Skip to main content

Ini Bedanya Paleolithikum, Mesolithikum, Neolithikum, dan Megalithikum

A. Paleolithikum (Zaman Batu Tua)
Zaman batu tua diperkirakan berlangsung selama masa kala Plestosen kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Perkembangan kebudayaan pada masa ini diperkirakan sangat lambat karena pada masa ini berlangsung zaman es (glasial). Pada zaman batu tua, alat-alat budaya yang ditemukan terbuat dari batu yang dibuat dengan sangat kasar serta sederhana. Cara pembuatannya hanya dibentur-benturkan antara batu yang satu dengan lainnya sehingga menyerupai kapak dan dipergunakan sebagai alat. Alat-alat budaya dari zaman batu ini banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa. Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1) Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 Von Koenigswald mengadakan penggalian di Kali Baksoko, Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur dan menemukan alat-alat dari batu berupa kapak genggam (kapak tak bertangkai yang digunakan dengan cara digenggam), kapak perimbas (bentuk dan cara penggunaannya hampir sama dengan kapak genggam, namun ukurannya lebih besar dari kapak genggam), kapak penetak (bentuk dan cara penggunaannya juga hampir sama dengan kapak genggam maupun kapak perimbas, dan berfungsi untuk membelah kayu, pohon, atau bambu), dan pahat genggam  (memiliki bentuk lebih kecil dari ketiga kapak yang telah disebutkan, dan berfungsi untuk menggemburkan tanah serta mencari umbi-umbian). Di samping itu, kompleks kebudayaan Pacitan ini banyak ditemukan alat-alat yang berukuran lebih kecil yang dinamakan flake (alat serpih). Alat-alat batu dari Pacitan ditemukan pada lapisan Trinil yang termasuk lapisan Pleistosen Tengah. Pada lapisan ini ditemukan fosil Pithecanthropus Erectus.
Para ahli menyimpulkan bahwa pendukung utama kebudayaan ini kemungkinan adalah Pithecanthropus Erectus. Tempat ditemukannya fosil Pithecanthropus Erectus di Desa Trinil tidak ditemukan alat-alat tersebut. Oleh karena itu, para ahli mencoba membandingkannya dengan penemuan fosil yang serupa dengan Pithecanthropus Erectus, yaitu Sinanthropus Pekinensis, di gua Choukoutien, Peking, Cina. Di tempat ditemukannya fosil Sinanthropus Pekinensis banyak ditemukan pula alat-alat dari batu yang jenisnya serupa dengan alat-alat batu yang ditemukan di daerah Pacitan. Oleh karena itu, kebudayaan Pacitan adalah milik kebudayaan Pithecanthropus Erectus. Dengan kata lain, pendukung utama kebudayaan dari masa Pleistosen Tengah yang merupakan masa perkembangan budaya batu terawal di Indonesia. Di samping di daerah Pacitan, alat-alat batu sejenis juga terdapat di daerah-daerah Sukabumi (Jawa Barat), Perigi dan Gombong (Jawa Tengah), Tambangsawah (Bengkulu), Lahat (Sumatera Selatan), Kalianda (Lampung), Awang Bangkal (Kalimantan Selatan), Cabenge (Sulawesi Selatan), Sembiran, Trunyan (Bali), Batu Tring (Sumbawa), Maumere (Flores), serta Atambua (Timor).
2) Kebudayaan Ngandong
Peralatan budaya zaman batu tua juga banyak ditemukan di daerah sekitar Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Jawa Timur. Alat-alat hidup yang ditemukan di daerah Ngandong berupa kapak-kapak genggam dari batu serta alat-alat serpih (flake), dan alat-alat dari tulang berupa alat penusuk (belati). Alat-alat budaya kebudayaan Ngandong juga ditemukan di daerah Sangiran (Jawa Tengah) dan di daerah Cabenge (Sulawesi Selatan). Alat-alat yang berhasil ditemukan berupa alat-alat serpih (flakes), dan alat-alat yang terbuat dari batu chalcedon.

