Skip to main content

Sejarah Merkantilisme

Pengertian Merkantilisme
Merkantilisme (Inggris :merchant yang berarti 'pedagang') adalah nama yang diberikan untuk suatu aliran dan praktik ekonomi yang berlangsung selama 250 tahun (antara tahun 1500 dan 1750). Merkantilisme menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang dimiliki serta besarnya volume perdagangan global suatu negara. Aset ekonomi atau modal negara itu adalah jumlah mineral berharga berupa emas, perak, dan komoditas lainnya yang dimiliki oleh negara. Modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan sedapat mungkin mencegah impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain selalu surplus.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan merkantilisme mengambil banyak bentuk. Di dalam negeri, pemerintah mendorong ekspor dengan memberikan modal untuk industri-industri baru, membebaskan industri-industri baru dari pajak, membangun monopoli atas pasar lokal dan kolonial, dan memberikan jaminan hak dan pensiun kepada produsen yang sukses. Dalam kebijakan perdagangan, pemerintah membantu industri lokal dengan memberlakukan tarif, kuota, dan larangan impor barang yang bersaing dengan produsen lokal, suatu kebijakan yang lazim disebut dengan proteksionisme. Upaya mengurangi impor, misalnya, dilakukan dengan memberlakukan tarif yang besar terhadap produk-produk impor. Pemerintah juga melarang ekspor alat-alat dan peralatan modal dan emigrasi tenaga kerja terampil yang akan memungkinkan negara-negara asing, dan bahkan koloni-koloni negara asal, bersaing dalam produksi barang-barang manufaktur.
Pada saat yang sama, para diplomat mendorong produsen asing untuk pindah ke negara asal para diplomat. Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme. Berdasarkan pengertian itu, paham merkantilisme dapat diringkas dalam tiga butir pokok berikut.
  1. Sasaran utamanya adalah mendapatkan logam mulai sebanyak-banyaknya.
  2. Berfokus pada neraca perdagangan surplus, yakni memperoleh keuntungan besar dari perdagangan luar negeri (ekspor).
  3. Negara, bukan swasta, menjadi pelaku utama serta pengendali perekonomian negara
Latar Belakang Lahirnya Merkantilisme
Merkantilisme lahir di Inggris dan Prancis. Lahirnya merkantilisme tidak terlepas dan bahkan sangat dipengaruhi oleh alam pikiran Renaisans, yang oleh banyak ahli menandai dimulainya zaman modern. Zaman ini ditandai oleh kepercayaan akan kemampuan manusia, hasrat intelektual, serta penghargaan atas disiplin intelektual. Oleh karena itu, gerakan kebangkitan kembali secara maksimal potensi manusia sangat ditekankan pada zaman ini, dan orang-orang yang memusatkan perhatian pada gerakan itu disebut kaum humanis. Itulah buah dari revolusi kesadaran atau revolusi berpikir sejak zaman Renaisans.
Cara pandang yang radikal terhadap peran sentral manusia dalam sejarah dicirikan oleh satu hal penting, yaitu "subjektivitas". Subjektivitas ini dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjektum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Lewat modernisasi yang dimulai di Italia di zaman Renaisans, manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu.
Pengakuan atas peran penting subjek berarti juga pengakuan terhadap kebebasan untuk berpikir, bertindak, serta untuk menggembangkan diri. Pada Abad Pertengahan, zaman yang mendahului era Renaisans atau zaman modern, pengembangan potensi setiap individu nyaris tidak mendapat tempat. Hal ini disebabkan kuatnya otoritas Gereja atau tradisi yang memandang kehidupan di akhirat lebih penting untuk dikejar daripada kehidupan di dunia. Hal ini diperkuat lagi dominasi tuan-tuan tanah feodal atas rakyat jelata. Dominasi Gereja, tuan-tuan tanah, serta tradisi yang begitu kuat membuat individu tidak mempunyai banyak ruang gerak atau kebebasan untuk berpikir lain, apalagi mengubah kenyataan yang ada (status quo).
