Skip to main content

Perang Buleleng : Kronologi Melawan Kolonialisme Abad XIX di Bali


Perang Buleleng
1. Sebab-sebab Perang
Pada tahun 1841 dan 1843 ditandatangani perjanjian-perjanjian oleh Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Huskus Koopman dengan Raja-raja di Bali. (1841 dan 1843), kemudian disetujui dan disahkan oleh Gubernur Jenderal Pieter Merkus (1840-1844) pada akhir tahun 1843. Ketegangan terasa setelah kedua pejabat tinggi Pemerintah Hindia Belanda tersebut wafat (pertengahan tahun 1844), lalu diterimanya laporan di Batavia mengenai perampasan sebuah perahu Makasar yang berlayar dengan bendera Belanda di Sangsit (dekat Buleleng) dan dibunuhnya juragan perahu itu oleh penduduk. Selain itu, desa Perancak Jembrana yang termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Buleleng, sebuah perahu mayang dari Banyuwangi yang juga berlayar dengan bendera Belanda dirampas oleh penduduk disana, sesuai dengan peraturan adat Tawan Karang.
Gubernur Jenderal J. C. Reijnst (1844-1845) yang mengganti Pieter Merkus, menganggap peristiwa-peristiwa tersebut sebagai suatu pelanggaran terhadap kontrak yang ditandatangani oleh Raja Buleleng pada tanggal 8 Mei 1843. Oleh karena dalam kontrak 1843 itu sudah disetujui penghapusan hukum adat tawan karang. Oleh karena ternyata bahwa kontrak-kontrak dengan para raja di Bali belum diratifikasi oleh raja-raja tersebut maka Gubernur Jenderal Reijnst berpendapat harus segera diratifikasi. Sekaligus dilakukan pertukaran kontrak-kontrak yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dengan demikian persoalannya menjadi jelas.
Gubernur Jenderal Reijnst memerintahkan Asisten Residen Banyuwangi J. Ravia de Ligny pergi ke Buleleng dengan membawa surat untuk menyelesaikan pengesahan kontrak yang telah ditandatangani. Setelah itu mencari keterangan dan akhirnya menyelesaikan masalah perampasan perahu Makasar dan perahu Mayang oleh penduduk sekitar Sangsit dan Perancak. Untuk maksud itu, Ravia de Ligny berangkat ke Buleleng menumpang kapal perang Belanda “Jaung” pada awal bulan Oktober 1844 untuk mengadakan perundingan dengan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem.
Misi Asisten Residen Ravia de Ligny gagal bertemu dengan Raja. Maka kemudian diulangi lagi dengan memerintahkan Residen Besuki J. F. T. Mayor berangkat ke Buleleng untuk menemui Raja Buleleng menyelesaikan perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan tersebut.
Pada tanggal 5 Mei 1845 berlabuhlah kapal perang Belanda “Bromo” berbobot besar yang membawa Residen/Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor dan rombongan di Pabean Buleleng. Sesuai dengan ketentuan dalam kontrak yang telah ditandatangani pada tanggal 6 November 1841, maka di daratan dikibarkan bendera Belanda dan kemudian syahbandar datang ke Pelabuhan Buleleng menuju geladak kapal “Bromo”. Kepada syahbandar diberitahukan oleh Komisaris Pemerintah Mayor bahwa dia adalah utusan resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan mendapat tuga untuk menemui Raja Buleleng. Syahbandar diberi perintah untuk menyampaikannya kepada Raja dan minta keputusan raja kapan Komisaris Pemerintah dan rombongan dapat diterima. Pada tanggal 7 Mei 1845 syahbandar kembali ke kapal dan dipermaklumkan kepada Komisaris Pemerintah bahwa Raja Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima Komisaris Pemerintah pada tanggal 8 Mei 1843 (Ide. A. A. Gde Agung, 1989 : 215-218, Vlekke, 1961 : 453).
