Daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci/daerah istimewa, Surakarta dan Yogyakarta) dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
a. Syu (Karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
b. Syi (Kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
c. Ken (Kabupaten, dipimpin oleh seorang kenco.
d. Gun (Kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
e. Son (Kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
f. Ku (Kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.
Dalam menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawatan Cokan) yang terdiri dari tiga bu (bagian), yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu (bagian ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian).
5. Militer
Situasi Perang Asia Pasifik pada awal tahun 1943 mulai berubah. Sikap ofensif Jepang beralih ke defensif. Jepang menyadari bahwa untuk kepentingan perang perlu dukungan dari penduduk masing-masing daerah yang didudukinya. Itulah sebabnya, Jepang mulai membentuk kesatuan-kesatuan semimiliter dan militer untuk dididik dan dilatih secara intensif di bidang militer. Di Indonesia ada beberapa kesatuan pertahanan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti berikut.
a. Kesatuan Pertahanan Semi-militer
1) Seinendan (Barisan Pemuda)
Seinendan dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya terdiri atas para pemuda yang berusia antara 14-22 tahun. Mereka dididik militer agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, tujuan yang sebenarnya ialah mempersiapkan pemuda untuk dapat membantu Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu dalam Perang Asia Pasifik. Ada juga Iosyi Seinendan, yaitu barisan cadangan atau seinendan putri.
2) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
Keibodan dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya terdiri atas para pemuda yang berusia 26-35 tahun dengan tugas, seperti menjaga lalu lintas, pengamanan desa, dan lain-lain. Barisan ini di Sumatra disebut Bogodan, sedangkan di Kalimantan dikenal dengan nama Borneo Konan Hokokudan.
3) Fujinkai (Barisan Wanita)
Fujinkai dibentuk pada bulan Agustus 1943. Anggotanya terdiri atas para wanita berusia 15 tahun ke atas. Mereka juga diberikan latihan-latihan dasar militer dengan tugas untuk membantu Jepang dalam perang.
4) Jibakutai (Barisan Berani Mati)
Jibakutai dibentuk pada tanggal 8 Desember 1944. BArisan ini rupanya mendapatkan inspirasi dari pilot Kamikaze yang sanggup mengorbankan nyawanya dengan jalan menabrakkan pesawatnya kepada kapal perang musuh.
b. Kesatuan Pertahanan Militer
1) Heiho (Pembantu Prajurit Jepang)
Heiho adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Mereka yang diterima menjadi anggota adalah yang memenuhi syarat, antara lain berbadan sehat, berkelakuan baik, berpendidikan terendah SD, dan berumur 18-25 tahun. Mereka dilatih kemiliteran secara lengkap dan setelah lulus dimasukkan ke dalam kesatuan militer Jepang dan dikirim ke medan pertempuran, seperti ke Kepulauan Salomon, Burma, dan Malaya.
2) Peta (Pembela Tanah Air)
Peta dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, dengan tugas mempertahankan tanah air. Pembentukan Peta ini atas permohonan Gatot Mangkuprojo kepada Panglima Tertinggi Jepang Letjen Kumakichi Harada pada tanggal 7 September 1943. Untuk menjadi anggota Peta para pemuda dididik di bidang militer secara khusus di Tangerang, di bawah pimpinan Letnan Yamagawa. Untuk menjadi komandan Peta, mereka dididik secara khusus lewat Pendidikan Calon Perwira di Bogor. Dari pasukan Peta ini muncul tokoh-tokoh nasional yang militan, seperti Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Subroto, Jenderal Ahmad Yani, Supriyadi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar dalam bidang kemiliteran. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi, baik semimiliter maupun militer menjadi pemuda-pemuda yang terdidik dan terlatih dalam kemiliteran. Hal ini sangat penting artinya dalam perjuangan, baik untuk merebut kemerdekaan, maupun untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jabatan-jabatan militer yang dapat diperoleh setelah seseorang menamatkan pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.
b. Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
c. Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
d. Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang lulus sekolah dasar.
e. Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan pemuda yang masih setingkat sekolah dasar.