Kebebasan individu ini melahirkan transformasi yang besar dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Orang-orang mulai memikirkan cara-cara baru untuk mengubah dunia. Fokus perhatian banyak orang sejak zaman Renaisans adalah bagaimana supaya manusia sejahtera hidup di bumi dan tidak menunggu di akhirat. Setiap manusia harus bebas memaksimalkan potensi terbaiknya. Namun, agar kebebasan memaksimalkan potensi diri itu tidak bertabrakan dengan hak serta kepentingan orang lain, dibutuhkan negara. Negara akan bertindak untuk memaksakan norma dan ketertiban demi keamanan semua warga negara. Lahirnya negara-negara serta bersatunya beberapa wilayah kecil yang relatif otonom untuk membentuk negara baru yang lebih besar tidak terlepas dari cara berpikir semacam ini.
Tidaklah mengherankan jika kehidupan masyarakat kemudian mengalami transformasi yang luar biasa, tak terkecuali dalam bidang ekonomi, khususnya perdagangan (exchange economy). Dampak yang langsung terasa adalah munculnya merchants (pedagang), bank, profesi akuntan, yang semuanya berorientasi keuntungan atau laba. Fungsi uang juga berubah : tidak lagi hanya sebagai alat tukar, tetapi menjadi komoditas yang diperjualbelikan, seperti nyata dalam bentuk peminjaman uang untuk mendapatkan bunga (interest) dan bahkan riba (usury). Alhasil, terjadi perubahan. Pada masa sebelumnya, perdagangan internasional hanya didominasi kota-kota di Italia, seperti Genoa, Venesia, dan Florence. Sejak masa Renaisans, berkembang banyak kota baru di seluruh Eropa, seperti di Inggris dan Prancis, yang mengandalkan perdagangan sebagai penggerak utama perekonomian. Pada saat yang bersamaan, pertanian sebagai penopang utama perekonomian mulai digantika oleh industri-industri manufaktur. Selanjutnya, semakin banyaknya industri manufaktur serta ramainya perdagangan internasional mendorong berkembangnya teknologi pelayaran. Di sisi lain, otoritas negara perlahan-lahan menggantikan otoritas tradisional yang didominasi oleh Gereja dan tuan-tuan tanah.
Para pedagang (Inggris, Prancis, dan lain-lain) yang terlibat dalam perdagangan internasional itu terlibat persaingan yang sengit dan tak jarang berujung konflik. Oleh karena itu, para pedagang yang lahir sebagai akibat dari revolusi budaya itu (Renaisans), kemudian membutuhkan perlindungan negara. Di sisi lain, negara juga membutuhkan pedagang-pedagang agar perekonomiannya tumbuh dan berkembang melalui tarif retribusi serta pajak yang diperoleh dari para pedagang. Beda halnya dengan di Prancis, negara mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas perdagangan dengan luar negeri (sentralisasi), negara-negara lain terutama Inggris menerapkan kebijakan perdagangan yang terdesentralisasi yang artinya menyerahkannya kepada pedagang-pedagang swasta di bawah pengawasan negara. Ini kemudian berkembang menjadi serikat dagang dan sebagai imbalannya, negara mendapatkan pajak.
Praktik exchange economy itu terus berevolusi sampai pada suatu titik muncul pemahaman bahwa perekonomian suatu negara akan lebih berkembang jika negara tersebut mengekspor sebanyak mungkin dan mengimpor sedikit mungkin. Inilah yang kemudian disebut neraca perdagangan surplus, ketika ekspor lebih banyak daripada impor. Selanjutnya, muncul juga kesadaran bahwa sumber daya yang diperdagangkan itu bersifat terbatas, dan karena itu negara harus berupaya mencari dan mendapatkan sebanyak mungkin sumber daya yang terbatas itu demi ketahanan ekonomi negara. Bahkan ukuran kemakmuran dan kekuatan (power) suatu negara dilihat dari seberapa banyak negara tersebut berhasil mengumpulkan sumber-sumber daya yang terbatas itu. Pada waktu itu, sumber daya yang sangat bernilai di pasaran dunia dan jumlahnya terbatas itu adalah emas dan perak.
Hal inilah mendorong negara-negara Eropa mencari sumber-sumber emas dan perak (dan kemudian rempah-rempah) ke negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika, yang disebut dengan era kolonialisme dan imperialisme. Selain untuk mendapatkan emas dan perak sebanyak-banyaknya, daerah-daerah baru yang dikuasai itu (koloni-koloni) juga dimaksudkan sebagai pasar bagi hasil-hasil industri dalam negeri negara penjajah. Inilah yang disebut merkantilisme. Kebijakan merkantilisme pula yang mengakhiri kolonialisme Inggris di Amerika. Dalam perkembangannya, kebijakan merkantilisme ikut melatarbelakangi lahirnya Revolusi Industri di Inggris sekitar tahun 1750.

