Reformasi dimulai di Jerman mengakibatkan terjadinya perpecahan atau skisma baru dalam Gereja setelah perpecahan antara Gereja Timur dan Barat pada tahun 1054. Melihat data sejarah, perpecahan seperti ini sebetulnya bukan tujuan Luther. Ia hanya menuntut reformasi (dan karena itu disebut reformator) bukan mendirikan Gereja sendiri dan memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Resistensi atau perlawanan yang kuat dari Gereja Katolik Roma (yang menganggap dalil-dalil dan ajaran Luther sesat) menanggapi tuntutan perubahan, kemudian mendorong para pengikut Luther mendirikan Gereja sendiri terlepas dari Gereja Katolik Roma. Itulah Protestanisme.
B. Menguatnya Negara dan Pemerintahan Sekuler
Salah satu gagasan pokok Reformasi Martin Luther adalah menggugat kedudukan Paus sebagai penguasa sekuler. Melalui Kekaisaran Romawi Suci, Paus membawahkan kaisar dan raja-raja vassal-nya di Eropa. Menurut Luther, Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler menurut prinsip-prinsip kenegaraan yang berdasarkan nasionalisme.
Karena gagasan ini pulalah, Luther memperoleh dukungan luas dari para penguasa lokal dan bangsawan. Bahkan, Luther menghendaki adanya pemisahan yang jelas antara negara dan agama. Gagasan ini setelah Reformasi kelak melahirkan federalisme, nasionalisme, dan separatisme yang mengakibatkan Kekaisaran Romawi Suci yang dikepalai oleh Paus dan dijalankan oleh kaisar runtuh perlahan-lahan dari panggung Eropa. Eropa yang selama 7 abad (sejak tahun 800) menjadi sebuah entitas politik dengan Katolik Roma sebagai pusatnya, mulai mengalami disintegrasi politik yang terpecah-pecah ke dalam unit-unit negara yang otonom. Sebagai akibat lanjutnya, Gereja di negara-negara yang telah merdeka dari otoritas kepausan itu menjadi subordinasi dan bagian integral negara.
C. Lahirnya Gereja Anglikan (Anglikanisme)
Reformasi Inggris adalah serangkaian peristiwa di Inggris pada abad ke-16 ketika Gereja Inggris memisahkan diri dari pemerintahan Paus dan Gereja Katolik Roma. Reformasi di Inggris pada awalnya lebih berupa masalah politik ketimbang masalah teologi. Sampai saat ini, teologi Gereja Anglikan dan Gereja Katolik Roma mirip.
Berawal dari kekesalannya terhadap Gereja Katolik Roma karena tidak bersedia membatalkan pernikahannya, Henry VIII kemudian memutuskan hubungan dengan Roma dan mendirikan Gereja sendiri, Gereja Anglikan, dengan dirinya sendiri sebagai kepalanya.
Meskipun demikian, Reformasi di Inggris tidak terlepas dari keberhasilan Reformasi yang terjadi di Jerman. Keberhasilan Reformasi di Jerman ditandai dengan keberanian untuk melawan otoritas kepausan serta terciptanya negara sekuler yang lepas dari intervensi kepausan. Hal ini ikut mempengaruhi Inggris juga. Hal itu tidak terlepas dari kemajuan mesin cetak yang membuat gagasan-gagasan Reformasi Jerman dengan mudah sampai ke Inggris. Konon, buku-buku berisi gagasan-gagasan Luther tersebar dengan cepat ke Inggris oleh para pedagang (merchants) dan petualang (travellers).
Alkisah, pada akhir 1520-an, Henry ingin pernikahannya dengan Catharina dibatalkan. Pernikahannya dengan Catharina tidak menghasilkan keturunan lelaki, sedangkan Henry menginginkan seorang putra sebagai ahli waris Dinasti Tudor. Henry yang semakin tergoda oleh kecantikan Anne Boleyn, seorang putri bangsawan, semakin bertekad untuk berpisah dengan Catharina. Pada tahun 1529, Penasihatnya, Kardinal Thomas Wolsey, menuduhnya telah mengkhianati gereja dengan mendahulukan kepentingan kerajaan daripada kepentingan kepausan. Namun, keputusan Henry sudah bulat. Ia kemudian mengumpulkan dukungan untuk memisahkan diri dari Roma. Setelah nekat menikahi Anna Boleyn pada tahun 1533, Henry secara resmi menyatakan Gereja Inggris berdiri sendiri lepas dari Roma pada tahun 1534. Selanjutnya, raja Inggris berperan sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama.