6. Pendidikan, Penggunaan Bahasa Indonesia, dan Kebudayaan
a. Pendidikan
Zaman pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan dratis, jika dibandingkan zaman Hindia Belanda. Jumlah sekolah dasar (SD) menurun dari 21.500 menjadi 13.500 dan sekolah menengah dari 850 menjadi 20. Melalui pendidikan dibentuk kader-kader untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan untuk keperluan Perang Asia Pasifik. Dasar pendidikan yang diarahkan pada kebudayaan Jepang, dapat dilihat pada berbagai tingkat pendidikan; yaitu setiap pagi dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo. Upacara pagi dengan pengibaran bendera Hinomaru dan membungkukkan badan sembilan puluh derajat untuk menghormati Kaisar Tenno Heika. Seterusnya diadakan upacara sumpah setia dalam memelihara semangat untuk mencapai cita-cita perang suci demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk mendukung ke arah sana, setiap anak harus kuat jasmaninya sehingga diadakanlah senam setiap pagi (taiso) dan kerja bakti (kinrohoshi). Kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan suasana perang, sehingga banyak nyanyian, semboyan, dan latihan-latihan yang dihubungkan dengan persiapan menghadapi perang.
Menurut Djohan Makmur, terjadinya penurunan jumlah sekolah, murid, dan guru disebabkan pada awalnya Jepang memiliki beberapa kesulitan yang perlu diatasi, lebih-lebih guru. Kesulitan mengenai guru karena pemerintah kolonial Belanda tidak mempersiapkan secara khusus guru-guru bumiputera untuk sekolah-sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas. Kesulitan lainnya ialah mengenai buku-buku pelajaran. Semua buku pelajaran ditulis dalam bahasa Belanda, sementara pemerintah pendudukan Jepang melarang pemakaiannya. Untuk itu, semua buku yang berbahasa Belanda diganti dengan buku-buku terjemahan yang dikeluarkan oleh Bunkyo Kyoku (Kantor Pengajaran). Bilamana buku-buku berbahasa Jepang atau terjemahannya tidak diterima maka para guru berusaha menerjemahkan dan menyusunnya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Di sinilah tanggung jawab yang besar dari para guru Indonesia yang menguasai Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai bahasa pengantar, tetapi juga sebagai bahasa ilmiah.
b. Penggunaan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Surat kabar dan radio juga menggunakan bahasa Indonesia sehingga mempercepat penyebarluasan Bahasa Indonesia. Begitu juga papan nama toko, nama rumah makan, perusahaan, dan sebagainya yang menggunakan bahasa Belanda harus diganti dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang. Dengan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi maka akan mempercepat dan mempertebal semangat kebangsaan menuju integrasi bangsa.
c. Kebudayaan
Bahasa Indonesia adalah salah satu unsur kebudayaan sehingga dengan digunakannya bahasa Indonesia secara luas akan mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia. Pada tanggal 20 Oktober 1943, atas desakan dari beberapa tokoh Indonesia didirikanlah Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia. Tugas Komisi adalah menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah modern dan menyusun suatu tata bahasa normatif dan menentukan kata-kata yang umum bagi bahasa Indonesia. Susunan Kepengurusan Komisi Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Ketua : Mori (Kepala kantor Pengajaran)
Wakil ketua : Iciki
Penulis : Mr. R. Suwandi
Penulis Ahli : Mr. S. Takdir Alisjabana
Anggota : Abas St. Pamuntjak, Mr. Amir Syarifuddin, Armien Pane
Di bidang sastra, pada zaman Jepang juga berkembang baik. Hasil karya sastra, seperti roman, sajak, lagu, lukisan, sandiwara, dan film. Agar hasil karya sastra tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta didirikan Pusat Kebudayaan dengan nama Keimin Bunko Shidosho.