Lahirnya Kolonialisme dan Imperialisme
Merkantilisme berkembang pada abad ke-15 sampai abad ke-17 di Eropa dan dianut oleh banyak negara, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Belanda. Awalnya, mereka berdagang dengan sesama bangsa Eropa. Lambat laun, negara-negara Eropa tersebut mengarahkan perhatiannya pada sumber-sumber logam mulia dan komoditas-komoditas berharga lain di luar Eropa. Mereka bersaing mendapatkan emas dan perak sebanyak-banyaknya di luar Eropa.
Saat yang paling menentukan terhadap perkembangan pesat perdagangan dunia serta ambisi negara-negara untuk mendapatkan emas dan perak dalam jumlah yang sebesar-besarnya adalah penemuan Benua Amerika (atau Dunia Baru) oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 serta penemuan rute laut ke India oleh Vasco da Gama pada tahun 1497-1499. Kedua peristiwa penting ini menjadi cikal bakal lahirnya era penjajahan atau kolonialisme dan imperialisme yang dipelopori Portugis. Kolonialisme ini lazim disebut dengan imperialisme kuno dengan menguasai negara-negara lain terutama negara-negara non-Eropa (Asia-Afrika-Amerika) dalam rangka mendapatkan logam mulia dalam jumlah sebesar-besarnya.
Merkantilisme memicu era penjajahan samudra dan imperialisme karena setiap bangsa yang mampu kemudian berusaha merebut koloni-koloni yang akan menjadi sumber bahan baku dan pasar potensial. Selama periode merkantilis, kekuatan Eropa menyebar ke seluruh dunia. Pelayaran merupakan hal yang sangat penting selama periode merkantilis. Pertumbuhan koloni-koloni dan pengiriman emas dari Dunia Baru ke Spanyol dan Portugal, membuat kendali atas laut dianggap penting bagi kekuatan nasional. Di Prancis, Jean-Baptiste Colbert, menteri keuangan di bawah Louis XIV tahun 1661-1683, meningkatkan biaya masuk pelabuhan bagi kapal-kapal asing yang memasuki pelabuhan-pelabuhan Prancis serta memberikan hadiah untuk para pembuat kapal Prancis.
Tidak sedikit penjelajahan dan pelayaran bangsa-bangsa Eropa yang dibiayai oleh raja atau negara. Setiap negara seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan Spanyol saling bersaing untuk mendapatkan emas dan perak dalam jumlah besar. Wilayah-wilayah sumber mulia yang berhasil ditemukan, seperti India dan Nusantara di Asia serta Kerajaan Inca, Kerajaan Maya, dan Kerajaan Aztec di Amerika, kemudian menjadi sasaran eksploitasi.
Selanjutnya, selain logam mulia, rempah-rempah seperti cengkih dan pala menjadi incaran negara-negara yang menganut kebijakan merkantilisme. Pada waktu itu, rempah-rempah merupakan komoditas yang sangat laku di pasaran Eropa.
Ekspansi ini sering dilakukan di bawah serikat dagang yang pemerintah negaranya menjamin monopoli-monopoli di bagian tertentu di dunia. Serikat dagang yang dimaksud contohnya EIC (East India Company), yaitu serikat dagang Inggris di India dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yaitu serikat dagang Belanda di Indonesia. Dilandasi ambisi untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, bangsa-bangsa Barat itu kemudian menancapkan kekuasaan politik-militer di negara-negara yang dikuasainya, termasuk Nusantara. Dengan cara itu, rakyat dan raja-raja pribumi yang melawan kehendak mereka ditindas entah dengan cara dibunuh, ditangkap, ataupun diasingkan ke tempat yang jauh. Itula yang kita sebut sebagai penjajahan atau kolonialisme.
Ringkasnya, merkantilisme secara langsung ataupun tidak langsung ikut berperan melahirkan di Nusantara.

