1. Pengertian Pengendalian Sosial
Pengendalian Sosial (sosial control) adalah pengawasan dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang dimaksudkan untuk mengarahkan peran-peran individu atau kelompok sebagai bagian dari masyarakat agar tercipta situasi kemasyarakatan sesuai dengan yang diharapkan.
Joseph S. Roucek
Pengendalian Sosial adalah segala proses baik direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Peter L. Berger
Pengendalian Sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang menyimpang.
Bruce J. Cohen
Pengendalian Sosial adalah cara-cara atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak-kehendak kelompok atau masyarakat luas tertentu.
Berdasarkan definisi di atas, kita dapat membuat kesimpulan bahwa suatu pengendalian sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
- Suatu cara, metode, atau teknik tertentu terhadap masyarakat.
- Bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas dan perubahan-perubahan yang terus terjadi di dalam suatu masyarakat.
- Dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh suatu kelompok terhadap individu.
- Dilakukan secara timbal balik meskipun terkadang tidak disadari oleh kedua belah pihak.
Jika pengendalian sosial dijalankan secara efektif, perilaku individu anggota masyarakat akan konsisten dengan tipe-tipe perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
2. Sifat Pengendalian Sosial
a. Preventif
Pengendalian sosial preventif adalah semua bentuk pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dan keadilan. Tindakan preventif mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh :
- Razia SIM dan kelengkapan kendaraan bermotor yang dilakukan aparat kepolisian untuk mengurangi risiko kecelakaan dalam berlalu lintas.
- Seorang ibu mengingatkan putrinya agar tidak pulang larut malam karena berbahaya bagi keselamatannya.
- Guru menegur siswa yang tidak mengerjakan tugas-tugas sekolah.
b. Represif
Pengendalian sosial secara represif adalah pengendalian sosial yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran. Pengendalian sosial secara represif dilakukan dengan cara menjatuhkan sanksi sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Contoh :
- Menjatuhkan denda terhadap para pelanggar peraturan lalu lintas di jalan raya.
- Menskors siswa-siswi yang berulang-ulang melanggar peraturan sekolah.
3. Proses Pengendalian Sosial
a. Persuasif
Pengendalian sosial secara persuasif dilakukan tidak dengan kekerasan karena individu atau kelompok diajak, disarankan, atau dibimbing untuk mematuhi atau berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat.
Cara persuasif ditetapkan pada masyarakat yang relatif tenteram. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau mendarah daging di dalam diri para warga masyarakat. Namun, bagaimanapun tenteramnya suatu kelompok masyarakat, tetap saja terdapat individu yang berperilaku menyimpang. Terhadap individu yang seperti ini perlu diterapkan paksaan agar tidak terjadi keguncangan-keguncangan yang lebih besar.
b. Koersif
Pengendalian sosial secara koersif dilakukan dengan kekerasan atau paksaan. Cara ini sering dilakukan di dalam masyarakat yang keadaannya berubah-ubah. Dalam keadaan seperti ini, pengendalian sosial juga berfungsi membentuk kaidah-kaidah baru untuk menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah. Akan tetapi, cara-cara ini sangat berbahaya karena kekerasan atau paksaan akan menimbulkan respons yang negatif pula baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bersifat potensial. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan akan menghasilkan banyak kekerasan pula.
Pengendalian sosial dengan kekerasan ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Kompulsi (paksaan)
Keadaan yang disengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya, dan menghasilkan suatu kepatuhan yang sifatnya tidak langsung. Misalnya, untuk mengurangi pencurian diterapkan sistem hukuman fisik atau kurungan badan.
2) Pervasi (pengisian)
Suatu cara penanaman atau pengenalan norma secara berulang-ulang, dengan harapan hal yang berulang-ulang ini akan masuk dalam kesadaran seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkannya. Misalnya, penataran atau bimbingan yang dilakukan terus-menerus baik pada individu maupun terhadap kelompoknya.