D. Reformasi dan Demokrasi
Gagasan inti lain dari Reformasi Protestan adalah kebebasan individu atau suara hati kesetaraan (egalitarianism). Alasan protes para pengikut Luther pada tahun 1529, konsep Luther terhadap kebebasan setiap individu untuk menafsirkan Kitab Suci, serta penolakan Luther atas otoritas Paus termasuk atas kekuasaan sekuler ini kemudian dipertegas lagi dalam gagasan Lutheranism yang menyatakan bahwa otoritas pemerintah bergantung pada persetujuan dari orang-orang yang diperintah melalui proses yang dalam istilah Lutheran disebut covenant. Mengikuti Perjanjian Lama (Kitab Taurat), Luther mengatakan, "Sebagaimana hubungan antara Tuhan dan manusia terjadi melalui kehendak bebas manusia dalam suatu perjanjian (covenant), demikian juga hubungan antara pemerintah dan rakyatnya."
Keduanya merupakan gagasan dasar dari demokrasi modern yang dirumuskan secara resmi dalam Revolusi Amerika 250 tahun kemudian. Perjuangan untuk kesetaraan tampak jelas dari kritik tajam Luther terhadap hierarki Gereja. Ia mengatakan setiap orang Kristen adalah manusia yang bebas sejak dilahirkan. Kebebasan suara hati sangat ditekankan dalam Lutheranisme. Kebebasan individu itu juga dipraktikkan dalam penafsiran terhadap Kitab Suci. Menurut Luther, setiap individu memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan Kitab Suci. Pada Abad Pertengahan, kuasa untuk membaca dan menafsirkan Kitab Suci ada di tangan para klerus. Tidak bisa dimungkiri bahwa gagasan-gagasan ini juga merupakan produk Renaisans.
E. Reformasi, Perang 30 Tahun, dan Kebebasan Beragama
Reformasi juga membawa akibat yang tidak diharapkan : kaum Katolik dan Protestan berperang satu sama lain, dalam apa yang disebut Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Perang tersebut terutama terjadi di Jerman dan Inggris. Meskipun demikian, perang ini juga terjadi tidak hanya karena alasan keagamaan, tetapi juga karena persaingan antara Dinasti Habsburg dan Dinasti Valois di Prancis, yang mengakibatkan Perang Habsburg-Valois. Hal ini dapat terlihat dari fakta kaum Katolik Prancis mendukung pihak Protestan di Jerman. Perang Tiga Puluh Tahun mengakibatkan musibah kelaparan dan wabah penyakit yang sangat mengerikan.
Perang ini diakhiri dengan Perjanjian Perdamaian Westphalia pada tahun 1648. Isi penting perjanjian adalah sebagai berikut.
(1) Adanya pengakuan atas kedaulatan tiap-tiap negara atau kekuasaan nasional. Dengan kata lain, perjanjian ini meletakkan dasar penentuan nasib sendiri suatu bangsa.
(2) Adanya pengakuan atas kebebasan beragama di tiap-tiap negara. Umat Protestan dan Katolik dinyatakan setara di hadapan hukum dan aliran Protestan yang bernama Calvinisme diberikan pengakuan resmi.
(3) Adanya pengakuan atas prinsip cuius regio, eius religio, yang berarti tiap negara yang berdaulat itu memutuskan sendiri agama resmi mereka. Pilihannya adalah Katolisisme, Lutheranisme, dan Calvinisme. Orang yang menganut keyakinan di luat ketiga denominasi itu juga diberi kebebasan untuk menjalankan keyakinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hapsari, Ratna dan M. Adil. 2014. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : Erlangga.
Comments
Post a Comment