 Menurut laporan pandangan mata dari seorang anggota rombongan seperti dikutip, dinyatakan bahwa rombongan diterima oleh rakyat dengan sikap acuh tak acuh dan setibanya di muka istana tidak ada suatu tanda penghormatan seperti misalnya gamelan atau para pembesar kerajaan yang menerimanya. Pemerintahan Raja terhadap Komisaris Pemerintah dan rombongan memperlakukannya agak dingin dan tidak ramah. Perundingan tidak segera dimulai karena harus menunggu kedatangan Adipati Agung (Rijksbestuurder) Gusti Ketut Jelantik. Kemudian tiba Gusti Ketut Jelantik disertai oleh 300 pengiring yang ikut mendengarkan pembicaraan antara Komisaris Pemerintah, Raja Buleleng, dan Gusti Ketut Jelantik. (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 219-220).
Beberapa pokok yang dibicarakan tidak banyak menemui kesulitan. Mengenai perampasan perahu Mayang dan oleh penduduk di Perancak dan Raja bersedia akan membayar kerugian sebesar 600 sampai 800 ringgit dan kesediaan Raja untuk mengadakan tindakan terhadap tiap bentuk pembajakan laut serta penghapusan hukum adat “tawan karang”. Akan tetapi ketika pembicaraan menyinggung masalah pengakuan kedaulatan dan kekuasaan tertinggi Pemerintah Belanda sebagaimana tersurat dalam kontrak yang telah ditandatangani, bahwa raja menyatakan Kerajaan Buleleng adalah milik Pemerintah Hindia Belanda, saat itu pula, dengan tegas Gusti Ketut Jelantik menyatakan bahwa hal yang demikian belum pernah terjadi dan wilayah Kerajaan Buleleng adalah milik Raja. Sambil bicara dengan wajah murka dan sambil memukul dadanya dengan kepalan tangannya, Gusti Ketut Jelantik mengatakan dengan jelas bahwa hal yang demikian tidak akan pernah terjadi selama dia masih hidup. Apabaila dia telah meninggal dunia, raja dapat berbuat sebagaimana hendaknya. Orang tidak dapat menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, dan hal yang demikian hanya dapat dilaksanakan apabila telah diputuskan oleh ujung keris. Kata-kata yang diucapkan oleh Gusti Ketut Jelantik dengan lantang dan keras didengar oleh semua yang hadir dan menimbulkan kegaduhan.
Setelah kegaduhan mulai reda, Komisaris Pemerintah Mayor menyampaikan himbauan kepada Raja dan Gusti Ketut Jelantik untuk mengulangi pembicaraan setelah semua pihak sabar kembali dan tenang. Himbauan tidak mendapat tanggapan dari Raja dan Gusti Ketut Jelantik. Keduanya diam saja. Oleh karena itu Komisaris Pemerintah memberi perintah kepada jurubahasa untuk menyampaikan kepada Raja bahwa dia akan mengundurkan diri (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 220-221).
Dari ucapan Adipati Agung (Patih) Gusti Ketut Jelantik yang menyanggah dengan tegas penandatanganan kontrak perjanjian tahun 1841 dan tahun 1843 terbukti bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar mengenai tafsiran kalimat “Raja Buleleng mengakui kerajaannya adalah milik Pemerintah Hindia Belanda”. Demikian pula Raja-raja Bali lainnya yang ikut menandatangani perjanjian yang hampir sama bunyinya dengan Komisaris Pemerintah H. J. Huskus Koopman memang tidak memberi tafsiran yang lain kepada kalimat tersebut melainkan sebagai suatu susunan kata yang hanya menggambarkan suatu hubungan persahabatan. Mungkin Huskus Koopman dalam lubuk hatinya demikian pula alasannya Gubernur Jenderal P. Merkus sudah yakin sejak semula bahwa kalimat itu memang berarti politis. Namun oleh Raja-raja di Bali menafsirkannya hanya suatu ekspresi kehormatan belaka antara dua kerajaan yang bersahabat tanpa ada konsekuensi politiknya (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 223).