4. Fungsi Pengendalian Sosial
a. Mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma sosial
Penanaman keyakinan terhadap norma sosial yang baik sangat diperlukan dalam rangka keberlangsungan tatanan bermasyarakat. Penanaman keyakinan akan norma sosial yang baik ini dilakukan melalui tiga cara sebagai berikut.
- Melalui lembaga pendidikan sekolah dan lembaga pendidikan keluarga. Melalui lembaga-lembaga ini, seorang anak diarahkan untuk meyakini norma-norma sosial yang baik.
- Sugesti sosial, dilakukan dengan memengaruhi alam pikiran seseorang melalui cerita-cerita dongeng maupun kisah-kisah nyata dari tokoh-tokoh terkenal. Kisah-kisah ini khususnya menyajikan ketaatan tokoh-tokoh tersebut terhadap norma-norma atau hasil karya mereka sangat bermanfaat dalam meningkatkan harkat dan martabat kehidupan pada umumnya. Jika seseorang banyak membaca dan memahami kisah-kisah ini, diharapkan alam pikiran mereka akan berubah sedikit demi sedikit dan selanjutnya mencontohkan perbuatan-perbuatan baik itu. Peran ajaran agama juga sangat penting dalam mengarahkan anggota masyarakat tentang kebaikan suatu norma.
- Menonjolkan kelebihan norma-norma yang dimaksud dibandingkan dengan norma-norma lainnya.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma
Imbalan disini mulai berupa pujian dan penghormatan, hingga pemberian hadiah (reward) yang berupa materi. Pemberian imbalan ini bertujuan agar anggota masyarakat tetap melakukan perbuatan yang baik dan senantiasa memberikan contoh yang baik kepada orang lain disekitarnya.
c. Mengembangkan rasa malu
Setiap anggota masyarakat memiliki "rasa malu", akan tetapi dengan ukuran yang berbeda-beda antara sati masyarakat dan masyarakat lainnya. Budaya malu berkenaan dengan "harga diri". Harga diri akan turun jika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar norma-norma di dalam masyarakat.
Masyarakat akan mencela setiap anggotanya yang melakukan pelanggaran terhadap norma. Celaan itu dengan sendirinya akan menciptakan kesadaran untuk tidak mengulangi pelanggaran tersebut. Bila setiap perbuatan melanggar norma dicela, dengan sendirinya akan timbul "budaya malu" dalam diri seseorang.
d. Mengembangkan rasa takut
Perasaan takut akan mengarahkan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang dinilai mengandung risiko. Dengan demikian, orang akan berkelakuan baik dan taat pada tata kelakuan atau adat istiadat sebab sadar bahwa perbuatan yang menyimpang dari norma-norma itu akan berakibat tidak baik bagi dirinya maupun orang lain di sekitarnya.
e. Menciptakan sistem hukum
Sistem hukum merupakan aturan yang disusun secara resmi dan disertai aturan tentang ganjaran atau sanksi tegas yang harus diterima oleh seseorang yang melakukan penyimpangan (pelanggaran).
5. Jenis Pengendalian Sosial
a. Lembaga kepolisian
Polisi merupakan penegak hukum atau pranata sosial yang bertugas menegakkan kaidah-kaidah sosial, khususnya kaidah formal dalam masyarakat. Polisi bertugas memperingatkan bahkan menangkap para pelanggar ketertiban umum. Untuk menyumbang fungsi dan tugasnya, polisi juga diberi hak melakukan penyidikan terhadap berbagai jenis kejahatan dan menerima laporan tentang gangguan ketertiban masyarakat. Tugas lain yang juga dipikul polisi adalah pembinaan warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan harapan yang diatur oleh kaidah-kaidah dalam masyarakat bersangkutan.
b. Pengadilan
Pengadilan adalah lembaga resmi yang dibentuk pemerintah untuk menangani perselisihan-perselisihan atau pelanggaran-pelanggaran kaidah di dalam masyarakat. Kaidah-kaidah yang dijadika patokan dalam perilaku telah diakui bersama oleh pemerintah negara. Hukum merupakan alat pengendalian sosial yang sangat kuat karena pelanggarnya akan dijatuhi sanksi-sanksi berat yang menyebabkan penderitaan, misalnya kurungan atau denda.
