Sebagai ilmu, sejarah memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Bersifat Empiris
Empiris berasal dari bahasa Yunani, yaitu empeiria, yang berarti pengalaman. Sejarah sebagai ilmu sangat berkaitan erat dengan pengalaman manusia. Pengalaman yang pernah terjadi pasti meninggalkan jejak. Jejak-jejak inilah yang dihimpun para sejarawan untuk menemukan fakta akan pengalaman yang pernah terjadi tersebut. Berdasarkan fakta-fakta itu kemudian pengalaman tersebut ditafsirkan sehingga memunculkan tulisan sejarah.
Menurut Kuntowijoyo, sejarah sama dengan ilmu alam. Keduanya sama-sama berdasar pengalaman, pengamatan, dan penyerapan. Namun, dalam ilmu alam, percobaan itu dapat diulang-ulang, sedangkan dalam sejarah tidak bisa. Suatu peristiwa tidak dapat diulang kembali, sekali terjadi, sudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan dokumen. Sejarah sering dituduh tidak ilmiah hanya karena bukan ilmu alam. Padahal cara keduanya sama. Perbedaan antara sejarah dengan ilmu-ilmu alam tidak terletak pada cara kerja, tetapi padae objeknya.
Terdapat perbedaan antara ilmu-ilmu alam yang mengamati benda-benda mati dengan sejarah yang mengamati manusia. Benda-benda itu mati dan tidak berpikir, sedangkan manusia itu hidup, berpikir, dan berkesadaran. Dengan demikian, dapat dipahami apabila ilmu-ilmu alam menghasilkan hukum alam yang berlaku umum dan pasti. Sementara sejarah menghasilkan generalisasi yang tidak seperti ilmu-ilmu alam.
2. Mempunyai Generalisasi
Studi dari suatu ilmu selalu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut menjadi kesimpulan umum atau generalisasi. Jadi, generalisasi merupakan sebuah kesimpulan umum dari pengamatan dan pemahaman penulis. Generalisasi juga dapat disebutkan sebagai pekerjaan penyimpulan dari khusus ke umum.
Menurut Kuntowijoyo, (2001) generalisasi memiliki dua tujuan, yaitu untuk saintifikasi dan untuk simplifikasi. Tujuan saintifikasi mengandung arti bahwa sejarah juga melakukan penyimpulan umum. Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih luas. Alasannya, teori di tingkat yang lebih luas kerap kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat yang lebih sempit. Contoh yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo adalah pandangan Marxisme terhadap revolusi. Bagi Marxisme, semua revolusi adalah perjuangan kelas. Mereka berpendapat bahwa Revolusi Prancis adalah perjuangan kelas borjuis dan petani melawan kaum feodal. Dari penelitian sejarah ternyata generalisasi itu tidak benar. Ada petani di suatu daerah yang berbuat sebaliknya. Banyak petani yang takut pada kaum borjuis dan lebih senang bersama kaum feodal atau bangsawan.
Masih menurut Kuntowijoyo, selain saitifikasi, generalisasi juga bertujuan untuk simplifikasi atau penyederhanaan. Seorang sejarawan perlu melakukan simplifikasi dalam melakukan analisis. Contoh penyederhanaan yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, adalah Peristiwa Cumbok diganti dengan "pertentangan antara Ulebalang dengan Ulama" dan Revolusi Sosial di Sumatera Timur, menjadi "rakyat melawan bangsawan". Penyederhaan yang ditentukan melalui pembacaan tersebut akan menuntun sejarawan dalam mencari data, melakukan kritik sumber, interpretasi, dan penulisan.
Generalisasi yang dikenal dalam ilmu sejarah tentu berbeda dengan generalisasi yang terdapat pada ilmu-ilmu lainnya, terutama jika dibandingkan dengan generalisasi yang terdapat pada ilmu alam. Generalisasi pada ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, maka generalisasi pada ilmu sejarah bersifat ideografis. Generalisasi dalam ilmu-ilmu nomotetis pada umumnya berlaku secara umum sehingga dapat dianggap sebagai kebenaran umum. Sementara itu, generalisasi dalam ilmu sejarah sering berupa koreksi terhadap generalisasi yang dilakukan dalam ilmu-ilmu lain atau bahkan generalisasi yang dihasilkan oleh sejarawan lain. Generalisasi pada ilmu-ilmu lain bersifat umum dan berlaku secara umum, sedangkan generalisasi pada ilmu sejarah bersifat unik dan berlaku secara khusus.