Perutusan Residen/Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor gagal total untuk mendapatkan ratifikasi atas kontrak-kontrak yang telah ditandatangani dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Made Karangasem. Oleh karena itu tidak dapat dicegah bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan memaksakan kemauannya dengan suatu tindakan militer terhadap Kerajaan Buleleng. Hal yang demikian diinsafi benar-benar oleh Gusti Ketut Jelantik. Sesudah Komisaris Pemerintah berangkat, maka kerajaan dan rakyat Buleleng disiapkan untuk menghadapi kemungkinan serangan militer pihak Belanda. Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor juga sadar bahwa satu-satunya tindakan yang dapat diambil oleh Gubernur Jenderal atas kegagalan memperoleh ratifikasi kontrak-kontrak tersebut adalah tindakan militer terhadap Kerajaan Buleleng.
Oleh karena itu Mayor memerintahkan kepada Letnan Von Stampa dan perwira angkatan laut kapal perang “Bromo” untuk menyelesaikan tugasnya secara teliti membuat peta pantai Buleleng dan pelabuhan serta daerah sekitarnya yang mungkin sangat berguna untuk mendaratkan pasukan jika diambil tindakan militer. Pada tanggal 10 Mei 1845 kapal perang “Bromo” meninggalkan pelabuhan Buleleng untuk bertolak ke Banyuwangi. Kegagalan perutusan Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor itu membuka babak baru dalam hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Raja-raja di Bali. Terjadi konstelasi politik baru pula di Bali (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 225).
Gubernur Jenderal J. J. C. Reinjst karena masa jabatannya selesai, digantikan oleh Gubernur Jenderal J. J. Rochussen (1845-1851), yang selanjutnya mempersiapkan segala upaya penyelesaian konflik dengan Raja Buleleng (Vlekke, 1961). Sebaliknya, dipihak Kerajaan Buleleng, Patih Gusti Ketut Jelantik telah merancang siasat pertahanan dan peperangan terhadap Belanda. Dia memerintahkan kepada rakyat di pantai Buleleng membangun kubu pertahanan untuk menghalangi pendaratan militer Belanda. Kedua belah pihak sejak kegagalan perundingan tanggal 8 Mei 1845 bersiap-siap menghadapi suatu peperangan. Sikap bermusuhan Pemerintahan Hindia Belanda bukan saja ditujukan kepada Kerajaan Buleleng, melainkan juga kepada Kerajaan Karangasem. Dapat dimengerti bahwa hubungan antara Kerajaan Buleleng dan Karangasem erat karena Raja Buleleng Gusti Made Karangasem adalah saudara Raja Karangasem Gusti Gde Ngurah Karangasem. Selain itu, ketika perundingan berlangsung di keraton Buleleng, pada bulan Mei 1845, terjadi pula karamnya sebuah kapal dagang Belanda “Atut Rahman” di pantai Desa Karanganyar. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk sesuai ketentuan hukum adat “tawan karang” (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 227-228). Pemerintah Hindia Belanda mengadakan protes keras kepada Raja Karangasem dan menuntut ganti rugi. Raja Karangasem tidak bersedia memenuhi tuntutan pihak Pemerintah Hindia Belanda karena perasaan solider terhadap Kerajaan Buleleng. Raja Karangasem juga tidak bersedia melaksanakan pengesahan kontrak tahun 1841 dan 1843.
Berdasarkan atas dua alasan tersebut Pemerintah Hindia Belanda memperlakukan Kerajaan Karangasem sama dengan Kerajaan Buleleng dan kedua-duanya sebagai musuh yang harus diserang agar kedua kerajaan mengakui kedaulatan dan kekuasaan tertinggi Pemerintah Belanda (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 229). Timbul pertanyaan bagaimana sikap-sikap Raja-raja lain di Bali merespons ketegangan yang terjadi?