Hasil karya sastra yang terbit, seperti Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar, Palawija karya Karim Halim, Angin Fuji karya Usmar Ismail. Gubahan untuk drama, seperti Api dan Cintra karya Usman Ismail; Topan di Atas Asia dan Intelek Istimewa karya El Hakim (dr. Abu Hanifah). Mengenai seni musik, komponis C. Simandjuntak berhasil menciptakan lagu Tumpah Darahku dan Maju Putra-Putri Indonesia.
D. Aktivitas Perjuangan dalam Mempersiapkan Kemerdekaan
1. Terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Sampai pertengahan tahun 1944, kedudukan Jepang dalam Perang Asia Pasifik sudah sangat terdesak. Di berbagai medan pertempuran, Jepang menderita kekalahan. Pada tanggal 7 September 1944 dalam sidang parlemen Jepang di Tokyo, Perdana Menteri Kuniaki Koiso (pengganti Tojo) memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari kepada rakyat Indonesia.
Pada tanggal 1 Maret 1945 penguasa pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, Letjen Kumakichi Harada mengumumkan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI = Dokuritsu Junbi Cosakai).
Ketua : dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat
Anggota : 60 orang
Tugas : Mempelajari dan menyelidiki berbagai hal penting yang menyangkut negara Indonesia merdeka.
Peresmian (pelantikan) baru dilangsungkan pada tanggal 28 Mei 1945 di Gedung Cuo Sangi In, Jakarta (sekarang Gedung Pancasila). Pelantikan itu dihadiri oleh seluruh anggota dan pembesar Jepang, yaitu Jenderal Itagaki dan Jenderal Yaiciro. Pada saat itu, bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera Hinomoru. Peristiwa tersebut telah membangkitkan semangat para anggota dalam usahanya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Selama BPUPKI dibentuk telah mengadakan dua kali sidang, yakni :
a. Masa Sidang Pertama (29 Mei - 1 Juni 1945)
Dalam sidang ini dibicarakan masalah dasar negara. Pada siang pertama, muncul tiga tokoh pembicara yang mengemukakan konsepnya. Mereka berturut-turut ialah Mr. Moh. Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. Moh. Yamin mengemukakan tentang asas dasar kesatuan negara Indonesia merdeka, yakni sebagai berikut.
1) Peri kebangsaan;
2) Peri kemanusiaan;
3) Peri ketuhanan;
4) Peri kerakyatan;
5) Kesejahteraan rakyat.
Pembicara kedua, Prof. Dr. Mr. Supomo yang tampil pada tanggal 31 Mei 1945 dan mengemukakan dasar negara untuk Indonesia merdeka sebagai berikut.
1) Paham negara kesatuan;
2) Perhubungan negara dan agama;
3) Sistem badan permusyawaratan;
4) Sosialisme Indonesia;
5) Hubungan antarbangsa.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno tampil berbicara tentang dasar negara Indonesia merdeka yang juga atas dasar lima dasar, yakni sebagai berikut.
1) Kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan;
3) Mufakat atau demokrasi;
4) Kesejahteraan sosial;
4) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima asas itu atas petunjuk seorang ahli bahasa oleh Ir. Soekarno diberi nama Pancasila, kemudian diusulkan menjadi dasar negara Indonesia.
Dalam masa sidang tersebut belum didapat kata sepakat mengenai dasar negara Indonesia. Sebelum persidangan pertama selesai, diadakan reses selama satu bulan lebih. Sebelum memasuki reses, Badan Penyelidik membentuk suatu panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang sehingga dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan, antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakar, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K. H. A. Wachid Hasyim, dan Mr. Moh. Yamin.
Panitia Sembilan diketuai oleh Ir. Soekarno. Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan asas dan tujuan terbentuknya negara Indonesia merdeka, akhirnya diterima dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Oleh Moh. Yamin rumusan Panitia Sembilan itu diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Di dalam Piagam Jakarta Aline ke-4 dirumuskan asas falsafah negara Indonesia Merdeka, yaitu sebagai berikut.