3. Mempunyai Objek
Setiap ilmu harus memiliki objek kajian. Objek berasal dari bahasa Latin, yaitu objektus, artinya yang dihadapi, sasaran, atau tujuan. Objek yang dipelajari sejarah adalah manusia. Meskipun sama-sama membahas tentang manusia, namun sejarah berbeda dengan antropologi dan sosiologi. Objek kajian sejarah selalu dibarengi dengan waktu, objek yang tidak dimiliki oleh ilmu lain secara khusus. Apabila fisika membicarakan waktu fisik, maka sejarah membicarakan waktu manusia. Waktu dalam pandangan sejarah tidak pernah lepas dari manusia. Oleh karena itu, soal asal mula selalu menjadi bahasan utama dalam sejarah.
Secara garis besar, kajian sejarah meliputi semua aspek dan bentuk kegiatan manusia di masa lampau, baik secara individul, maupun secara komunal, berbentuk fisik maupun nonfisik. Jadi, fokus perhatian sejarah adalah kebudayaan manusia di masa lampau. Sementara itu, masa kini dan masa yang akan datang bukanlah kajian sejarah, namun sangat erat kaitannya.
4. Mempunyai Teori
Menurut Kuntowijoyo (2001), sejarah sebagai ilmu sama seperti ilmu-ilmu lainnya, yaitu memiliki teori. Teori berasal dari bahasa Yunani, theoria, yaitu skema pemikiran. Dengan demikian, teori merupakan kaidah untuk memandu sejarawan dalam penelitian dan menyusun bahan-bahan yang diperolehnya dari analisis sumber dan juga dalam mengevaluasi temuannya.
Teori merupakan salah satu alat terpenting dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa adanya teori, tidak ada ilmu pengetahuan. Yang ada hanyalah kumpulan data, bukti, atau bahkan dongeng.
Menurut Snelbecker yang dikutip Basri M. S (2006), sebuah teori mempunyai fungsi, yaitu pertama, untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian menjadi pendorong peneliti untuk menyusun hipotesis, sedangkan hipotesis mendorong peneliti untuk mencari jawaban-jawabannya. Kedua, membuat ramalan atas dasar penemuan-penemuan. Ketiga, menyajikan penjelasan, yaitu untuk menjawab pertanyaan, "Mengapa?".
5. Mempunyai Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos, yang berarti cara. Dalam arti luas, metode merupakan suatu cara atau jalan untuk bertindak menurut aturan tertentu. Dengan menggunakan metode, seseorang dapat melakukan kegiatan secara lebih terarah. Dengan demikian, kegiatan tersebut dapat lebih praktis sehingga dapat mencapai hasil yang lebih maksimal. Kumpulan pengetahuan yang memiliki metode akan tersusun secara lebih terarah, teratur, dan lebih mudah dipelajari. Tanpa metode, suatu pengetahuan mengenai apa pun tidak dapat dikategorikan ke dalam ilmu.
Metode sejarah meliputi empat langkah penting. Pertama, menyangkut proses pengumpulan jejak-jejak sejarah yang merupakan bukti akan adanya suatu peristiwa pada masa lampau. Langkah ini dikenal dengan istilah heuristik. Suatu peristiwa sejarah tidak akan mungkin dihasilkan tanpa adanya bukti-bukti yang mendukungnya. Kedua, menyangkut proses verifikasi, menyeleksi, mengoreksi, dan mengkritisi berbagai bukti sejarah yang telah berhasil dikumpulkan agar terhindar dari kekeliruan. Langkah ini dikenal dengan istilah kritik. Langkah ini sangat penting untuk menjaga validitas sumber penelitian dan penulisan sejarah sehingga cerita sejarah yang dihasilkan benar-benar didasarkan kisah nyata yang terjadi pada masa lampau. Ketiga, melakukan interpretasi atau tafsiran terhadap berbagai bukti kesejarahan yang lolos koreksi. Langkah ini dikenal dengan istilah interpretasi. Kemampuan sejarawan untuk melakukan proses analisis dan sintesis menjadi bagian yang sangat penting dalam proses interpretasi ini. Keempat, melakukan kegiatan penulisan tentang suatu peristiwa sejarah tertentu. Langkah ini lebih dikenal dengan istilah histiografi. Proses penulisan sejarah (historiografi) hanya mungkin dilakukan setelah sejarawan menempuh proses heuristik, kritik, dan interpretasi secara benar.
Referensi nya dr buku apa kak?
ReplyDelete