Untuk mengetahui situasi ini dapat diketahui dari surat menyurat dan surat keputusan pemerintah sezaman seperti dikutip Ide A. A. Gde Agung. Dalam surat keputusan pemerintah dinyatakan bahwa Dewa Agung di Klungkung “yang menyatakan berkuasa di Pulau Bali dan Lombok”, dengan surat 26 Mei 1845 menanyakan kepada Gubernur Jenderal mengapa Komisaris Pemerintah yang berunding dengan Raja Buleleng tidak menghadap Dewa Agung di Klungkung. Gubernur Jenderal menjawab bahwa kunjungan Komisaris Pemerintah itu hanya bertujuan untuk meratifikasi perjanjian yang telah ditandatangani oleh Raja Buleleng. Oleh karena masalah ini tidak dapat diselesaikan maka Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengangkat senjata terhadap Kerajaan Buleleng. Dengan Kerajaan Klungkung tidak terjadi masalah maka tidak perlu mengirim utusan ke Klungkung (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 229-230).
Ternyata, dengan tekanan politik Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil merubah sikap keras Raja Buleleng dan Patihnya Gusti Ketut Jelantik untuk tunduk kepada tuntutan Belanda. Maka Menteri Negara Jajahan memutuskan serangan militer terhadap Kerajaan Buleleng dan Karangasem berdasarkan surat keputusan tanggal 6 Februari 1846. Dalam pertimbangan diterbitkannya surat keputusan ini dapat diketahui konstelasi politik yang terjadi di Bali sebelum aksi militer dilancarkan.
Selain masalah “tawan karang” dan ketidaksanggupan Dewa Agung di Klungkung mendamaikan persengkataan, maka dilengkapi pula laporan Residen Besuki dan laporan Mads J. Lange, seorang pedagang asing yang mendukung Pemerintah Belanda. Dilaporkan bahwa Kerajaan Buleleng telah menyerang daerah Payangan di Gianyar dan menaklukannya kemudian akan melanjutkan menyerang Kerajaan Bangli. Mads Lange juga melaporkan bahwa dikandung maksud oleh Kerajaan Buleleng dan Karangasem untuk kemudian bersama-sama mengadakan serangan terhadap semua kerajaan di Bali di bawah kekuasaan Buleleng dan Karangasem, serta semua pengaruh bangsa Eropa akan terhapus di Bali.
Berdasarkan keadaan di atas, maka Gubernur Jenderal J. J. Rochussen berdasarkan keputusannya menyampaikan surat kepada Dewa Agung di Klungkung, Raja Badung, Tabanan dan Raja Selaparang di Mataram-Lombok untuk memberitahukan keputusan pemerintahnya melancarkan aksi militer terhadap Kerajaan Buleleng dan Karangasem (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 233-234). Sebelum dipergunakan senjata untuk mencapai tujuannya maka Gubernur Jenderal memberi kesempatan terakhir kepada Raja Karangasem untuk menghindarkan malapetaka yang akan menimpa dirinya, keluarganya, rakyatnya, dan warga asing yang bermukin di dalam kerajaannya. Diharapkan untuk mempertimbangkan menerima tanpa syarat kondisi sebagai berikut.
1. Bahwa dalam waktu 3x24 jam perjanjian baru yang dilampirkan ada maklumat ini harus ditandatangani dengan syarat Raja harus mengakui kekuasaan tertinggi Pemerintah Hindia Belanda, menghapus hukum “tawan karang”, berjanji untuk mencegah pembajakan laut, menghapus perbudakan dan melindungi perdagangan.
2. Bahwa Raja berjanji akan membayar ekspedisi militer, dapat dilakukan tiap-tiap tahun dalam mata uang atau dengan hasil bumi Bali yang kemudian akan dimufakati.
3. Bahwa di wilayah kerajaannya akan ditempatkan tentara pendudukan Belanda sementara belum dapat diselesaikan pembayaran hutang perang sebagaimana dalam ayat 2, dan pembiayaan tentara pendudukan akan menjadi tanggungjawabnya.