B. Mesolithikum (Zaman Batu Tengah)
Zaman batu tengah atau madya (Mesolithikum) berlangsung pada masa kala Holosen. Pada zaman batu tengah, alat-alat batu dari zaman batu tua masih terus digunakan dan telah mendapat pengaruh dari wilayah Asia daratan. Bahkan alat-alat tulang dan flake dari zaman batu tua memegang peranan penting pada zaman Batu Madya. Manusia pada masa ini juga telah mampu membuat gerabah yang dibuat dari tanah liat yang dibakar. Salah satu ciri khas kebudayaan batu tengah ialah adanya sampah-sampah dapur dari kulit kerang (Kjokkenmoddinger), yang merupakan bekas-bekas tempat tinggal mereka. Sampah dapur (Kjokkenmoddinger) ini banyak ditemukan di sepanjang pesisir pantai timur Sumatra. Ciri khas lain adalah adanya kehidupan di gua-gua (abris sous roche) di daerah pedalaman Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan lokasi penyebarannya, kebudayaan batu madya meliputi tiga jenis, antara lain.
1) Kebudayaan Kapak Genggam Sumatra (Pabble Culture)
Pada tahun 1925, seorang arkeolog bernama P. V. Van Callenfels mengadakan penilitan di sepanjang pesisir pantai Sumatra Timur Laut antara Langsa (Aceh) dan Medan, ditemukan beberapa tumpukan kulit kerang yang telah membantu dan tingginya mencapai tujuh meter. Berdasarkan analisis para ahli, tumpukan kulit kerang yang telah membatu tersebut merupakan sampah dapur bekas tempat tinggal manusia purba dari zaman batu madya. Dalam bahasa Denmark, tumpukan kulit kerang itu disebut Kjokkenmoddinger (Kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah). Selain Kjokkenmoddinger, Van Stein Callenfels juga menemukan beberapa peralatan manusia purba, yaitu Pabble (kapak genggam Sumatra), Pipisan (batu penggiling) beserta landasannya, alu, lesung batu, dan pisau batu.
2) Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture)
Alat-alat dari batu dan tulang dari zaman batu madya banyak ditemukan pula di abris sous roche (gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal). Pada tahun 1928 sampai 1931 Van Stein Callenfels pernah mengadakan penelitian di gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur. Berdasarkan penelitian di tempat tersebut, mereka menemukan alat-alat dari batu berupa mata panah dan flake, batu-batu penggiling, alat-alat dari tulang, serta tanduk rusa. Karena hasil penemuan di daerah Sampung sebagian besar berupa alat-alat dari tulang maka hasil kebudayaannya dinamakan kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture).
Di daerah lain alat-alat dari batu dan tulang zaman batu madya yang sejenis dengan hasil penemuan di daerah Sampung ditemukan di daerah Besuki dan di sejumlah gua yang ada di daerah Bojonegoro, Jawa Timur berupa alat-alat dari kerang serta tulang. Pendukung utama kebudayaan Tulang Sampung adalah manusia ras Papua Melanesoid. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan penemuan fosil-fosil manusia ras Papua Melanesoid yang menyertai penemuan alat-alat budaya zaman batu madya di bukit-bukit kerang Sumatra Timur (yang menjadi tempat tinggal pendukung kebudayaan kapak Sumatra), maupun di gua-gua di daerah Sampung dan Bojonegoro, Jawa Timur (yang menjadi tempat tinggal manusia pendukung kebudayaan tulang Sampung). Pada tahap berikutnya, manusia purba dari ras Papua Melanesiod akan menurunkan kelompok suku-suku bangsa yang ada di Papua maupun di Kepulauan Melanesia saat ini.
3) Kebudayaan Toala (Flake Culture)
Selama tahun 1893 sampai 1896, dua orang bersaudara berkebangsaan Swiss bernama Fritz Sarasin dan Paul Sarasin melakukan penelitian di gua-gua (abris sous roche) di daerah Lumacong, Sulawesi Selatan yang pada saat itu masih didiami suku bangsa Toala. Dalam penelitiannya tersebut, mereka menemukan alat-alat serpih (flake), mata panah bergerigi, dan alat-alat dari tulang. Penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan oleh Van Stein Callenfels (1933-1934), dan Van Heekeren (1937) yang berkesimpulan bahwa kebudayaan Toala termasuk kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Pada penelitian gua-gua di wilayah Maros, Bone, dan Bantaeng (Sulawesi Selatan) juga ditemukan alat-alat serpih (flake) dan batu penggiling, gerabah, dan kapak Sumatra (pabble). Ciri khas kebudayaan Toala ialah flakes bergerigi. Ciri khas kebudayaan Toala tersebut juga ditemukan di gua-gua Pulau Timor, Flores, dan Roti, Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian di daerah Priangan, Bandung ditemukan flake yang terbuat dari obsidian (batu hitam). Karena banyaknya alat-alat serpih (flakes) yang ditemukan dan memiliki keistimewaan (flakes bergerigi) pada alat-alat kebudayaan Toala maka seorang arkeolog bernama Alfred Buhler menyebutnya dengan istilah Flakes Culture.