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Kemanusian yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah mengalami beberapa perubahan, terutama rumusan dasar negara (sila pertama). Pada awalnya berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Piagam Jakarta kemudian dijadikan Pembukaan UUD 1945.
b. Masa Sidang Kedua (10-17 Juli 1945)
Pada sidang kedua ini BPUPKI telah membentuk tiga buah panitia, yakni :
1) Panitia perancang UUD, yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
2) Panitia Ekonomi dan Keuangan, diketuai oleh Drs. Moh. Hatta.
3) Panitia Pembela Tanah Air yang diketuai oleh Abikusno Cokrosuyoso.
Dalam sidang yang kedua, BPUPKI akan membahas adalah Rancangan Undang-Undang Dasar. Mereka menyetujui bahwa naskah pembukaan UUD akan diambilkan dari naskah Piagam Jakarta. Panitian kemudian membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo untuk merumuskannya. Selanjutnya, pada tanggal 14 Juli 1945, Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil kepada sidang yang terdiri atas tiga hal berikut.
1) Pernyataan Indonesia merdeka;
2) Pembukaan Undang-Undang Dasar;
3) Batang tubuh Undang-Undang Dasar.
Sidang BPUPKI menerima bulat hasil kerja panitia. Dengan demikian, BPUPKI telah menyelesaikan tugasnya sehingga pada tanggal 7 Agustus 1945 dinyatakan bubar. Selanjutnya, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk melanjutkan tugas BPUPKI.
2. Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Sebagai pengganti BPUPKI yang telah menyelesaikan tugasnya maka pada tanggal 7 Agustus 1945 pemerintah Jepang membentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Iinkai. Tiga tokoh pemimpin nasional, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat berangkat ke Dalat (Vietnam Selatan) atas panggilan Jendral Terauchi. Panglima Tentara Jepang di Asia Tenggara. Dalam pertemuannya tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyampaikan kepada tiga pemimpin Indonesia tersebut bahwa pemerintah Kemaharajaan Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia (direncanakan 24 Agustus). Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda.
Anggota PPKI berjumlah 21 orang yang terdiri atas wakil-wakil dari seluruh Indonesia dengan rincian 12 orang wakil dari Jawa, 2 orang wakil dari Sumatera, 2 orang wakil dari Sulawesi, dan masing-masing seorang wakil dari Kalimantan, Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Maluku, dan penduduk Cina. Yang diangkat sebagai ketua adalah Ir. Seokarno, wakil ketua adalah Drs. Moh. Hatta, sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo diangkat sebagai penasihat. Oleh orang Indonesia sendiri, PPKI ditambah enam orang anggota lagi tanpa seizin pemerintah Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Rajiman Wedyodiningrat telah kembali di tanah air. Sementara itu, Jepang telah menyerah kepada Sekutu. PPKI dijadikan sebagai badan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Daftar Pustaka
Listiyani, Dwi Ari. (2009). Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
M., Tarunasena. (2009). Sejarah 2 SMA/MA Untuk Kelas XI Semester 1 dan 2 Program IPS. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Wardaya. (2009). Cakrawala Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
In this fashion my buddy Wesley Virgin's adventure begins with this SHOCKING and controversial video.
ReplyDeleteYou see, Wesley was in the army-and soon after leaving-he discovered hidden, "mind control" tactics that the government and others used to get whatever they want.
As it turns out, these are the exact same tactics lots of celebrities (notably those who "come out of nowhere") and the greatest business people used to become wealthy and successful.
You probably know how you use only 10% of your brain.
Mostly, that's because most of your BRAINPOWER is UNCONSCIOUS.
Perhaps that conversation has even taken place INSIDE your own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years ago, while driving a non-registered, garbage bucket of a car without a license and on his debit card.
"I'm very frustrated with living paycheck to paycheck! Why can't I become successful?"
You took part in those types of conversations, isn't it so?
Your very own success story is waiting to start. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.
Take Action Now!