Merkantilisme dan Revolusi Industri
Merkantilisme memicu lahirnya Revolusi Industri di Inggris karena tuntutan akan produksi massal (large scale production). Terbukanya negara-negara terhadap perdagangan dengan negara-negara lain serta munculnya pasar-pasar baru sebagai akibat dari kolonialisme menimbulkan banyaknya permintaan (demand) terhadap produk-produk industri manufaktur. Apalagi produk-produk yang memang dikenal di Eropa sebagai produk yang kualitasnya di atas rata-rata. Salah satu contoh nyata di Inggris adalah produk kain katun. Kain katun Inggris terkenal bermutu di pasaran Eropa. Permintaan membludak. Adanya perang antarnegara ikut memicu permintaan yang tinggi itu, sebab para prajurit sangat membutuhkannya di musim dingin.
Namun, Inggris tidak sanggup memenuhi permintaan itu. Persoalannya, di Inggris sendiri produk tersebut dibuat dalam industri rumahan (cottage industry) dengan peralatan sederhana dan manual. Dengan kondisi seperti itu, produktivitas pekerja pasti rendah karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu helai kain katun memakan waktu yang lama, dan sebagai akibatnya volume produksinya rendah. Peluang ekonomi berupa ekspor yang tinggi pun terlewatkan.
Para pemilik industri rumahan pun berpikir keras untuk mencari cara agar kain katun itu dapat diproduksi secara massal. Seorang pemintal Inggris bernama John Kay (1704-1779) akhirnya berhasil menjawab kebutuhan itu. Pada tahun 1733, ia menemukan dan membuat kumparan terbang yang membuat proses pemintalan berjalan dengan cepat dan mampu memotong setengah waktu memintal yang biasa. Penemuan John Kau memicu lahirnya penemuan-penemuan teknologi baru lainnya selama dan pasca-Revolusi Industri.
Lancarnya bahan baku yang didapatkan dari negeri-negeri jajahan menghidupkan industri-industri Inggris. Majunya perekonomian Inggris berdampak lahirnya kelas-kelas menengah dan kaya baru. Mereka inilah yang giat dan tekun menciptakan teknologi-teknologi baru.