C. Neolithikum (Zaman Batu Muda)
Perkembangan kebudayaan pada zaman batu muda (Neolithikum) sudah sangat maju jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya migrasi secara bergelombang bangsa Proto Melayu dari wilayah Yunan di Cina Selatan ke wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Para pendatang tersebut membawa kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong serta menyebarkannya ke daerah-daerah yang dituju. Kedua kebudayaan itu akhirnya menjadi ciri khas kebudayaan Neolithikum.
Selain itu, pada masa ini juga muncul keterampilan mengasah benda-benda hingga halus sehingga benda-benda yang dihasilkan, seperti kapak persegi maupun kapak lonjong sudah dibuat dengan teknik asahan yang sangat halus. Pada masa Neolithikum, kepandaian membuat benda-benda gerabah sudah semakin maju dan dibuat dengan teknik yang halus. Peninggalan budaya zaman Neolithikum ini terdapat hampir merata di seluruh kepulauan Nusantara. Menurut R. Soekmono, kebudayaan batu muda menjadi dasar kebudayaan Indonesia sekarang. Kebudayaan Neolithikum terbagi menjadi dua, yaitu kebudayaan kapak persegi dan kebudayaan kapak lonjong.
1) Kebudayaan Kapak Persegi
Kapak persegi berbentuk persegi panjang atau trapesium. Kapak persegi ditemukan di Sumatra, Jawa, dan Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan. Berdasarkan penelitian arkeologis, penyebaran kapak persegi diperkirakan dari Asia daratan ke Kepulauan Nusantara melalui jalan barat, yaitu dari Yunan (Cina Selatan) terus ke Semenanjung Malaka, dan masuk ke Indonesia melalui Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatra juga ditemukan pusat-pusat kerajinan kapak persegi. Misalnya, di Lahat (Palembang); Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Karawang, dan Tasikmalaya (Jawa Barat); dan di Pacitan serta lereng selatan Gunung Ijen di Banyuwangi (Jawa Timur). Kapak-kapak persegi itu terbuat dari batu-batu chalchedon yang sangat halus. Para arkeolog memperkirakan bahwa benda-benda tersebut kemungkinan dibuat sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau alat tukar.
2) Kebudayaan Kapak Lonjong
Kapak lonjong adalah kapak yang penampangnya berbentuk lonjong. Ujungnya yang agak lancip biasanya dipasangi tangkai, sedangkan ujung lainnya yang berbentuk bulat diasah hingga tajam. Kapak lonjong yang berukuran besar dinamakan Walzenbeil, sedangkan yang berukuran kecil disebut Kleinbeil. Daerah penyebaran kapak lonjong sebagian besar ditemukan di Papua. Karena banyak ditemukan di Papua, kebudayaan kapak lonjong ini dinamakan Neolithikum Papua. Di daerah lainnya, kapak lonjong juga ditemukan di Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Kepulauan Tanimbar, Leti, dan Maluku.
Oleh karena itu, dengan melihat daerah penyebarannya maka kebudayaan kapak lonjong masuk ke Kepulauan Nusantara melalui jalan timur, yaitu dari Asia daratan ke Cina, ke Jepang, Taiwan (Formosa), Filipina, dan masuk Indonesia melalui Minahasa, Maluku, serta Papua. Adapun yang membawa dan sekaligus menjadi pendukung utama kebudayaan tersebut adalah bangsa Proto Melayu yang masuk ke Indonesia melalui jalan timur.
Di samping kapak persegi dan kapak lonjong, alat-alat budaya lainnya yang ditemukan pada zaman Neolithikum, antara lain berupa perhiasan dan tembikar. Menurut Marwati Jones Pusponegoro, alat berupa perhiasan terutama ditemukan di Pulau Jawa dalam jumlah yang cukup besar. Alat-alat perhiasan berupa gelang-gelang serta kalung yang terbuat dari batu-batu indah. Alat-alat budaya yang berupa tembikar juga banyak dihasilkan pada zaman Neolithikum. Pada zaman ini, tembikar memegang peranan penting terutama sebagai alat penampung. Selain untuk keperluan sehari-hari, juga ada jenis tembikar yang dipergunakan untuk alat-alat upacara yang dibuat indah, baik bentuk maupun hiasannya. Daerah penemuan tembikar di lapisan-lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra serta di bukit-bukit pasir pantai selatan Jawa, yaitu antara Yogyakarta dan Pacitan, Kendang Lembu Banyuwangi, Tangerang, serta di Minanga Sipakka Sulawesi. Sementara di daerah Melolo Sumba banyak ditemukan gerabah atau tembikar yang berisi tulang belulan manusia.

