1. Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Kebudayaan Bascon-Hoabinh diperkirakan berlangsung dari 18.000 sampai dengan 3.000 tahun yang lalu. Pusat kebudayaan Bascon-Hoabinh terletak di Pegunungan Bascon dan Provinsi Hoabinh, dekat Hanoi. Bascon-Hoabinh merupakan istilah untuk menyebutkan tempat penemuan alat-alat batu yang khas, yaitu batu yang memiliki bekas penyerpihan pada satu atau kedua permukaannya.
C.F.Gorman, pernah menyatakan bahwa alat-alat batu paling banyak ditemukan di pegunungan batu kapur di daerah Bascon, pegunungan Hoabinh, di Vietnam Utara. Selain alat-alat batu, di Bascon ditemukan pula alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang, serta sisa-sisa tulang belulang manusia purba yang dikuburkan dalam posisi terlipat dan ditaburi zat bewarna merah.
Di Indonesia, alat-alat batu yang serupa dengan hasil kebudayaan Bascon-Hoabinh ditemukan di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, Flores, hingga Papua. Di Sumatra, alat-alat batu Bascon-Hoabinh ditemukan di Medan dan Lhokseumawe(NAD). Alat-alat batu ini ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang(Kjokkenmoddiger). Bukit kerang tersebut berada di daerah yang ketinggiannya hampir sama dengan permukaan garis pantai. Ciri-ciri alat batu yang ditemukan di bukit sampah kerang ini yaitu yang telah diserpih pada satu sisi berbentuk lonjong atau bulat telur.
Di Pulau Jawa, alat-alat batu kebudayaan Bascon-Hoabinh banyak ditemukan di Lembah Sungai Bengawan Solo. Alat-alat batu tersebut diperkirakan berusia lebih tua dari yang ada di Sumatra. Cirinya, yaitu alat-alat batu ini masih kasr karena belum diasah. Diperkirakan, peralatan batu itu dipergunakan oleh manusia purba Jawa(Java Man), yaitu Pithecanthropus Erectus.
Sementara itu, di Cabbenge, Sulawesi Selatan, ditemukan alat-alat batu dari masa Pleistosen dan Holosen. Selain itu, penelitian dilakukan juga di pedalaman Maros dan berhasil menemukan alat serpih berpunggung dan mikrolit yang disebut Toalian. Alat batu Toalian ini diperkirakan berasal dari 7.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan dengan munculnya tradisi membuat tembikar.
2. Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Perunggu telah dimulai di Vietnam Utara pada tahun 2500 SM. Nama Dongson sendiri diambil dari nama situs yang berada di Provinsi Thanh Hoa, di pantai wilayah Annam(Vietnam bagian utara). Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikan ornamen Dongson ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur. Kebudayaan Dongson biasanya digunakan untuk mewakili kebudayaan perunggu di kawasan Asia Tenggara.
Kebudayaan Dongson diperkirakan didukung oleh orang-orang yang berlatar belakang sebagai petani, peternak, dan nelayan. Namun, selain melakukan kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka pun menghasilkan benda-benda loga perunggu hasil campuran dari tembaga dan timah. Benda Perunggu yang terkenal dari kebudayaan Dongson adalah nekara. Bagi daerah-daerah yang terpengaruh kebudayaan Dongson, hampir bisa dipastikan bahwa di situ ditemukan nekara.
Produk benda-benda perunggu Dongson yang berhasil ditemukan, terdiri atas kapak, corong, ujung tombak, mata panah, pisau, patung, bejana, dan nekara. Benda-benda yang terbuat dari perunggu tersebut, menunjukkan bahwa taraf kehidupan manusia telah mengalami suatu kemajuan yang semakin maju karena teknik peleburan logam bukanlah teknik yang sederhana. Menurut Wagner(1995), benda-benda perunggu yang mempunyai ciri kebudayaan Dongson adalah kaya akan ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dongson(senimannya), memiliki estetika yang tinggi.
Benda-benda Dongson yang disebutkan di atas, merupakan benda-benda yang juga ditemuka di Indonesia. Nekara-nekara yang berhasil ditemukan di Indonesia tidak kurang dari 56 buah yang tersebar di seluruh Nusantara. Misalnya, nekara tipe Heger I yang ditemukan di Pulau Sangeang, Sumbawa, NTB memiliki kesamaan dengan nekara yang tertua di Vietnam, kemudian juga bejana yang ditemukan di Madura dan Kerinci. Nekara-nekara perunggu gaya Dongson jenis Heger I ditemukan di sembilan situs di Jawa, yaitu Cibadak, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Tanurejo, Rengel, dan Lamongan. Nekara-nekara tersebut dibuat dengan gaya yang dikaitkan dengan seni Vietnam bagian Utara yang berkembang antara 2.000 dan 2.500 tahun yang lalu. Temuan-temuan ini mnegisyaratkan bahwa Jawa sudah membina hubungan dengan Benua Asia Tenggara pada akhir zaman praaksara. Nekara dan barang-barang perunggu lainnya, mungkin berfungsi untuk penanda status sosial yang tinggi bagi pemiliknya.
3. Kebudayaan Sa Huynh
Selain kebudayaan Bascon-Hoabinh dan Dongso, budaya Vietnam juga memiliki pengaruh lainnya terhadap Indonesia, yaitu budaya Sa Huynh yang berada di kampung pesisir di selatan Da Nang, diantara Thua Thein dan delta Sungai Dong Nai di Provinsi Quang Nam. Kebudayaan ini berkembang diakhir zaman logam atau sekitar tahun 600 SM - 1 M.
Manusia pendukung kebudayaan Sa Huynh masih tergolong bangsa Austronesia, yang kini disebut dengan bangsa Champa. Sementara itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa Champa yang disinyalir memiliki hubungan dengan bahasa Indonesia. Keberadaan masyarakat ini beserta kebudayaannya memiliki arti penting terhadap masyarakat Indonesia pada masa-masa akhir pra-aksara.
Hasil kebudayaan Sa Huynh yang dikenal dewasa ini adalah tempayan kubur. Tempayan kubur ini digunakan sebagai penyimpan jenazah sebelum dimasukkan ke dalam tanah. Penemuan hasil kebudayaan Sa Huynh ini terdapat di kawasan pantai dan delta Sungai Mekong. Kebudayaan ini yang disinyalir dibawa oleh orang-orang Champa ke Kepulauan Indonesia.
Di wilayah laut Sulawesi, ditemukan tempayan kubur yang memiliki kemiripan dengan kebudayaan Sa Huynh. Penemuan ini mendukung teori yang menyatakan bahwa kebudayaan Vietnam masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat, melalui Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Sementara jalur timur, melalui Formosa, Filipina, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kemiripan antara tempayan kubur Sa Huynh dengan tempayan kubur di Sulawesi, menandakan bahwa budaya Sa Huynh pernah memberikan pengaruh terhadap budaya Indonesia. Hal ini diperkuat dengan adanya kemiripan bentuk bandul kalung yang berhiaskan kepala hewan dan anting-anting batu. Dengan adanya kebudayaan Sa Huynh ini, terlihat bahwa bangsa Sa Huynh telah mencapai tingkat pengetahuan dan teknologi yang cukup tinggi dibandingkan bangsa-bangsa pada masanya.
Comments
Post a Comment