Merkantilisme dan Revolusi Amerika
Merkantilisme Inggris terutama berbentuk upaya-upaya untuk mengendalikan perdagangan di dalam negeri serta di wilayah-wilayah koloninya. Wilayah ini meliputi ketiga belas koloni di Amerika (sejak abad ke-17), Provinsi Maritim Kanada, Trinidad dan Tobago, Kepulauan Bahama, Kepulauan Leeward, Barbados, Jamaika, dan Bermuda. Komoditas utama yang diperdagangkan ketika itu adalah gula dan tembakau. 
Untuk itu, Inggris membuat berbagai regulasi yang bertujuan mendorong ekspor dan mencegah impor. Tarif diberlakukan pada impor dan hadiah diberikan untuk ekspor, serta ekspor beberapa bahan baku dilarang sepenuhnya. Undang-Undang Navigasi (Navigation Acts) melarang pedagang-pedagang asing terlibat perdagangan di wilayah Inggris. Bangsa ini agresif mencari koloni-koloni di bawah kendali Inggris, regulasi-regulasi diberlakukan yang membolehkan koloni hanya memproduksi bahan baku dan hanya berdagang dengan Inggris. Hal ini menyebabkan gesekan atau friksi dengan penduduk koloni-koloni ini, dan kebijakan-kebijakan merkantilisme merupakan salah satu penyebab utama Revolusi Amerika.
Penerapan merkantilisme di Inggris sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, namun penerapannya secara luas terjadi pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I pada tahun 1558-1603. Raja Inggris Richard II, misalnya, memasukkan larangan ekspor emas dan perak ke Undang-Undang Navigasi 1381. Selanjutnya, pada zaman Renaisans, pernyataan awal mengenai neraca perdagangan nasional tahun 1549 berbunyi, "Kita harus sadar bahwa kita tidak boleh membeli lebih banyak daripada yang kita jual kepada orang lain. Sebab apabila kita melakukannya, itu sama saja berarti kita membuat diri kita sendiri rugi dan sebaliknya membuat orang lain itu kata." Ratu Elizabeth I juga mendorong eksplorasi dan membuat armada kapal yang mampu bersaing dengan Spanyol dalam upaya menguasai perdagangan di Benua Amerika.
Pada tahun 1650, Parlemen Inggris secara resmi menerapkan kebijakan merkantilisme dalam perdagangan internasional. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merkantilisme menetapkan bahwa untuk mewujudkan perekonomian yang kuat, sebuah bangsa harus mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Dalam rangka mencapai neraca perdagangan surplus, Inggris mengeluarkan undang-undang. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menciptakan sebuah sistem perdagangan dengan ciri orang Amerika menyediakan bahan mentah kepada Inggris. Selanjutnya, Inggris menggunakan bahan-bahan mentah ini untuk memproduksi barang-barang manufaktur yang kemudian dijual ke pasar Eropa dan koloni-koloninya di Amerika. Sebagai pihak yang hanya menyuplai (supplier) bahan mentah, koloni-koloni di Amerika (dan kelak India sejak abad ke-18) tidak mungkin bersaing dengan Inggris dalam pembuatan barang manufaktur.
Antara tahun 1651 dan 1673, Parlemen Inggris membuat Undang-Undang Navigasi (Navigation Acts). Undang-undang ini dimaksudkan untuk menjamin neraca perdagangan agar selalu surplus. Pada intinya, undang-undang itu menetapkan hal-hal sebagai berikut.
  • Hanya Inggris atau kapal-kapal kolonial Inggris yang dapat membawa kargo dari dan ke pelabuhan-pelabuhan Inggris, termasuk pelabuhan-pelabuhan di wilayah koloninya.
  • Barang-barang tertentu, seperti tembakau, beras, dan bulu binatang, bisa dikapalkan ke luar negeri hanya melalui Inggris atau Skotlandia. Hal dimaksudkan agar Inggris mendapatkan pajak, sesuatu yang sangat penting dalam kebijakan merkantilisme.
  • Parlemen Inggris akan memberikan hadiah bagi orang-orang Amerika yang memproduksi barang-barang mentah tertentu, dan pada saat yang sama mengenakan tarif pada barang yang sama yang diproduksi oleh bangsa-bangsa lain.
  • Dalam hal pembuatan barang manufaktur skala besar, orang-orang Amerika tidak boleh bersaing dengan orang Inggris.
Undang-undang tersebut secara khusus diarahkan terutama untuk melawan Belanda yang mendominasi aktivitas perdagangan pada abad ke-16 dan abad ke-17. Dengan adanya undang-undang tersebut, diharapkan tidak ada lagi aktivitas perdagangan antara penduduk Amerika dan pedagang Belanda.
Undang-undang tersebut jelas membatasi perdagangan penduduk koloni Inggris di Amerika Utara serta sangat menguntungkan Inggris. Pada awalnya, penduduk koloni memprotes undang-undang tersebut. Pembatasan terhadap perdagangan merugikan penduduk koloni itu. Sebagai contoh, membuat penduduk di wilayah New England (Amerika Utara) melakukan praktik dagang yang berlawanan dengan undang-undang, yaitu penyelundupan (smuggling). Penyelundupan ini terutama dilakukan dengan orang Belanda yang berdagang melalui wilayah koloni mereka di Karibia (Carribean Netherlands). Sebagian orang Amerika juga memberikan uang pelicin (bribery) kepada para pejabat Inggris untuk memperlancar praktik perdagangan gelap tersebut.