D. Megalithikum (Zaman Batu Besar)
Kebudayaan batu besar atau Megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Tujuan pembangunan bangunan-bangunan monumental tersebut adalah sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Perlu diketahui bahwa munculnya bangunan-bangunan Megalithik itu adalah sesudah manusia dapat membuat gerabah, tetapi sebelum zaman Perunggu dan zaman Besi. Kebudayaan Megalithikum beerlangsung hingga zaman Logam. Bahkan sampai saat ini, masih banyak dijumpai adanya sisa-sisa tradisi Megalithikum di berbagai wilayah Indonesia. Misalnya, di Pulau Nias (Sumatra); Sumba dan Flores (Nusa Tenggara); serta Toraja (Sulawesi Selatan). Adapun hasil-hasil kebudayaan Megalithikum meliputi menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, punden berundak, waruga, serta arca-arca megalithik lainnya.
1) Menhir
Menhir adalah tuju besar dibuat dari batu inti yang masih kasar. Bangunan ini ditemukan di Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
2) Dolmen
Dolmen adalah sebuah batu besar seperti meja, daun, dan kakinya terbuat dari batu utuh yang dihaluskan. Bangunan ini ditemukan di Bondowoso (Jawa Timur).
3) Sarkofagus
Sarkofagus adalah batu yang dibentuk seperti lesung, tetapi agak bulat, terdiri atas wadah dan tutup. Benda ini banyak ditemukan di Bali.
4) Peti Kubur Batu
Peti kubur batu adalah bangunan berupa peti batu dengan empat buah papan batu atau lebih dengan bentuk seperti peti mati zaman sekarang. Benda ini ditemukan di Sumatra dan Kuningan, Jawa Barat.
5) Punden Berundak
Punden berundak adalah bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-tingkat. 





DAFTAR PUSTAKA
Targiyatmi, Eko dan Herimanto. 2013. Pembelajaran Sejarah Interaktif 1 untuk Kelas X SMA dan MA. Solo : Platinum.

Comments

Iklan Ad

Popular posts from this blog

Menghitung Persediaan dengan Metode LCNRV (Lower-Cost-Net-Realizable-Value)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA PEROLEHAN ATAU NILAI REALISASI NETO (LCNRV) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan. Namun, jika persediaan turun nilainya sampai ke tingkat di bawah biaya aslinya, maka prinsip biaya historis menjadi tidak relevan. Apapun alasan untuk penurunan nilai tersebut, baik itu usang, perubahan tingkat harga, atau rusak, perusahaan harus menurunkan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto untuk melaporkan kerugian ini. Perusahaan meninggalkan prinsip biaya historis ketika utilitas masa depan (kemampuan menghasilkan pendapatan) dari aset turun di bawah biaya aslinya. Nilai Realisasi Neto Ingat bahwa biaya adalah harga perolehan persediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu metode berbasis biaya historis. Nilai realisasi neto ( net realizable value /NRV) mengacu pada jumlah neto yang diharapkan oleh perusahaan untuk direalisasi dari penjualan persediaan. Secara khusus, nilai realisasi neto adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan bisnis bi...

Soal Latihan Piutang Dagang (Account Receivable) dan Kunci Jawaban

1. Pada akhir tahun 2017, Goblin Company memiliki piutang sebesar $700.000 dan cadangan kerugian piutang sebesar $54.000. Pada 24 Januari 2018, perusahaan mengetahui bahwa piutang dari Sun Company tidak dapat ditagih, dan pihak manajemen mengizinkan penghapusan sebesar $6.200. a. Buatlah jurnal penyesuaian untuk mencatat penghapusan piutang b. Berapa cash realizable value dari piutang (1) sebelum penghapusan dan (2) setelah penghapusan? 2. Buku besar perusahaan Tsubasa pada akhir tahun 2019 menunjukkan saldo piutang usaha $150.000, pendapatan penjualan $850.000, dan retur penjualan $30.000. Intruksi (a) Jika perusahaan Tsubasa menggunakan metode penghapusan piutang langsung untuk akun piutang tidak tertagih, buatlah jurnal penyesuaian pada 31 Desember 2019, dengan asumsi pihak manajer menentukan saldo piutang tidak tertagih sebesar $1.500. (b) Jika cadangan piutang tak tertagih memiliki saldo kredit sebesar $2.400 dalam neraca saldo, buatlah jurnal penyesuaian pada tanggal...

Metode Penentuan Episentrum Gempa

Untuk menentukan lokasi sumber gempa atau episentrum secara akurat dapat digunakan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode jarak episentral dan homoseista.   1) Metode Episentral   Episentral adalah jarak antara sumber gempa atau episentrum dan stasiun pengamat gempa. Untuk menentukan posisi sumber gempa dengan metode ini, diperlukan data waktu kejadian gempa minimal dari tiga stasiun pengamatan, sehingga kita dapat menghitung jarak episentral dari setiap stasiun dengan menggunakan Rumus aska , yaitu sebagai berikut.   Δ = {(S – P) – 1’} × 1.000 km  ( Δ ) = jarak episentral dari stasiun pengamat (kilometer)  S - P = selisih waktu pencatatan antara gelombang sekunder dan primer (menit)  1’ = satu menit  Contoh : Dalam satu kejadian gempa, tercatat waktu getaran gelombang primer dan sekunder dari tiga stasiun pengamat A, B dan C sebagai berikut ini. Stasiun A : gelombang P pertama pukul 19:17.15 WIB, gelombang S pertama pukul 19:19.30 WIB Stasiun B :...