Pada tanggal 17 Februari 1846, Gubernur Jenderal mengeluarkan keputusan tentang petunjuk pelaksanaan aksi militer terhadap Buleleng dan Karangasem. Diputuskan agar Angkatan Perang Belanda yang ditugaskan untuk melaksanakan ekspedisi militer itu, selambat-lambatnya pada pertengahan bulan April sudah siap bertolak dari Batavia dan sebelum menuju pulau Bali berkumpul di pelabuhan Surabaya (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 239-240).
SK Gubernur Jenderal J. J. Rochussen tanggal 23 Februari 1846 menunjuk pula H. H. F. Friederich, seorang ilmuwan bidang agama dan kebudayaan timur (orientalist) untuk ikut serta dalam ekspedisi militer itu. Diberi tugas mengumpulkan barang-barang rampasan yang dapat diketemukan di keraton Buleleng atau Karangasem untuk kemudian diangkut ke Jawa. Bagaimana reaksi raja-raja di Bali terhadap aksi militer yang akan dilaksanakan?
Menurut laporan Wakil Pemerintah Hindia Belanda untuk Bali, Mads Lange tanggal 15 April 1846 menerangkan bahwa Dewa Agung di Klungkung menyampaikan surat kepada semua raja di Bali untuk mengadakan perlawanan terhadap serangan militer Belanda terhadap Buleleng dan Karangasem. Mads Lange juga melaporkan bahwa dia hadir dalam musyawarah antara Raja-raja Badung, yaitu : I Gusti Ngurah Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan dan Gusti Gde Ngurah Denpasar pada tanggal 13 April 1846. Raja Kesiman menghendaki agar Dewa Agung mau berdamai. Oleh karena itu, ketiga raja di Badung akan mengambil sikap tidak memihak. Raja Tabanan juga bersikap sama dengan Raja Badung. Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban tetap setia bersahabat dengan Pemerintah Belanda. Raja Mengwi Gusti Agung Ketut tidak dapat menuruti dorongan Dewa Agung di Klungkung karena ketegangan hubungan antara kerajaan Mengwi dan Tabanan. Raja Gianyar, Dewa Manggis mendukung ajakan Dewa Agung di Klungkung dan membangun benteng pertahanan membantu Buleleng. Dapat dikatakan bahwa sikap Raja-raja di Bali pada waktu itu sangat terpecah belah sikapnya menghadapi Belanda (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 244-246).
Dalam masyarakat feodal tradisional seperti di Bali pada abad ke-19, rakyat tidak mempunyai hak bersuara dan tidak punya pengaruh politik atas jalannya pemerintahan. Yang berkuasa adlaah raja bersama para pembesar kerajaan. Mereka merupakan elit bangsawan yang menentukan nasib rakyat. Rakyat harus patuh terhadap segala perintah dari para elit yang berkuasa. Peperangan ke peperangan antar kerajaan di Bali ikut memperparah penderitaan rakyat karena rakyatlah yang dimobilisasi menjadi laskar kerajaan untuk berperang. Akibatnya sawah ladang mereka tidak dapat dikerjakan dan sering terjadi kelaparan. Perang antara Buleleng dengan Payangan, Gianyar dengan Bangli, Tabanan dengan Mengwi, Badung dengan Mengwi adalah contoh-contoh realitas yang terjadi abad ke-19. Peperangan yang terus menerus antara kerajaan-kerajaan di Bali sangat memperlemah kedudukan pihak kerajaan menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda (Utrecht, 1962 : 100-101). Dalam kondisi terpecah belah itulah Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militernya yang pertama untuk menghancurkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem.