Berbagai peristiwa di Inggris dan kenyataan politik di Amerika membuat undang-undang ini dalam praktiknya kurang berjalan sebagaimana seharusnya, setidaknya sampai tahun 1764. Pertama, Inggris sibuk mengatasi perang saudara di negaranya sendiri serta Revolusi Agung 1688 (Glorious Revolution 1688). Perang saudara itu terjadi pada tahun 1642-1651. Perang ini terjadi antara pihak Parlemen Inggris (Parlementarians) dan pihak istana (Royalists) terkait dengan cara menjalankan pemerintahan. Perang saudara pertama (1642-1646) dan kedua (1648-1649) terjadi antara pendukung Raja Charles I melawan pendukung Parlemen (yang disebut Long Parliament). Perang berakhir dengan kemenangan pihak Parlemen dalam Pertempuran Worcester pada tanggal 3 September 1651.
Perang saudara I berakhir dengan peristiwa : (1) diadili dan dieksekusinya Raja Charles I dan diasingkannya anak Charles I; serta (2) digantikannya monarki Inggris pertama-tama dengan Commonwealth of England (1649-1653) dan kemudian dengan Protektorat (1653-1659) di bawah kepemimpinan tunggal Oliver Cromwell. Perang ini menjadi cikal bakal dari undang-undang yang menyatakan bahwa raja Inggris tidak dapat memerintah tanpa persetujuan Parlemen, yang berlaku secara sah sejak Glorious Revolution pada tahun 1688.
Kedua, terjadinya Glorious Revolution atau Revolusi Agung 1688, yaitu sebuah peristiwa yang ditandai dengan penggulingan paksa Raja James II oleh persatuan anggota Parlemen Inggris serta stadtholder Belanda William III dari Orange-Nassau (William of Orange). Penggulingan ini merupakan hasil dari keberhasilan William menginvasi Inggris. William kemudian menjadi raja Inggris dengan gelar William III, yang memerintah bersama-sama dengan istrinya Mary II (Mary of England).
Ketiga, di wilayah koloninya di Amerika, Inggris menghadapi musuh bebuyutan, yaitu Prancis yang juga berambisi menguasai serta mendirikan banyak koloni di Amerika. Untuh mencegah dominasi Prancis, Inggris merasa perlu bekerja sama dan mendapatkan dukungan dari penduduk koloninya. Dukungan itu tidak bisa didapatkan apabila undang-undang yang sangat membatasi perdagangan penduduk Amerika itu tetap diberlakukan. Oleh karena itu, sampai Tahun 1763, Inggris kemudian menerapkan kebijakan salutary neglect kepada penduduk koloninya di Amerika. Kebijakan ini pada dasarnya melonggarkan penerapan Undang-Undang Navigasi kepada penduduk Amerika dalam rangka menjaga kesetian serta dukungan mereka terhadap Inggris terutama dalam menghadapi kemungkinan serangan atau ekspansi Prancis di Amerika Utara dan dalam batas tertentu serangan dari suku-suku Indian.
Ekspansi Prancis dan orang Indian memang tak terbendung. Perang pun tak terhindarkan, yang dikenal dengan nama Perang Tujuh Tahun (1756-1763). Dalam perang tersebut, penduduk Amerika mendukung Inggris. Namun, begitu perang berakhir dengan kemenangan Inggris, Undang-Undang Navigasi itu diberlakukan kembali oleh Inggris. Penduduk Amerika sangat kecewa dan karena itu menolak dengan keras. Inilah salah satu faktor yang memicu permusuhan antara penduduk Amerika dan Inggris, yang kelak mencapai puncaknya dalam Revolusi Amerika (1765-1783).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan merkantilisme Inggris di Amerika Utara merupakan salah satu penyebab yang memicu terjadinya Revolusi Amerika. Revolusi Amerika juga menjadi penyebab utama berakhirnya penerapan kebijakan merkantilisme di Inggris. Doktrin laissez-faire atau pasar bebas dicetuskan Adam Smith melalui bukunya The Wealth of Nations. Buku ini terbit persis pada tahun proklamasi Kemerdekaan Amerika (1776) dan menjadi realitas politik Inggris sekitar 70 tahun kemudian (sekitar tahun 1850). Itulah awal dari dimulainya penerapan sistem ekonomi yang disebut kapitalisme. Pada saat yang sama, di Nusantara pemerintah Hindia-Belanda melancarkan kebijakan Pintu Terbuka, yang kurang lebih sejalan dengan gagasan Smith tersebut. Menurut Smith, apabila setiap individu diberi kebebasan untuk bertindak di pasar bebas, tanpa disadari mereka juga akan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Ia meyakini bahwa pasar yang kompetitif mengalokasikan sumber daya dengan cara yang secara paling efisien.