c. Lembaga Adat
Adat istiadat berisi nilai, norma, kaidah sosial yang dipahami, diakui, dijalankan, dan dipelihara terus menerus. Oleh sebab itu, istilah adat istiadat sama artinya dengan sistem nilai budaya. Meskipun wujudnya abstrak, adat istiadat itu betul-betul ada dan bahkan merasuk jatuh ke dalam kalbu (mendarah daging) pada pemiliknya.
Adat istiadat sebenarnya adalah hukum. Unsur pembentukannya adalah pembiasaan dalam kehidupan secara terus menerus dan menjadi kelaziman yang dilakukan dalam waktu yang lama. Sebagai hukum, adat mengendalikan perilaku agar tidak menyimpang.
Adat mempunyai tingkatan sebagai berikut.
1) Mode
Adat yang lazim berisi kebiasaan-kebiasaan dan bersifat sementara, misalnya berpakaian dan kesenian.
2) Tradisi
Adat yang melembaga dan sudah berjalan lama secara turun-temurun.
3) Upacara
Adat istiadat yang dipakai dalam merayakan hal-hal resmi.
4) Etiket
Tata cara dalam masyarakat dan sopan santun dalam upaya memelihara hubungan baik antara sesama manusia.
5) Folkways
Adat basa-basi yang dijalankan dalam masyarakat sehari-hari karena dianggap baik dan menyenangkan.
d. Tokoh masyarakat
Tokoh masyarakat adalah seseorang yang memiliki pengaruh besar, dihormati, dan disegani dalam suatu masyarakat karena aktivitasnya, kecakapannya, dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya. Seorang tokoh tidak saja diminati nasihat dan petunjuknya tentang hubungan dalam masyarakat, tetapi dia juga mengawasi pelaksanaan tingkah laku masyarakatnya, bahkan ada yang mempunyai wewenang memberikan hukuman sesuai aturan adat setempat. Pada masyarakat tertentu, keberadaan tokoh ini lebih penting daripada aparat resmi pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah juga sering meminta mereka untuk membantu menyelesaikan masalah sosial. Di beberapa masyarakat yang masih bersahaja, tokoh-tokoh seperti ini disebut tetua adat.
6. Cara-cara Pengendalian Sosial
a. Pengendalian sosial secara formal
1) Pengendalian sosial melalui hukuman fisik
Pengendalian sosial ini dilakukan secara resmi (formal) maupun tidak resmi (nonformal). Secara formal artinya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang resmi atau diakui keberadaannya, paling tidak bagi individu atau kelompok yang tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran kaidah, misalnya kepolisian, sekolah, dan lembaga pemasyarakatan (LP).
Contoh :
- Penembakan terhadap pelaku kejahatan yang mencoba menyerang petugas kepolisian saat akan ditangkap.
- Menghukum siswa agar berdiri di lapangan karena berulang kali melanggar peraturan sekolah.
Ada pula pengendalian sosial melalui perlakuan fisik secara tidak resmi atau tidak sah. Ini dilakukan secara spontan oleh masyarakat dan bentuk perlakuan fisik tidak sama di setiap tempat.
Contoh :
- Pencopet atau penodong yang tertangkap basah dikeroyok beramai-ramai, bahkan sampai meninggal dunia.
- Para pelaku pelanggaran susila diarak keliling desa dengan menggunakan busana yang minim.
- Seseorang yang diduga menggunakan sihir (ilmu hitam) dihakimi oleh warga karena ulahnya tidak disenangi.