Jumlah pasukan Belanda yang dikerahkan kurang lebih 3.500 personal pasukan dari berbagai jenis angkatan dengan persenjataan yang modern dan dalam jumlah besar. Inti pasukan terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut sebagai unit-unit yang terlatih baik. Selain itu tersedia juga kapal-kapal perang dalam jumlah besar dilengkapi meriam dari laut dapat menggempur obyek-obyek pertahanan di pantai atau posisi laskar Buleleng. Raja Selaparang Lombok, Gusti Ngurah Ketut Karangasem mengirim bantuan kepada Pemerintah Hindia Belanda (Nijpels, 1897; Gde Agung, 1989 : 249-250).
Sebaliknya, di pantai Buleleng oleh Gusti Ketut Jelantik telah diperintahkan untuk membangun kubu-kubu pertahanan berupa tembok yang dibangun dari batu karang dan batu berlubang-lubang dan dari lubang itu senapan dapat ditembakkan. Sementara itu, laskar Kerajaan Karangasem dalam jumlah besar sudah berhasil dipindahkan ke Buleleng dan kepada rakyat Buleleng sudah diperintahkan untuk bersiap menghadapi musuh. Persenjataan laskar Buleleng dan Karangasem terdiri dari beberapa senjata api dan juga meriam dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh pihak Belanda. Persenjataan laskar rakyat ini pada umumnya berupa tombak dan keris.
Sebagai seorang patih Gusti Ketut Jelantik mempunyai jiwa berani, pemersatu, Gusti Ketut Jelantik melakukan penaklukan ke desa-desa di pegunungan Bangli terutama desa Payangan. Untuk mempersatukan Kerajaan Buleleng dia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap rakyatnya sendiri maupun terhadap orang-orang asing, Dia mempersatukan dan memimpin rakyat Buleleng untuk melawan Belanda. Rakyat Buleleng bersatu bersama-sama megikuti jejak patihnya melawan dan mengusir penjajah Belanda. Buleleng, Singaraja dan Jagaraga menjadi gelanggang perang (Sartono Kartodirdjo, ed., 1973 : 206-208).

2. Perang Buleleng Dimulai
Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem (1843-1846) dan patihnya Gusti Ketut Jelantik tahu bahwa Belanda akan menyerang. Segala keperluan perang sudah disiapkan. Tanah-tanah datar hanya terdapat di sepanjang pantai, sedang makin ke selatan terbentang dataran luas dan bukit-bukit. Lubang-lubang perlindungan dibuat, benteng-benteng diperkuat di pusat pertahanan di Buleleng dan Singaraja. Untuk menghambat pendaratan pasukan Belanda di sepanjang pantai Buleleng digali parit-parit dan di belakangnya ditanam pagar-pagar bambu berduri. Selain itu masih dengan dinding tanah liat setinggi 2 meter dan setebal 3 meter. Sepanjang dinding itu dibuat lubang-lubang penembak. Dinding yang tebal dan tinggi ini sanggup menahan tembakan peluru dari jarak 20 meter. Jumlah penduduk Buleleng 4.000 orang, terdiri dari orang-orang Bali, Bugis, Melayu, dan Cina, dikerahkan untuk membuat pertahanan, Raja Klungkung dan Karangasem turut membantu dan memperkuat pertahanan (Sartono Kartodirdjo, ed., 1973 : 214).
Pada pertengahan bulan Juni 1846 armada Belanda yang mengangkut pasukan ekspedisi sudah siap berkumpul di Besuki. Pada tanggal 20-21 Juni 1846 armada tersebut dengan semua pasukan berlayar menuju pantai Buleleng dan sampai pada tanggal 26 Juni 1846. Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor disertai oleh Panglima Pasukan ekspedisi Letnan Kolonel G. Bakher membawa ultimatum Gubernur Jenderal J. J. Rochussen kepada syahbandar Buleleng pada tanggal 24 Juni 1846 untuk diserahkan kepada Raja Buleleng sebelum armada invasi tiba. Selanjutnya Raja Buleleng mengajukan saran bahwa dia bermaksud mengirim utusan ke Batavia untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Gubernur Jenderal J. J. Rochussen. Saran tersebut ditolak juga oleh Komisaris Pemerintah Mayor dengan penegasan bahwa batas waktu untuk memberi jawaban sesuai ultimatum berakhir pada tanggal 27 Juni 1846 (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 252-253; Sartono Kartodirdjo, 1973 : 215). Dengan demikian, upaya menghindarkan perang, menemui jalan buntu.