DAFTAR PUSTAKA
Hapsari, Ratna dan M.  Adil. 2014. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : Erlangga.

Comments

Iklan Ad

Popular posts from this blog

Menghitung Persediaan dengan Metode LCNRV (Lower-Cost-Net-Realizable-Value)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA PEROLEHAN ATAU NILAI REALISASI NETO (LCNRV) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan. Namun, jika persediaan turun nilainya sampai ke tingkat di bawah biaya aslinya, maka prinsip biaya historis menjadi tidak relevan. Apapun alasan untuk penurunan nilai tersebut, baik itu usang, perubahan tingkat harga, atau rusak, perusahaan harus menurunkan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto untuk melaporkan kerugian ini. Perusahaan meninggalkan prinsip biaya historis ketika utilitas masa depan (kemampuan menghasilkan pendapatan) dari aset turun di bawah biaya aslinya. Nilai Realisasi Neto Ingat bahwa biaya adalah harga perolehan persediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu metode berbasis biaya historis. Nilai realisasi neto ( net realizable value /NRV) mengacu pada jumlah neto yang diharapkan oleh perusahaan untuk direalisasi dari penjualan persediaan. Secara khusus, nilai realisasi neto adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan bisnis bi...

Urbanisasi Sebagai Dampak Globalisasi Terhadap Perubahan Sosial di Komunitas Lokal

A.  LATAR BELAKANG Globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.  Masyarakat dapat menjangkau satu dengan yang lain dalam segala aspek kehidupan didukung oleh kemajuan IPTEK dan keterbukaan sistem perekonomian negara yang mempercepat akselerasi globalisasi. Keterbukaan sistem perekonomian negara dipicu oleh adanya liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini mengakibatkan masyarakat di berbagai dunia dapat menikmati hasil produksi dari negara lain, seperti makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, keterbukaan sistem perekonomian ini juga meningkatkan aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan multinasional. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia merasakan dampak dari adanya globalisasi pada aspek ekonomi tersebut, baik dari segi produksi, pembiayaan, te...

Soal Latihan Piutang Dagang (Account Receivable) dan Kunci Jawaban

1. Pada akhir tahun 2017, Goblin Company memiliki piutang sebesar $700.000 dan cadangan kerugian piutang sebesar $54.000. Pada 24 Januari 2018, perusahaan mengetahui bahwa piutang dari Sun Company tidak dapat ditagih, dan pihak manajemen mengizinkan penghapusan sebesar $6.200. a. Buatlah jurnal penyesuaian untuk mencatat penghapusan piutang b. Berapa cash realizable value dari piutang (1) sebelum penghapusan dan (2) setelah penghapusan? 2. Buku besar perusahaan Tsubasa pada akhir tahun 2019 menunjukkan saldo piutang usaha $150.000, pendapatan penjualan $850.000, dan retur penjualan $30.000. Intruksi (a) Jika perusahaan Tsubasa menggunakan metode penghapusan piutang langsung untuk akun piutang tidak tertagih, buatlah jurnal penyesuaian pada 31 Desember 2019, dengan asumsi pihak manajer menentukan saldo piutang tidak tertagih sebesar $1.500. (b) Jika cadangan piutang tak tertagih memiliki saldo kredit sebesar $2.400 dalam neraca saldo, buatlah jurnal penyesuaian pada tanggal...