2) Pengendalian sosial melalui lembaga pendidikan
Dalam pengendalian sosial melalui lembaga pendidikan, seseorang diarahkan perilakunya agar sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Melalui pendidikan, seseorang belajar hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan (kognitif) mengenai sikap yang meliputi nilai, norma, etika, dan seni (estetika), serta keterampilan-keterampilan yang menunjang agar dia mampu berperilaku wajar. Pendidikan merupakan pengendalian sosial secara sadar (terencana) dan berkesinambungan untuk mengarahkan agar terjadi perubahan-perubahan positif dalam perilaku seseorang melalui proses sosialisasi dan agar perilakunya tidak menyimpang dari norma dan nilai sosial yang berlaku.
3) Pengendalian sosial melalui ajaran agama
Dalam agama ada ajaran tentang kebenaran yang suci menurut penganutnya masing-masing. Perbuatan-perbuatan yang arif, bijaksana, dan pengabdian terhadap penguasa alam semesta adalah pokoh-pokok paling penting dalam ajaran tiap agama. Karenanya, tiap pemeluk agama akan berusaha sedapat mungkin mewujudkan ajaran agamanya tersebut dalam hidup dan tingkah laku sehari-hari.
Karena sifatnya yang dogmatis, internalisasi agama sangat kuat. Agama juga mempunyai sanksi mutlak. Artinya, setiap orang akan menerima hukuman setimpal bila melanggar ajaran-Nya dan tidak ada satu pun yang akan lolos dari pengadilan Ilahi. Hal ini membuat ajaran agama sebagai media pengendalian sosial yang cukup besar pengaruhnya dalam menjaga stabilitas masyarakat.
b. Pengendalian sosial secara informal
1) Desas-desus (gosip)
Gosip adalah berita atau informasi yang menyebar secara cepat dan tidak berdasarkan fakta atau bukti-bukti kuat. Biasanya desas-desus muncul ke permukaan melalui cara-cara yang tidak terbuka atau disebarkan melalui saluran-saluran yang tidak resmi, biasanya dari mulut ke mulut. Desas-desus muncul apabila kritik sosial secara terbuka tidak dapat lagi dilakukan atau sangat membahayakan.
Dengan perkembangan sarana komunikasi sekarang ini, desas-desus dapat disebarkan melalui media resmi, seperti koran, majalah, radio, televisi, dan internet. Biasanya, makin jauh desas-desus disebarkan, makin bertambah pula muatannya dan makin jauh dari kebenarannya. Namun, pada saatnya, desas-desus akan hilang begitu saja sebagaimana datangnya yang justru tidak diduga-duga. Segi positif dari desas-desus adalah menyadarkan pelaku pelanggaran akan kaidah-kaidah setelah tersebar desas-desus tentang dirinya, meskipun masyarakat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kuat untuk mendukung dugaan-dugaan tersebut.
2) Pengucilan
Pengucilan adalah suatu tindakan pemutusan hubungan sosial oleh masyarakat atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok kecil orang lainnya. Dengan pengucilan ini, terjadi sikap masa bodoh (tidak peduli) terhadap orang yang sedang dikucilkan.
Seseorang yang sedang dikucilkan oleh masyarakat, cepat atau lambat akan melakukan intropeksi dan mencoba mencari penyebab pengucilan. Dengan demikian, diharapkan pelanggaran atau penyimpangan terhadap kaidah-kaidah kelompok akan berangsur-angsur diluruskan dan dia dapat diterima lagi sebagai anggota kelompok.
3) Celaan
Celaan merupakan tindakan kritik atau tuduhan terhadap suatu pandangan, sikap dan perilaku yang tidak sejalan dengan pandangan, sikap dan perilaku anggota kelompok pada umumnya. Celaan lebih mudah dimengerti oleh seseorang karena diekspresikan dengan ucapan, protes, atau kritik yang terbuka dan langsung menuju ke sasaran.
4) Ejekan
Ejekan adalah tindakan membicarakan seseorang dengan menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, atau kata-kata yang berlebihan, serta bermakna negatif. Kadang-kadang digunakan kata-kata yang artinya berlawanan dengan yang dimaksud.
Daftar Pustaka :
Muin, Idianto. 2014. Sosiologi untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Erlangga.
Comments
Post a Comment