Pada tanggal 28 Juni 1846 dini hari pasukan Belanda didaratkan di sebelah timur, di sebuah sawah desa Buleleng. Meriam-meriam kapal perang memuntahkan peluru dari pantai untuk menghancurkan pertahanan dan konsentrasi laskar Bali. Serangan pasukan pendaratan itu mendapat perlawanan hebat dari laskar Bali. Siasat panglima tentara Belanda menyerang desa Buleleng dari belakang melalui Kampung Jawa ternyata mendapat perlawanan hebat sehingga jatuh korban. Diakui pihak Belanda bahwa perlawanan laskar Bali sangat mengesankan dan hebat sehingga babak pertama pertempuran untuk menguasai Buleleng sama sekali tidak menguntungkan angkatan perang Belanda. Diperintahkan untuk mundur agar dapat diadakan pemusatan pasukan lagi untuk mengadakan serangan baru. Panglima Tentara Belanda memerintahkan untuk membakar sebagian dari desa Buleleng agar laskar Bali yang bersembunyi disana keluar. Ketika hal ini terjadi dan laskar Bali keluar desa maka meriam-meriam kapal yang ditempatkan di pantai memuntahkan peluru pada laskar yang berhamburan itu.
Dari kalangan laskar Bali jatuh korban lebih dari 100 orang, sedangkan di pihak Belanda jatuh korban seorang perwira, 9 orang bintara, dan prajurit. Luka-luka dua perwira, 49 bintara, dan prajurit. Setelah pasukan pendaratan diberi istirahat pada tanggal 28 Juni 1846 maka ditentukan oleh panglima bahwa esok harinya pasukan pendaratan akan bergerak ke Singaraja dan menguasai kota itu (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 253-254; Nijpels, 1897 : 11-13).
Atas penguasaan puri dan kota Singaraja, Raja Buleleng serta keluarganya mengungsi ke desa Jagaraga bersama-sama Raja Karangasem. Desa Jagaraga terletak sekitar sembilan kilometer di sebelah timur Singaraja. Sementara itu Gusti Jelantik masih memimpin pertempuran bersama seorang Brahmana Ida Bagus Tamu. Oleh karena kepungan pasukan Belanda akhirnya Gusti Jelantik juga mundur sampai di desa Jagaraga. Di tempat inilah dibangun tempat-tempat pertahanan bersama penduduk desa untuk menyusun kekuatan kembali. Laskar Bali mengakui keunggulan serdadu-serdadu Belanda.
Untuk mengatasi keadaan sulit itu, Komisaris Pemerintah Mayor meminta pula bantuan G. P. King yang turut serta dalam ekspedisi militer itu untuk pergi ke Jagaraga menemui kedua raja dan mengundang mereka untuk bertolak ke Singaraja guna mengadakan perundingan. King bersedia membantu dan berhasil karena pada tanggal 5 Juli 1846 Raja Karangasem tiba di Singaraja. Kemudian juga Raja Buleleng tiba pada tanggal 9 Juli 1846. Keduanya bersedia mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah Mayor untuk menyelesaikan masalah politik dan perang. Akan tetapi Patih Gusti Jelantik tidak menyertai kedua raja untuk berunding (Nijpels, 1897 : 39-41; Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 255). Meski perang Buleleng berhasil mengusir raja dari istana, namun perlawanan belum berhenti. Raja Buleleng dan patih Jelantik mengambil langkah mundur dan bertahan di desa Jagaraga. Pada tanggal 9 Agustus 1846, ditentukan bahwa perampasan perang yang harus dibayar oleh Raja Buleleng dan Karangasem berjumlah ƒ 300.000 dengan rincian ƒ 225.000 menjadi tanggungjawab Raja Buleleng dan sisanya ƒ 75.000 harus dibayar oleh Raja Karangasem. Pampasan perang tersebut harus sudah lunas dibayar dalam tempo sepuluh tahun (Ide A. A. Gde Agung, 1989 : 262-263). Tuntutan itu tampak membuat Patih Jelantik merasa lebih terhina, dan mendorongnya untuk terus melakukan perlawanan.



