Pasar dapat menjadi alokasi sumber daya yang efisien, bila asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain pelaku bersifat rasional, memiliki informasi sempurna, pasar terbentuk persaingan sempurna dan barang bersifat privat. Proses pertukaran (exchange) tidak terbatas dimensi waktu dan tempat (timeless dan placeless). Sayangnya, kenyataan tidak seperti dunia ideal. Banyak asumsi tidak cocok dengan lapangan. Akibatnya, pasar gagal menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien (market failure).
a. Informasi Tidak Sempurna (Incomplete Information)
Dalam kenyataan kita tidak pernah tahu persis tentang kualitas barang yang digunakan. Misalnya, ketika membeli mobil bekas. Untuk memperoleh informasi tentang mobil itu, seringkali harus membayar. Misalnya dengan menyewa montir mobil yang ahli mesin dan dapat dipercaya. Demikian juga perusahaan-perusahaan yang ingin merekrut pegawai. Untuk mengetahui kualitas calon pegawai, mereka terpaksa menggunakan konsultan, yang untuk menikmati jasanya, perusahaan harus membayar.
b. Daya Monopoli (Monopoly Power)
Asumsi pasar persaingan sempurna adalah produsen begitu banyak dan kecil-kecil sehingg secara individu tidak mampu memengaruhi pasar. Keputusan produsen dalam memasok, bereferensi pada harga yang berlaku di pasar (price taker). Dalam kenyataannya sering terjadi dalam pasar hanya ada satu (monopoli) atau beberapa produsen (oligopoli) yang begitu kuat. Mereka mampu memengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (price setter). Kemampuan itu menyebabkan barang yang diproduksi lebih sedikit, harga yang lebih tinggi dibanding dalam pasar persaingan sempurna.
c. Eksternalitas (Externality)
Eksternalitas adalah keuntungan atau kerugian yang dinikmati atau diderita pelaku ekonomi sebagai akibat tindakan pelaku ekonomi yang lain, tetapi tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan biaya secara formal. Misalnya, di Provinsi Lapung banyak pabrik tapioka yang mencemarkan lingkungan dengan membuang limbahnya ke sungai. Kerugian yang diderita masyarakat sekitarnya tidak masuk dalam perhitungan biaya produksi tapioka. Akibatnya, walaupun secara finansial biaya produksi tapioka menjadi murah (tidak perlu investasi fasilitas pengolahan limbah), secara ekonomis biayanya mahal; Sebagian biaya itu ditanggung masyarakat dalam bentuk biaya sosial (social cost).
d. Barang Publik (Public Goods)
Asumsi dasar lain yang seringkali tidak relevan adalah barang yang dipertukarkan bersifat private (rival dan ekslusif). Rival artinya, barang tidak dapat dikonsumsi secara simultan (bersamaan) tanpa saling merugikan. Eksklusif artinya siapa yang tidak mau membayar tidak dapat menikmati atau memanfaatkannya. Softdrink atau nasi, misalnya, merupakan barang privat (private good). Bila satu kaleng softdrink sudah kita minum (konsumsi), maka orang lain sudah tidak dapat mengonsumsi softdrink tersebut (barang yang sama). Berarti untuk dapat mengonsumsi softdrink diperlukan rival (bersifat rivalry). Selain bersifat rivalry, kita juga harus membeli (membayar) untuk dapat mengonsumsikannya. Dengan demikian diperlukan syarat untuk memperolehnya (bersifat exclusive). Kalau kita makan di rumah makan, misalnya, kita dapat memesan (membeli) nasi sebanyak setengah porsi. Atau softdrink dalam contoh di atas, kita dapat membeli yang botol besar atau botol kecil.
Dalam kenyataan ada barang yang bersifat non rivalry, noneksklusif (non exclusive atau non excludable), dan non-divisible (tidak dipecah-pecah). Sebut saja jalan raya, taman, jembatan, fasilitas pertahanan keamanan dan lain-lain. Barang-barang seperti itu disebut barang publik (public goods). Oleh sebab itu, barang-barang publik biasanya disediakan oleh pemerintah. Tetapi tidak berarti kita kemudian mendefinisikan bahwa barang publik adalah barang-barang yang disediakan oleh pemerintah. Sebab barang publik bisa juga disediakan oleh perseorangan atau perusahaan swasta. Bakrie bisa saja membuat (menyediakan) Masjid bagi masyarakat umum. Masjid merupakan contoh barang publik.
Sifat non-rivalry, non-exclusive, dan non-divisible ini sering menimbulkan fenomena pendomplengan atau pembonceng gratis (free rider), yaitu mereka menikmati manfaat dari barang publik tetapi tidak membayar pajak, misalnya pajak penghasilan (barang publik tersebut dibuat oleh pemerintah, yang sumber pembiayaannya antara lain berasal dari penerimaan pajak).
Beberapa barang dapat dikategorikan sebagai semi public good. Misalnya, jalan bebas hambatan (jalan tol) dan bioskop. Jalan tol memang bersifat non-rivalry dan non-divisible, tetapi exclusive karena orang harus membayar dan memenuhi syarat lainnya (misalnya kendaraan beroda dua atau tidak tidak diperkenankan melewati jalan tol) untuk dapat menggunakannya. Begitu pula dengan bioskop.
e. Barang Altruisme (Altruism Good)
Selain barang publi, kita juga mengenal barang altruisme. Barang altruisme adalah barang yang ketersediannya berdasarkan sukarela karena rasa kemanusiaan. Contoh barang altruisme adalah darah. Supply darah ada karena rasa kemanusiaan (ingin membantu sesama manusia). Apabila untuk barang ini diserahkan kepada mekanisme pasar, maka tidak akan terjadi pasar karena aspek supply-nya bertentangan dengan ajaran agama (akan terjadi kegagalan pasar atau market failures). Oleh karena itu, pemerinah menangani masalah demand dan supply darah, dengan membentuk PMI (Palang Merah Indonesia). Apabila kita datang ke PMI untuk donor darah, motivasinya semata-mata karena rasa kemanusiaan, sama sekali bukan karena ingin memperoleh pembayaran. Bagi orang yang membutuhkan, mereka tidak perlu membeli darah yang diperlukannya (paling-paling hanya membayar biaya administrasi yang sangat murah).\
Daftar Pustaka :
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2010. Teori Ekonomi Mikro : Suatu Pengantar [Edisi Keempat]. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Comments
Post a Comment