Daftar Pustaka :
Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A. A. Bagus Wirawan. 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana University Press.

Comments

Iklan Ad

Popular posts from this blog

Menghitung Persediaan dengan Metode LCNRV (Lower-Cost-Net-Realizable-Value)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA PEROLEHAN ATAU NILAI REALISASI NETO (LCNRV) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan. Namun, jika persediaan turun nilainya sampai ke tingkat di bawah biaya aslinya, maka prinsip biaya historis menjadi tidak relevan. Apapun alasan untuk penurunan nilai tersebut, baik itu usang, perubahan tingkat harga, atau rusak, perusahaan harus menurunkan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto untuk melaporkan kerugian ini. Perusahaan meninggalkan prinsip biaya historis ketika utilitas masa depan (kemampuan menghasilkan pendapatan) dari aset turun di bawah biaya aslinya. Nilai Realisasi Neto Ingat bahwa biaya adalah harga perolehan persediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu metode berbasis biaya historis. Nilai realisasi neto ( net realizable value /NRV) mengacu pada jumlah neto yang diharapkan oleh perusahaan untuk direalisasi dari penjualan persediaan. Secara khusus, nilai realisasi neto adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan bisnis bi...

Urbanisasi Sebagai Dampak Globalisasi Terhadap Perubahan Sosial di Komunitas Lokal

A.  LATAR BELAKANG Globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.  Masyarakat dapat menjangkau satu dengan yang lain dalam segala aspek kehidupan didukung oleh kemajuan IPTEK dan keterbukaan sistem perekonomian negara yang mempercepat akselerasi globalisasi. Keterbukaan sistem perekonomian negara dipicu oleh adanya liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini mengakibatkan masyarakat di berbagai dunia dapat menikmati hasil produksi dari negara lain, seperti makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, keterbukaan sistem perekonomian ini juga meningkatkan aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan multinasional. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia merasakan dampak dari adanya globalisasi pada aspek ekonomi tersebut, baik dari segi produksi, pembiayaan, te...

Soal Latihan Piutang Dagang (Account Receivable) dan Kunci Jawaban

1. Pada akhir tahun 2017, Goblin Company memiliki piutang sebesar $700.000 dan cadangan kerugian piutang sebesar $54.000. Pada 24 Januari 2018, perusahaan mengetahui bahwa piutang dari Sun Company tidak dapat ditagih, dan pihak manajemen mengizinkan penghapusan sebesar $6.200. a. Buatlah jurnal penyesuaian untuk mencatat penghapusan piutang b. Berapa cash realizable value dari piutang (1) sebelum penghapusan dan (2) setelah penghapusan? 2. Buku besar perusahaan Tsubasa pada akhir tahun 2019 menunjukkan saldo piutang usaha $150.000, pendapatan penjualan $850.000, dan retur penjualan $30.000. Intruksi (a) Jika perusahaan Tsubasa menggunakan metode penghapusan piutang langsung untuk akun piutang tidak tertagih, buatlah jurnal penyesuaian pada 31 Desember 2019, dengan asumsi pihak manajer menentukan saldo piutang tidak tertagih sebesar $1.500. (b) Jika cadangan piutang tak tertagih memiliki saldo kredit sebesar $2.400 dalam neraca saldo, buatlah jurnal penyesuaian pada tanggal...